Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebotol Anggur Merah yang Pecah

6 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 6 Oktober 2020   16:59 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riuh tawa yang beradu dengan hentakan musik di Bar ini seketika terasa hening ketika aku melihatnya. Iya, dia yang sedang duduk sendiri dengan tatapan kosong. Awalnya, aku menampik dan mencoba untuk yakin bahwa perempuan yang aku lihat hanyalah sosok yang kebetulan mirip dengan Riri. Namun, ketika Dion menghampiriku dan bilang bahwa itu adalah Riri, aku pun terkejut.

Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa Riri ada di tempat ini dan sendiri?

Seingatku, dia tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat seperti ini, apalagi hingga larut malam dan menjelang pagi. Pasti ada yang tidak beres, aku yakin itu.

**

"Ri?" sapaku yang mengagetkannya.

"Julian? Kok di sini?" tanyanya yang terkejut.

"Iya. Bukannya udah hal yang biasa ya kalau aku ada di tempat ini? Kayaknya, sewaktu kita masih pacaran juga kau udah tahu betul soal itu," jawabku.

Riri hanya tersenyum kecut, lalu mengambil gelasnya yang berisi beer.

"Sejak kapan kau minum?" tanyaku kian kaget.

Riri tak menjawab. Dia memalingkan muka dan kini menunduk.

"Hei, kau ini kenapa?" selidikku yang terespons nihil.

"Kau kalau ada masalah, bilang!" tambahku.

Lagi-lagi dia diam, tak menjawab. Namun kini, dia beranjak dari kursi dan langsung memelukku dengan isak tangis yang tertahan.

Dari jauh, Dion dan David mengisyaratkan tanda agar aku membawa Riri keluar dari tempat ini. Mereka berdua seolah paham kalau aku dan Riri butuh waktu berdua untuk berbicara.

**

Aku dan Riri baru saja putus tiga bulan lalu, tepatnya, sebulan setelah dia berulang tahun. Kami sepakat untuk berpisah bukan karena beda agama, tapi karena aku tidak ingin menyiksa batinnya yang terus-terusan tersiksa melihat tingkahku. Dia baik, walau menyebalkan. Bibirnya belum pernah tersentuh sebatang rokok, walau telah terlumat penuh oleh bibirku. Aku berani bertaruh, aku adalah laki-laki pertama yang berhasil melihatnya telanjang tanpa terbaluti sehelai benang. Namun, sebajingan-bajingannya aku, Riri tetaplah perempuan yang terjaga keperawanannya.

Aku bisa bilang begini karena sebejat-bejatnya kami, tidak pernah sekalipun aku melakukan penetrasi dengannya. Bahkan, memasukkan penisku pada lubang kewanitaanya pun tidak. Kami hanya tidur bersama dengan telanjang dan berciuman sebagaimana kenormalan yang tabu. Naluri sebagai manusia yang bernafsu memang tidak dapat kami hindari. Tapi, aku berani jamin, keperawanan Riri belum tersentuh olehku, bahkan oleh jari-jariku pun belum.

Entah kenapa, sebagai lelaki yang masuk dalam lingkaran pecandu lendir, aku tidak sampai hati untuk menyetubuhinya. Tiap kali aku melihat matanya yang teduh, hasratku untuk bersetubuh pun luruh. Padahal sebelumnya, libidoku naik dan birahiku tak terkontrol. Namun, saat semua sudah di puncak, tatapan Riri dan manis senyumnya justru menahanku dari kebinalan laku diri sendiri. Itulah kenapa, mendapatinya di Bar sendirian seperti ini adalah hal yang sangat mengejutkan bagiku. Apalagi, dia bukan peminum, bukan juga tipikal orang yang hobi clubbing. Sungguh, ini aneh dan aku harus tahu, ada apa sebenarnya?

**

Riri menggenggam lenganku dengan erat saat kami berjalan menerobos orang-orang yang tengah asik menikmati hidup. Kepulan asap rokok yang beradu dengan asap vaporpun tidak dapat kami hindari. Aku mempercepat langkah dan Riri pun mengikuti hingga kami sampai di parkiran, kemudian masuk ke dalam mobilku.

Belum sempat aku bertanya, Riri yang sudah duduk di kursi kiri pun memecahkan bendungan air matanya. Isak yang tak terkontrol pun mematenkan bungkamnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya karena dia hanya menangis, dan terus menangis. Aku bingung, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggunya sedikit tenang.

"Aku minta maaf, Jul. Aku minta maaf," lirihnya yang membingungkan.

"Maaf? Untuk apa?" bingungku.

"Aku minta maaf, aku bodoh, Jul!" katanya.

Aku yang bingung hanya bisa menerka dan merunut ulang, apa yang telah kami lewati pasca berpisah. Namun, semakin aku runut, semakin aku sadar bahwa tidak ada hal yang sekiranya perlu aku maafkan karena kami tidak ada masalah.

"Rizal, Jul..." celetuknya.

"Rizal?" sahutku terperanjat.

"I....ya," jawabnya terbata.

"Kenapa Rizal?" tanyaku lagi.

Tak ada penjelasan, tangis Riri kembali pecah dan aku bingung.

"Rizal kenapa, Ri?" tanyaku sekali lagi yang tak juga mendapatkan jawaban.

Firasatku mulai tidak enak dan aku mulai berpikiran yang macam-macam karena Rizal adalah lelaki yang setahuku tengah mendekati Riri.

"Aku minta maaf, Jul. Aku nggak bisa jaga diri," katanya jelas yang membuatku murka.

"Apa maksudnya?" bentakku.

Aku memang belum tahu pasti apa yang terjadi, tapi entah kenapa, feeling-ku berkata bahwa ada kejadian buruk yang menimpa Riri dari caranya berbicara.

"Apa yang dilakukan Rizal samamu? Hah?!" bentakku lagi.

Riri yang histeris pun menjelaskan dengan terbata, sebuah kronologi yang benar-benar membuatku hancur.

"Malam itu, kami memang nugas bersama. Aku nggak curiga dan nggak berpikiran macam-macam karena kau pun tahu, Jul! Aku termasuk orang yang mudah bergaul dan sering mengerjakan tugas rame-rame. Apalagi, Rizal teman satu circle-ku, jadi aku nggak menaruh curiga, apalagi prasangka buruk padanya. Namun, aku keliru Jul! Malam itu, Rizal bermalam di kosku karena kondisi hujan deras dan tak kunjung reda. Kami sama-sama di ruang tamu berdua dan, semua terjadi Jul. Maaf,"

"Apa? Apa yang terjadi? Ngomong yang jelas!"

"Rizal meniduriku dan......", belum sampai Riri merincikan maksudnya, aku pun sontak mengumpat.

"ASUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!" teriakku.

Riri histeris dan aku pun murka.

"Aku udah nolak, Jul. Bahkan aku tidak mengiyakan saat dia akan melakukan itu, tapi aku tidak bisa melawan. Nalarku memberontak, mulutku dibungkam dan tubuhku tidak berdaya karena dia lebih kuat dariku. Aku sudah berusaha melawan dengan cara yang dulu kau ajarkan, tapi percuma. Aku nggak bisa, dia terlampau kuat dan dia pun yang merenggut....." lagi, belum juga Riri selesai bicara, aku sudah menyela.

"Jangan play victim! Aku mau kau jujur! Kalau emang kalian melakukan itu atas dasar suka, aku harap kau nggak memojokkan dia dan membuat cerita yang seolah-olah menempatkanmu di posisi korban. Aku mohon!"

"Aku tidak akan segila ini jika aku sepakat, Jul! Sebagaimana apa yang aku lakukan denganmu, aku mengiyakan dan aku tidak pernah mempermasalahkannya setelah kita putus. Semua itu karena apa? Karena aku sadar dan aku paham, kita melakukan itu atas dasar mau sama mau. Jadi, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tapi, untuk urusan aku dan Rizal, masalahnya beda, Jul! Aku memang mulai nyaman dengan dia, tapi aku benar-benar tidak mengiyakan ajakannya. Aku tidak mau, aku memberontak, tapi aku tidak bisa menghindar, Jul!" jelasnya.

Speechless.

Aku benar-benar kehabisan kata.

Aku tahu, aku bukan siapa-siapa Riri lagi. Tidak seharusnya aku marah dan kecewa. Namun, aku masih menyayangi Riri dan aku sudah berjanji untuk menjaganya. Aku sudah bertekad untuk tetap menjadikannya prioritasku, tapi aku kecolongan. Aku terlalu asik dengan duniaku dan membiarkannya dekat dengan si brengsek yang sebenarnya sudah aku ketahui tabiat buruknya.

Iya, aku sudah tahu siapa Rizal sejak aku mendengar kabar bahwa dia sedang mendekati Riri. Mungkin sebagian orang akan berpikir aku gagal move on karena masih memperhatikan kehidupan Riri. Iya, bisa dibilang memang begitu. Tapi, aku lelaki. Gengsiku cukup dominan, dibanding kerendahanku untuk mengakui. Jadi, aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan apa dan bagaimana pandangan orang terhadapku, yang penting aku tidak mempertontonkan kepedulianku pada khalayak. Biar cemburu dan amarah berkecamuk dalam diriku, selama Riri masih ada di sekitaku, dia akan tetap aku jaga. Walau sekarang, aku sadar, aku kecolongan.

"Aku hina, Jul. Aku udah nggak berharga lagi, Jul. Aku kotor!" racau Riri.

Aku tak kuasa menahan sesak saat melihatnya begitu depresi. Riri, perempuan yang aku tahu begitu tegar, kini benar-benar rapuh. Bahkan, tangisnya yang dulu dipertontonkan di hadapanku tak ada apa-apanya dibanding histerisnya kali ini. Aku hancur. Aku benar-benar bajingan yang tak berguna.

Riri kian histeris dan aku pusing. Kalut, aku pun memecahkan sebotol anggur merah yang isinya tinggal setengah. Kotor, pecahan beling bercampunr anggur kini mengotori dalam mobil. Tanganku berdarah karena aku menggenggam pecahan botol erat-erat dan Riri pun kian histeris. Kami terjebak dalam chaos.

"Untuk apa aku hidup jika aku sudah tidak berharga lagi, Jul?" pelan Riri bertutur.

Aku yang masih kalut hanya bisa terdiam sembari menahan diri dari emosi yang tak terkendali.

Riri mengambil pecahan beling yang berserak di bawah kursi dan mencoba untuk mengiris nadinya. Aku bergegas mencegah dan memeluknya erat.

"Kau berharga, Ri! Kau bernilai. Percaya samaku! Nilaimu tidak bergantung pada selaput dara, keperawananmu tidak menjadi penentu harga diri. Aku paham, kita ini tinggal di antara orang-orang yang masih terjebak dalam stigma bahwa keperawanan adalah penentu segalanya. Tapi, percaya samaku, semua itu bukanlah hal yang utama!" kataku.

"Tapi aku kotor, Jul!"

"Kau kotor, aku pun begitu. Lihat, lihat mataku! Lihat aku, Ri!" paksaku yang mengarahkan mukanya agar menatapku.

"Kalau kau bilang kau kotor, bagaimana denganku? Bukankah kita berdua memang sudah kotor, Ri? Bukankah, apa yang kita lakukan saat masih bersama dulu juga hal yang memalukan? Ri, sejak aku pisah darimu, aku belajar banyak. Aku berhenti dari ketergantunganku pada seks karena tiap kali aku ingin melakukan itu, aku teringat makianmu saat memergokiku bermain aplikasi dating. Aku juga teringat, betapa kerasnya kau memohn agar aku berhenti dari dunia kelamku dan iya, aku mulai berhenti pelan-pelan, Ri. Lagian, kenapa kau harus mengambil pusing labeling dari manusia? Bukankah label yang dicapkan oleh manusia itu bersifat relatif? Harusnya, kau lebih paham soal ini, Ri!"

Riri terdiam.

"Kau berharga bagiku, kau bernilai bagiku dan kau adalah berkat bagi orang-orang yang tepat, termasuk aku. Ri, dengarkan aku! Sebrengsek-brengseknya seseorang, dia tetaplah berkat bagi orang yang tepat. Begitu juga sebaik-baiknya orang, dia akan tetap dianggap sebagai batu sandungan bagi orang yang tidak tepat. Aku harap, kau paham dan kau nggak punya pikiran buat bunuh diri lagi, Ri. Kau berharga!" pungkasku.

Riri memeluk erat tubuhku dan tanganku pun memeluknya balik. Bajunya kini ternodai darah dari tanganku yang luka, pun mukanya dan kami, sama-sama tenggelam dalam sendu di parkiran Bar berdua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun