Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dua Perempuan

19 Desember 2012   02:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, buku untuk jiwa. Kau tidak berasal dari dusun ini ya, Nak?"

Davina dengan malu mengaku, menjelaskan singkat bahwa ia berasal dari rumah kontrakan dua lantai di ujung jalan utara. Baru pindah ke kota ini dua bulan lalu karena mengikuti permintaan seorang laki-laki yang membawa seribu janji. Laki-laki yang akhirnya membuatnya tak percaya lagi pada apa yang mungkin terjadi.

"Laki-laki memang terlalu mudah berjanji." Perempuan tua itu berkomentar lurus. "Itu seperti permainan bagi mereka, tanpa tahu kita menyimpan setiap kata yang pernah mereka ucapkan. Mereka tidak sadar, bahwa perempuan menyimpan kata dengan perasaan sementara mereka ...."

"... dengan pikiran."

Perempuan itu mengangguk mengiyakan sambung kata dari Davina. Menyadari gadis itu seperti dalam keadaan yang kurang sehat, ia menawarkan segelas minuman yang masih berasap, yang ternyata isinya adalah jamu. "Baik untukmu. Siapa namamu, Nak?"

Davina memperkenalkan diri begitu pula perempuan itu. Cut Hajra, nama yang kental dengan kesan feminisme dua dekade. Davina pernah membaca tentang ketegaran perempuan-perempuan Aceh hidup dalam kesendirian. Peperangan, gerakan separatis sampai penembakan misterius banyak merenggut laki-laki, memisahkan mereka dari keluarga terutama istri-istri yang bingung soal apa yang benar dan salah. Pikiran itu muncul kembali di benak Davina, meski ia akhirnya menyadari dirinya kadung telat memahami bagaimana beratnya menghidupi keseharian tanpa sokongan seseorang yang berarti di hati.

"Jangan bersedih dengan kesendirian, Davina. Kalau ini soal laki-laki, bisa kubilang nasib kita sama." Kalimat itu membuat Davina kian bersemangat. Mereka saling berbalas tanya sederhana dan Davina lebih banyak berbicara apa yang mengganggunya selama berminggu-minggu.

"Siapa nama laki-laki hatimu itu?" tanya Cut Hajra.

"Idham."

"Idham." Cut Hajra bergumam sendiri, menengadahkan kepalanya seperti mencari langit yang tak sedekat dulu. Melayani jabat tangan beberapa orang melintas yang membuat Davina mengangguk-angguk.

"Laki-laki terlalu beriman pada rasa gengsinya, terkadang. Menganggap hidup selalu ada jalan keluar ke manapun ia membawa pasangannya tersesat. Berat mengucapkan pujian, berat mengakui kesalahan dan meminta maaf, merasa terlalu penting untuk menyatakan perasaan lebih dulu. Mereka juga jarang membagi masalah, seperti merasa paling kuat tanpa sadar kita bisa memahaminya lebih tegar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun