Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (1)

23 April 2012   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GERIMIS menguap ke udara ketika jalan-jalan Yogyakarta mulai kering. Adam Yafrizal membuka pintunya kemudian tersenyum. Aroma sate bakar yang dibayangi bau khas soto Kudus menyeruak melewati banyak celah dari jalan seketika membuat hidungnya bergerak-gerak. Cahaya lampu jalan yang berpendar malam hari menerpa wajahnya, memperlihatkan rambut-rambut jenggotnya yang belum dicukur. Matanya terang meski nampak sisa mengantuk di bagian bawah kelopaknya. Tubuhnya tegap ketika menjabat tangan tamu itu.

"Eno! Senang kamu kemari lagi."

Polisi itu, dengan mengangkat alisnya, lalu ikut tersenyum. Sambutan yang tak biasa. "Terima kasih. Kamu kelihatan lelah."

"Ya. Ada beberapa pekerjaan yang membuatku harus mengurangi jam tidur tiga hari ini. Masuklah. Cuaca Jogja kurang bersahabat akhir-akhir ini."

Eno kemudian masuk seperti sudah sering berkunjung ke kamar itu sebelumnya. Meski pada kenyataannya, mereka baru terlibat dalam komunikasi intens setelah kasus kematian Greisa Putri dan tuduhan selingkuh yang dilayangkan kepada Kepala Kecamatan Depok. Tentu saja polisi muda itu selalu rapih dan menjaga penampilan. Rambutnya tetap  mengkilap, kemejanya berwarna kehitaman terbalut rapi dengan tersisa satu kancing paling atas yang tidak terpasang. Begitu masuk ke ruangan, dia langsung duduk di kursi empuk menghadap ke televisi.

"Besok libur?" Adam kemudian bertanya. Ia sambil membereskan sisa makan malam di dapur dan mengangkat panci berisi air hingga ke atas kompor.

"Ya. Day-off," jawab Eno singkat. Bahkan pandangannya tak melihat ke lawan bicara.

"Itu berarti libur. Pakai Bahasa Indonesia saja. Lebih elegan." Tapi kalimat itu hanya membuat Eno semakin menajamkan pandangannya.

"Aduh! Maaf. Sepertinya hatimu sedang tidak baik. Ini, minumlah dulu." Kemudian segelas kopi hangat yang nyaris dingin diteguk cepat oleh tamu itu. Adam lalu duduk di kursi satunya sambil merapikan beberapa kertas dan amplop yang berserakan di karpet. Televisi menyala dengan bunyi volume rendah. Adam memperhatikan wajah sahabatnya, menerka-nerka ada masalah apa gerangan sampai polisi setampan Eno bisa bermuka masam bak bayi yang diingkari janji mainan.

"Habis bertengkar dengan Maya." Eno berkata pada akhirnya. Nampak dari matanya perasaan mengalah, dan pembenaran bahwa seorang Maya butuh perlakuan khusus jika tidak ingin dapat masalah baru. Sebagaimana kebanyakan pria yang menghindari masalah lebih berat setelah pertengkaran dengan istri, Eno memilih keluar sesaat.

"Oh! Itu luar biasa!"

"Apa maksudmu?" Eno lalu meletakkan pengendali jarak jauh televisi dan melihat tajam ke arah Adam. Tapi tuan rumah justru tersenyum mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja.

"Eno, ini jadi luar biasa karena kamu membawa masalahmu pertama kali ke tempatku. Dan aku adalah orang pertama yang kamu ceritakan tentang kegundahan hatimu bersama istri. Betul?"

Lalu Eno lemas dan menyadarkan punggung hingga kepalanya ke kursi. Posisinya meluncur nyaris datar di kursi yang sebetulnya keras itu. Adam yang merasakan ada awan kelabu yang terus bertengger di atas kepala sahabatnya itu, mencoba menghibur dengan berbagai cara. Dari ajakan berdiskusi tentang Kapolri baru yang nampak lebih mirip gembong penjahat, sampai film-film karya anak dalam negeri yang sedang dalam pembuatan melibatkan ratusan atlet silat. Adam juga menyinggung soal Aung San Suu Kyi yang menurutnya adalah perempuan pemberani sedunia, meski ia tak menyangsikan kekuatan di balik perjuangan Christina Martha Tiahahu yang mulai memancing protes dari Eno. Pada akhirnya, tidak ada yang lebih menarik perhatian tamunya lebih baik daripada kertas-kertas bertuliskan beragam tulisan tangan yang berserakan di atas meja. Eno menanyakan beberapa kertas dan barang kiriman itu.

