Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titik Koma Berujung Cinta

18 Mei 2011   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat Sore, April 1997.

Beginilah Rini. Lebih suka menyendiri di kamar ketika teman-temannya yang lain sibuk berdiskusi menyusun rencana aksi unjuk rasa minggu depan. "Beras makin naik, BBM makin naik, prestasi gak naik-naik!" sindirnya ketika suatu hari diprotes lantaran tak ikut demo.

Lalu, dengan santai saja Rini melayangkan surat kaleng, "Prestasiku ada, lembar-lembar surat dan artikel. Lha kalian? sisa-sisa bakaran ban bekas? Atau apa? Solidaritas buta berujung penembakan membabi buta? Lawan tu Pak Harto! lalu kalian dapat tak lebih daripada uban putih atau bendera putih!"

Sejak itu, teman-temannya tak pernah memprotes lagi.

Gang Serambi Mekah adalah satu-satunya gang yang paling padat ditinggali oleh mahasiswa berbagai kampus. Rini tubuhnya lebih kecil dari teman seumurannya, namun pergolakan pikirannya besar. Bersemanagt sekali ia mempelajari sastra akhir 1950-an serta beberapa sajak-sajak cinta Taufik Ismail. Beberapa sajak itu pula yang membuatnya sering menulis puisi-puisi cinta yang hingga kini tak pernah ia tahu akan dikirimkan ke mana, untuk siapa.

Sore itu, sebuah surat penawaran penerbitan puisi-puisi baru sampai dan tergeletak di meja belajarnya. Di bawah cahaya matahari sore yang jatuh miring menembus bilah kayu jendela kamarnya, Rini membaca surat itu.

Yth. Rini Anturia Raharjo.

Setelah menelusuri referensi dari beberapa teman Anda di penerbit KOMA, perusahaan kami melalui divisi penerbitan dan dokumentasi sastra pemuda memutuskan memberikan akomodasi atas karya-karya puisi Anda.

Dengan demikian, kami menunggu karya-karya puisi Anda sebagai bahan penerbitan di majalah mingguan kami, khususnya untuk puisi-puisi bertema cinta dan sosio-humaniora kontemporer.

Silakan balas surat ini untuk mengkonfirmasi tawaran kami.

Hormat,

BIMA NUSANTARA Publishing

Redaksi.


Rini tak langsung membalas surat itu. Keesokan pagi hingga beberapa hari setelahnya ia fokus berkonsultasi dengan Kak Muchtar, salah satu mentornya di kelas ekstra sastra.

"Rini, ini bukan tentang kami merasa cocok atau tidak. Tak akan ketahuan rasanya kalau belum dicoba, kan?" Kak Muchtar memberi semangat sore Hari Minggu itu di sekretariat KOMA.

"Iya, kak. Tapi Rini belum yakin. Rini punya target sendiri, dan rasanya puisi-puisi ini belum seujung kuku memenuhi standar yang bahkan Rini sendiri menentukan. Gimana menghadapi standar BUNTARA yang terlampau tinggi?" protes Rini bimbang.

"Lha, siapa yang ngirim tu surat?" pancing Kak Muchtar.

"Redaksi BUNTARA." jawab Rini dengan nada suara khas mengiyakan.

"Trus.... menurutmu kalau redaksi sudah minta, apakah karya-karyamu masih di bawah standar mereka?"

"Itu... entahlah, kak."

"Minimal nyentuh standar, kan?"

"Iya juga sih...."

"Nah... kalau begitu berarti puisi-puisimu masuk kriteria apa tidak?"

"Masuk... eh... berarti masuk!"

"Masuk engga? Jangan setengah-setengah!"

"Iya, kak. Masuk!"

"Bagus."

...

"Berarti kamu bakal balas IYA surat itu kan?"

"Iya. Aku mau coba. Mohon bimbingannya, kak."

"Bismillah."

Dan begitulah kejadiannya. Selanjutnya bisa ditebak, puisi-puisi cinta karya Rini mengisi kolom khusus sastra di majalah SAYAP CERITA yang terbit selama setidaknya dua tahun.

***

Lilin di Atas Salju

Pembaharuan hati ibarat empat musim yang menderu lalu menyeruak menjadi salju.

Di ujung salah satu musim, warna-warna sebelumnya kini terbalut putih yang nyaris semu.

Berpasir, sari-sarinya terbawa angin sejuk, lalu terhempar dari gunung hingga kampung Melayu.

Salju.

Cahaya yang merajai langit itu lalu merubah malam menjadi kelabu,

di tengah-tengahnya terpantik sebentuk api kecil di atas salju.

Remang, bergerak-gerak terkadang pasrah pada angin menderu.

Melukis seru, tentang pesan-pesan dari sekelompok orang yang mencari tahu.

Tentang pesan cinta entah dariku untuk dirimu,

atau dari penguasa kepada sekelompok babu.

Lilin di atas salju,

terlukis malam ini, hingga menjelang pagi di sudut meja yang menyebut namamu,

Aku merindukanmu, Bayu.

Jakarta, September 1999.


Lingga menutup majalah itu. Majalah dengan sampul bergambar seorang gadis bertopang dagu.

Lingga baru saja pindah dari Kampung Agam, lalu pagi ini terbangun tanpa sadar telah menginap menghabiskan malam di stasiun. Suara terangkat ramai, riuh, Lingga bangkit lalu berusaha mengembalikan ingatan singkatnya. Telepon genggamnya berdering saat tangannya berusaha melipat dan menyelipkan majalah itu ke dalam tas punggungnya.

"Halo? Iya ini Lingga."

"Oh. Sudah Pak. Ini saya baru nyampe Jakarta. Siang ini mau ketemu sama penulis puisi itu."

