Entah apa, tapi Davina tiba-tiba terkekeh mendengar kalimat itu. Hampir semuanya ia percaya sebagai fakta di kebanyakan yang pernah dilihatnya.
"Tapi laki-laki mudah menyatakan sayang. Sebagian mereka memilih semua orang, dan kurasa, kau beruntung Idham hanya memilihmu."
Davina mengangguk sambil merenung. Ia memang ingat tak pernah bermasalah dengan Izan terkait perempuan atau laki-laki lain. Mereka telah saling percaya dan saling pegang janji. Tak pernah ada percekcokan berarti kecuali keputusan yang akhirnya membawa laki-laki itu mengejar cita-citanya ke Eropa. Menyimpan hanya setumpuk jurnal perjalanan pribadi yang katanya akan diisi lagi sekembali dari pengaduan nasib.
"Kau harus percaya padanya."
Kalimat itu menjadi wejangan terakhir Cut Hajra hari itu, karena ia sudah harus menghentikan bus saat pasar di belakang mereka mulai ramai. Ia tak ingin menjadi pengganggu aktivitas orang-orang yang menggali kehidupan. Setiap manusia punya pencarian maknanya sendiri.
"Nek Cut Hajra, sapu tangannya ketinggalan."
Perempuan itu mengambil sapu tangannya dari tangan Davina, kemudian berterima kasih dengan mata berkaca-kaca. Ketegaran perempuan bisa rapuh seketika jika perasaannya terusik. Pemandangan yang justru membuat Davina terheran-heran.
**
Davina kadung penasaran dengan Cut Hajra. Entah mengapa, tapi ia merasa terobati setelah perbincangan jelang siang beberapa hari lalu itu. Hujan masih setia turun pertanda akhir tahun tidak akan seceria tahun-tahun sebelumnya. Naskah terjemahan memasuki tahap penyelesaian dan ia merasa kesehariannya mulai pulih. Kamarnya ditata rapi, diubah posisinya kecuali meja  kerja yang menghadap jendela. Berharap hatinya bisa terus terobati, pagi-pagi Davina sudah melihat jendela, berharap melihat Cut Hajra melintas lagi ke arah pasar. Dan mungkin, ia bisa mengobrol dengannya lagi soal laki-laki dan cinta yang terluka.
Tapi perempuan itu tak nampak datang lagi.
**