Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titik Koma Berujung Cinta

18 Mei 2011   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku merindukanmu, Bayu.

Jakarta, September 1999.


Lingga menutup majalah itu. Majalah dengan sampul bergambar seorang gadis bertopang dagu.

Lingga baru saja pindah dari Kampung Agam, lalu pagi ini terbangun tanpa sadar telah menginap menghabiskan malam di stasiun. Suara terangkat ramai, riuh, Lingga bangkit lalu berusaha mengembalikan ingatan singkatnya. Telepon genggamnya berdering saat tangannya berusaha melipat dan menyelipkan majalah itu ke dalam tas punggungnya.

"Halo? Iya ini Lingga."

"Oh. Sudah Pak. Ini saya baru nyampe Jakarta. Siang ini mau ketemu sama penulis puisi itu."

"Baik, pak. Laporannya akan langsung saya kirim begitu wawancara selesai. Insya Allah hari Kamis besok kopiannya sudah ada di meja Bapak. Baik. Terima kasih."

Telepon ditutup.

Kota metropolitan bukan hal baru bagi Lingga. Meski ini baru kali kedua ia menginjak ibukota, tapi bayangan tentang riuhnya kehidupan sosial yang kontras dengan kampung halamannya sungguh sudah ia tebak. Tak mengherankan jika penampilannya juga menyesuaikan dengan cukup apik. Celana jins rapi ditopang sepasang sepatu semi-kulit, dengan atasan lengan panjang berkerah dan sebuah ransel kulit. Rambutnya tak mengkilap namun nampak rapih ditopang leher tegak yang menggantung sebuah kamera analog model terbaru. Kamera itu punya perusahaan.

Lingga adalah seorang reporter. Perjalanan meliput keluar kota sebetulnya tak begitu ia senangi. Di samping karena memang ia cinta dengan suasana kampung, ia pun mengaku belum bisa menebak buah pikiran orang-orang kota yang menurutnya terkadang jauh lebih kolot daripada orang-orang "kampung". Entah apa maksudnya.

Setiba di kantor itu, Lingga langsung diminta menunggu. Disandarkannya punggung di sebuah sofa kulit di salah satu ruangan redaksi. "DIVISI PENERBITAN SASTRA". Begitu tertulis di salah satu pintu. Di dinding ruangan itu bertengger beberapa bingkai berisi tulisan-tulisan, beberapa foto Taufik Ismail. Buya Hamka, bahkan Roosevelt. Ada juga sebingkai foto sepasang nenek-kakek yang tak ia kenali. Ketika matanya mulai menyelidik, mengira-ngira apa maksud kata "Titik Koma Cinta" yang ditulis tangan di salah satu bingkai itu, fokus Lingga buyar....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun