"Oh! Itu luar biasa!"
"Apa maksudmu?" Eno lalu meletakkan pengendali jarak jauh televisi dan melihat tajam ke arah Adam. Tapi tuan rumah justru tersenyum mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja.
"Eno, ini jadi luar biasa karena kamu membawa masalahmu pertama kali ke tempatku. Dan aku adalah orang pertama yang kamu ceritakan tentang kegundahan hatimu bersama istri. Betul?"
Lalu Eno lemas dan menyadarkan punggung hingga kepalanya ke kursi. Posisinya meluncur nyaris datar di kursi yang sebetulnya keras itu. Adam yang merasakan ada awan kelabu yang terus bertengger di atas kepala sahabatnya itu, mencoba menghibur dengan berbagai cara. Dari ajakan berdiskusi tentang Kapolri baru yang nampak lebih mirip gembong penjahat, sampai film-film karya anak dalam negeri yang sedang dalam pembuatan melibatkan ratusan atlet silat. Adam juga menyinggung soal Aung San Suu Kyi yang menurutnya adalah perempuan pemberani sedunia, meski ia tak menyangsikan kekuatan di balik perjuangan Christina Martha Tiahahu yang mulai memancing protes dari Eno. Pada akhirnya, tidak ada yang lebih menarik perhatian tamunya lebih baik daripada kertas-kertas bertuliskan beragam tulisan tangan yang berserakan di atas meja. Eno menanyakan beberapa kertas dan barang kiriman itu.
"Hanya barang-barang kecil. Cinderamata, bagiku," jawab Adam yang kini gantian lemas. Eno yang balik bersemangat mengejar dengan pertanyaan lagi. "Suvenir apa? Coba lihat?" Ia dengan gesit kemudian membuka salah satu kotak karton yang ternyata berisi patung kayu berbentuk manusia berambut panjang dengan muka mirip setan.
"Kamu praktik ilmu hitam?"
Adam menggeleng. "Sudah kubilang itu cinderamata. Banyak yang mengirim benda-benda aneh belakangan ini. Sepertinya masyarakat mulai paham siapa teroris sebenarnya."
Sejurus kemudian Adam menarik semangat sahabatnya itu dengan membuka kotak dan bungkusan-bungkusan lain yang ternyata berisi benda-benda tak layak kirim. Mulai dari botol tablet yang berisi morfin, jarum suntik dan paku, bahkan ada yang mengirim foto investigator itu dengan noda darah di atasnya. Eno terheran-heran bagaimana bisa Adam tenang-tenang saja dengan semua bentuk teror ini. Tapi kekhawatiran itu lagi-lagi dibalas senyuman.
"Aku senang. Karena nada getar pesan singkat saya sampai di tujuan. Kalau tidak, tidak akan ada kiriman ini. Di banyak bagian Yogyakarta, Eno, sebagaimana kamu tahu secara profesional sebagai seorang polisi, pasti ada orang-orang yang gusar ketika mereka merasa keberadaannya terancam. Jadi, aku anggap ini pertanda baik."
Eno menggeleng dengan reaksi dan pemaknaan yang sentimentil itu. Namun bagaimanapun, hal itu hanya menambah kekagumannya pada seorang Adam Yafrizal yang melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda.
"Permisi sebentar." Adam bangkit lalu berjalan ke sudut ruangan mendekati komputer meja yang baru saja mengeluarkan bunyi "ding". Pesan masuk terbaca membuat Adam mengerutkan dahi tiba-tiba. Tangannya lalu pindah ke dagu, kakinya bergoyang-goyang seperti menahan semangat yang membuncah spontan. Hingga akhinya ia tersenyum.