"Serius apa? Serius untuk menentang takdir lagi?" responsku ketus.
"ANJING!!!!" teriaknya sembari menonjok tembok dengan penuh amarah. Napasnya tak terkontrol, matanya mengisyaratkan amarah yang bercampur kecewa. Kaget, aku pun berdiri dan mencoba untuk menjauhinya karena aku takut dia gagal mengontrol emosi.
Ingatanku melayang pada kejadian-kejadian lampau, tepatnya di waktu aku harus menghadapi amarahnya yang tak terkontrol. Aku takut dilempar rokok lagi, aku trauma dibentak lagi. Perlahan, aku melangkah untuk semakin menjauhinya. Namun, dengan sigap dia menarik tanganku dan mendekap tubuhku erat. Meronta aku berupaya untuk melepaskan dekapnya, namun dayaku tak sekuat tenaganya. Harap-harap cemas, aku pun mencoba untuk memeluknya balik. Bukan karena terbawa suasana, tapi aku hanya ingin menenangkan dirinya dan berharap agar tidak terjadi hal buruk lagi.
"Aku minta maaf, nggak seharusnya aku berharap lebih," lirih dia bicara.
Terdengar jelas isaknya saat bertutur dan air mataku pun turut jatuh menetes. Kini, isak kami pun saling beradu nyaring di ruang tamu kosku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H