"Hanya barang-barang kecil. Cinderamata, bagiku," jawab Adam yang kini gantian lemas. Eno yang balik bersemangat mengejar dengan pertanyaan lagi. "Suvenir apa? Coba lihat?" Ia dengan gesit kemudian membuka salah satu kotak karton yang ternyata berisi patung kayu berbentuk manusia berambut panjang dengan muka mirip setan.

"Kamu praktik ilmu hitam?"

Adam menggeleng. "Sudah kubilang itu cinderamata. Banyak yang mengirim benda-benda aneh belakangan ini. Sepertinya masyarakat mulai paham siapa teroris sebenarnya."

Sejurus kemudian Adam menarik semangat sahabatnya itu dengan membuka kotak dan bungkusan-bungkusan lain yang ternyata berisi benda-benda tak layak kirim. Mulai dari botol tablet yang berisi morfin, jarum suntik dan paku, bahkan ada yang mengirim foto investigator itu dengan noda darah di atasnya. Eno terheran-heran bagaimana bisa Adam tenang-tenang saja dengan semua bentuk teror ini. Tapi kekhawatiran itu lagi-lagi dibalas senyuman.

"Aku senang. Karena nada getar pesan singkat saya sampai di tujuan. Kalau tidak, tidak akan ada kiriman ini. Di banyak bagian Yogyakarta, Eno, sebagaimana kamu tahu secara profesional sebagai seorang polisi, pasti ada orang-orang yang gusar ketika mereka merasa keberadaannya terancam. Jadi, aku anggap ini pertanda baik."

Eno menggeleng dengan reaksi dan pemaknaan yang sentimentil itu. Namun bagaimanapun, hal itu hanya menambah kekagumannya pada seorang Adam Yafrizal yang melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda.

"Permisi sebentar." Adam bangkit lalu berjalan ke sudut ruangan mendekati komputer meja yang baru saja mengeluarkan bunyi "ding". Pesan masuk terbaca membuat Adam mengerutkan dahi tiba-tiba. Tangannya lalu pindah ke dagu, kakinya bergoyang-goyang seperti menahan semangat yang membuncah spontan. Hingga akhinya ia tersenyum.

"Kita dapat kasus baru," katanya ketika bangkit dan kembali menggapai cangkir kopi yang kini isinya dingin. Tapi Eno justru sibuk memegang sebuah pena besi yang berbentuk klasik, dan senter kecil yang ditaruh di dalam kotak busa.

"Oh, itu dari Alina." Adam menegur santai.

"Alina? Dia masih saja memperhatikanmu. Itu pertanda bagus."

Adam tersenyum bangga. "Atau, mungkin dia tidak ingin aku berbuat macam-macam?"

Eno tertawa. "Ya, mungkin saja. Ingatan terus menerus tentang pasang akan menjaga seorang pria dari hal-hal yang ditakutkan pasangannya. Meski di satu sisi ini ada efek sampingnya .... tapi yakin kamu pasti senang menerima ini, Adam."

"Efek samping apa maksudmu?"

"Kamu tahu maksudku," kata Eno sambil berkedip sebelah mata.

"Ah, sudahlah. Aku ada kasus baru, kamu boleh ikut kalau tertarik."

Eno menegakkan badan. "Tentu."

Adam tersenyum senang untuk sesaat, kemudian mukanya berubah serius. "Kalau kamu ada waktu ke luar kota, Besok pagi kita ke Surabaya."

"Surabaya? Kenapa ..."

"Arza Basyahril. Seorang pengantin, lebih tepatnya calon pengantin," jawab Adam dengan menekankan kata "calon" kemudian melanjutkan. "Tiba-tiba menghilang dari rumahnya. Tanpa jejak, tanpa pesan. Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu sudah dicari ke seluruh kampung, tapi tidak juga ketemu. Juga tidak ada yang melihat dia pergi meninggalkan rumah pada saat kejadian. Juga tidak ada tanda-tanda penculikan ataupun kekerasan lainnya."