"Baik, pak. Laporannya akan langsung saya kirim begitu wawancara selesai. Insya Allah hari Kamis besok kopiannya sudah ada di meja Bapak. Baik. Terima kasih."

Telepon ditutup.

Kota metropolitan bukan hal baru bagi Lingga. Meski ini baru kali kedua ia menginjak ibukota, tapi bayangan tentang riuhnya kehidupan sosial yang kontras dengan kampung halamannya sungguh sudah ia tebak. Tak mengherankan jika penampilannya juga menyesuaikan dengan cukup apik. Celana jins rapi ditopang sepasang sepatu semi-kulit, dengan atasan lengan panjang berkerah dan sebuah ransel kulit. Rambutnya tak mengkilap namun nampak rapih ditopang leher tegak yang menggantung sebuah kamera analog model terbaru. Kamera itu punya perusahaan.

Lingga adalah seorang reporter. Perjalanan meliput keluar kota sebetulnya tak begitu ia senangi. Di samping karena memang ia cinta dengan suasana kampung, ia pun mengaku belum bisa menebak buah pikiran orang-orang kota yang menurutnya terkadang jauh lebih kolot daripada orang-orang "kampung". Entah apa maksudnya.

Setiba di kantor itu, Lingga langsung diminta menunggu. Disandarkannya punggung di sebuah sofa kulit di salah satu ruangan redaksi. "DIVISI PENERBITAN SASTRA". Begitu tertulis di salah satu pintu. Di dinding ruangan itu bertengger beberapa bingkai berisi tulisan-tulisan, beberapa foto Taufik Ismail. Buya Hamka, bahkan Roosevelt. Ada juga sebingkai foto sepasang nenek-kakek yang tak ia kenali. Ketika matanya mulai menyelidik, mengira-ngira apa maksud kata "Titik Koma Cinta" yang ditulis tangan di salah satu bingkai itu, fokus Lingga buyar....

"Maaf membuat Mas Lingga menunggu lama." seorang gadis menyapa setelah buru-buru keluar dari ruangan bertuliskan "SASTRA" tersebut.

Lingga berdisi lalu tersenyum.

"Saya Rini Anturia Raharjo."

"Mbak Rini. Saya Lingga Kardian."

"Oh. Silakan duduk. Maaf ni mas Lingga sampai nunggu lama. Tadi ada tamu."

"Dari H.B. Jassin ya?" Lingga menebak.

"Kok tahu...?"

"Iya. Itu undangannya masih mba Rini pegang. Ada logo H.B. Jassin-nya."

"Iya. Ini PDS mau mengadakan diskusi. Ngundang saya jadi panelis."

"Oh...." Lingga mengangguk.

Saat seorang perempuan lain baru saja mengantarkan minuman hangat dan beberapa kue, perbincangan Rini dan Lingga sudah semakin akrab.

"Oh... ini wawancara ya?" celetuk Rini.

"Iya. Kan tadi sudah dimulai 30 menit lalu."

"Hahaha.... maaf. Saya kurang fokus."

Maka begitulah. Mungkin bagi Lingga, ini adalah wawancara pertamanya dalam sebuah suasana yang sangat cair, paling cair sepanjang karirnya. Bagi Rini, paling tidak pertemuannya dengan seorang jurnalis yang ternyata seangkatan dengannya bisa sedikit menambah wawasan tentang segala hal yang dicintainya, apa lagi kalau bukan sastra.

"Mmm.... boleh saya tanya sesuatu, Mbak Rini?"

"Iya. Apa itu?"

"Mmm... maksud tulisan itu apa ya?" Lingga menunjuk tiga kata yang tadi sempat mengganggu pikirannya.

"O... itu. Titik Koma Cinta."

"Iya. Itu."

"Kamu pernah dengar Habis Gelap Terbitlah Terang?"

"Raden Ajeng Kartini."

"Iya. Beliau menulis banyak surat untuk seorang temannya, dan untuk beberapa teman lain, tanpa tahu untuk apa surat itu kelak. Beliau hanya menyimpan sebagian, mengirimkan sebagian lagi, begitu saja.

Sampai akhirnya seseorang yang tak ia kenal baik, membukukan surat-suratnya, karena dinilai mengandung pesan cinta yang mendalam, dari manusia ke manusia. Kartini tak pernah tahu itu, bahkan hingga beliau wafat. Di dalam surat beliau hanya banyak bercerita, merangkai kata dengan titik dan koma yang saat itu belum populer, dan itu yang mebuatnya berbeda. Lalu, oleh seseorang yang mengerti pesannya, mengumpulkan sari-sari surat itu dalam sebuah pesan utuh yang merangkum cinta sang pejuang kaum Hawa."

"Surat cinta yang dikirimkan lintas generasi."

"Tepat sekali. Dan hal seperti itu tak akan bisa terulang, bahkan hingga berabad-abad mendatang."

Setelah sepenggal penjelasan fundamental sejarah itu, keduanya terdiam...

"Eh, yang itu off the record ya. Haha...." Rina memecah keheningan.

Lalu keduanya tertawa.... Memang Rini nampaknya sadar kalau Lingga sebetulnya seseorang yang tak begitu melankolis.

***

Seminggu setelahnya, sebuah berita nasional muncul dengan judul bercetak tebal,

"PESAN CINTA LINTAS GENERASI DALAM PUISI-PUISI RINI ANTURIA RAHARJO"

Di serambi samping rumahnya, Rini tersenyum-senyum sendiri membaca kata-kata "Senyum Rini sehangat teh poci" yang diselipkan Lingga dalam liputan itu.





HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun