Aku tengah asik membaca buku di ruang belajar kos semi eksklusif yang telah aku tempati selama dua tahunan ini. Lalu, suara bel dari luar terdengar begitu nyaring beberapa kali. Biasanya, di sore menjelang petang begini memang ada kurir paket yang mengantarkan hasil perburuanku dari belanja daring.Â
Tak jarang, pacar dari penghuni lain yang datang berkunjung atau kalau tidak begitu, petugas kebersihan yang memang rutin datang dua hari sekali.Â
Aku yang tidak menaruh curiga sedikit pun akhirnya berjalan menuju luar dengan earphone yang masih terpasang dan terkejutlah aku bukan kepalang. Seorang pria berdiri tegap bertopi dengan membawa seikat bunga dan menenteng paper bag yang entah berisi apa, aku juga tidak tahu.
Mematung sejenak, aku tidak lantas membukakan gerbang karena aku benar-benar terkejut. Pria yang saat ini ada di depanku adalah dia, si pemilik senyum tanggung dan suara serak yang khas. Pria yang tiga minggu lalu mendikteku agar tidak lagi salah memilih pendamping. Setahuku, dia sedang di pulau seberang dan oleh sebab itu aku terkejut. Kenapa bisa dia di sini sekarang? Untuk apa?
"Permisi, Mbak. Maaf ini nggak ada niatan buat bukain gerbang, gitu? Hehe," tanyanya yang memecah hening.
"Oh, iya. Sorry, bentar!" kataku yang lantas membukakan gerbang dan mempersilakannya masuk.
Canggung, aku bingung harus membuka pembicaraan dengan topik apa dan dia pun menampakkan hal yang sama.
"Duduk, Bang! Kau dari mana? Kok bisa tiba-tiba di sini?" kataku sambil duduk dan melihatnya masih berdiri.
Dia tidak menjawab. Matanya berkaca dan dengan perlahan, dia melangkah ke arahku.
"Ini bunga buatmu sama oleh-oleh dariku, ya!" katanya dengan terbata.
"Ah, iya makasih. Apa ini?" basa-basiku lagi.