Eno menyimak lebih serius.

"Pihak keluarga mempelai perempuan yang menghubungi kita barusan lewat email. Aku sempat tidak percaya, tapi tanda tangan jelas dan pesan-pesan khusus seperti 'Anda boleh mengacuhkan ini jika tidak percaya' yang ditulis dalam badan pesan itu justru membuat aku percaya sepenuhnya bahwa itu bukan pesan sampah. Dan benar-benar ada orang yang membutuhkan bantuan saya. Maaf Eno, tapi sepertinya orang ini juga tidak percaya polisi." Adam lalu melirik segan kepada sahabatnya.

"Kenapa begitu?"

"Sayangnya komputer itu macet andai kamu bisa baca sendiri pesannya. Jadi di dalam surat elektroniknya ini, seorang bernama Abdul Malik Usman mengaku sebagai ayah mempelai perempuan, yang namanya Marlistya Afriani Usman, menjelaskan bahwa sudah tiga hari Azra menghilang. Sedangkan acara pernikahan mereka akan digelar Sabtu besok, yang berarti tinggal dua hari dari sekarang. Polisi hanya menyebutkan akan menginvestigasi ini, tanpa memberi harapan sedikitpun baik itu tanda-tanda akan menemukan, ataupun petunjuk lain yang memberi ketenangan. Itulah mengapa keluarga itu mengirim pesan ke aku. Mereka juga menitipkan nomor telepon jika sewaktu-waktu ada yang ingin kutanyakan. Dari gaya bahasa dan cara penyampaian pesannya, sepertinya mereka ini keluarga yang cukup berpengaruh, tapi juga tertutup."

"Tahu dari mana mereka tentang kamu?"

"Entahlah. Berita akhir-akhir ini bisa tersebar dalam beberapa menit, kamu tahu. Kasus-kasus yang kutangani kemarin sedikit banyak pasti berpengaruh bagi sebagian orang yang tidak percaya institusi kepolisian. Maaf lho."

"Tidak apa. Lanjutkan. Apa lagi isi pesannya?"

"Bapak Abdul Malik Usman ini sekaligus minta nomor rekeningku, katanya untuk mengirim biaya perjalanan sekaligus setengah dari upah yang jumlahnya lumayan." Sampai di situ Adam menghela napas. "Ya, di satu sisi ada kekhawatiran juga melakoni profesi ini, Eno. Melambungkan harapan orang terhadapku sampai mereka rela mengeluarkan banyak materi, sementara aku belum menjanjikan apa-apa."

"Itu kepercayaan namanya."

"Hm. Bisa jadi. Tapi justru itu yang membuatku risau."

Mereka hening selama tiga detik, guna merekonstruksi alur pikiran dan membaca jelas masalah yang barusan mereka tanggap.

"Apa yang mereka minta?"

"Sederhana. Aku hanya diminta menemukan Azra Basyahril sebelum proses pernikahan yang tinggal dua hari dari sekarang. Itulah mengapa kita harus secepatnya ke Surabaya. Kalau kamu mau ikut, besok kita berangkat naik bus patas jam lima. Supaya kita sudah bisa di sana jam tiga sore."

"Kenapa tidak naik kereta?"

"Mereka hanya mau menjemput di terminal, tidak apa biar kita juga bisa menikmati pemandangan selama  perjalanan."

Eno mengangguk. Lalu keningnya mengkerut khawatir. "Ya, aku bisa menemanimu besok. Tapi tidak untuk hari berikutnya."

"Ya. Aku mengerti. Kamu ada tugas di sini. Terima kasih."

"Oke. Akan aku bantu. Tapi kamu juga harus membantuku untuk masalahku malam ini."

Adam tertawa, yang lalu membuat Eno menyengir.

"Eno, sahabatku. Mengapa kamu minta bantuan persoalan rumah tanggamu kepada orang yang mengalami masalah yang sama?"

"Ya itu. Karena kamu pernah mengalami."

Adam tertawa lagi.

(Selanjutnya ...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun