"Hei, kau ini kenapa?" selidikku yang terespons nihil.
"Kau kalau ada masalah, bilang!" tambahku.
Lagi-lagi dia diam, tak menjawab. Namun kini, dia beranjak dari kursi dan langsung memelukku dengan isak tangis yang tertahan.
Dari jauh, Dion dan David mengisyaratkan tanda agar aku membawa Riri keluar dari tempat ini. Mereka berdua seolah paham kalau aku dan Riri butuh waktu berdua untuk berbicara.
**
Aku dan Riri baru saja putus tiga bulan lalu, tepatnya, sebulan setelah dia berulang tahun. Kami sepakat untuk berpisah bukan karena beda agama, tapi karena aku tidak ingin menyiksa batinnya yang terus-terusan tersiksa melihat tingkahku. Dia baik, walau menyebalkan. Bibirnya belum pernah tersentuh sebatang rokok, walau telah terlumat penuh oleh bibirku. Aku berani bertaruh, aku adalah laki-laki pertama yang berhasil melihatnya telanjang tanpa terbaluti sehelai benang. Namun, sebajingan-bajingannya aku, Riri tetaplah perempuan yang terjaga keperawanannya.
Aku bisa bilang begini karena sebejat-bejatnya kami, tidak pernah sekalipun aku melakukan penetrasi dengannya. Bahkan, memasukkan penisku pada lubang kewanitaanya pun tidak. Kami hanya tidur bersama dengan telanjang dan berciuman sebagaimana kenormalan yang tabu. Naluri sebagai manusia yang bernafsu memang tidak dapat kami hindari. Tapi, aku berani jamin, keperawanan Riri belum tersentuh olehku, bahkan oleh jari-jariku pun belum.
Entah kenapa, sebagai lelaki yang masuk dalam lingkaran pecandu lendir, aku tidak sampai hati untuk menyetubuhinya. Tiap kali aku melihat matanya yang teduh, hasratku untuk bersetubuh pun luruh. Padahal sebelumnya, libidoku naik dan birahiku tak terkontrol. Namun, saat semua sudah di puncak, tatapan Riri dan manis senyumnya justru menahanku dari kebinalan laku diri sendiri. Itulah kenapa, mendapatinya di Bar sendirian seperti ini adalah hal yang sangat mengejutkan bagiku. Apalagi, dia bukan peminum, bukan juga tipikal orang yang hobi clubbing. Sungguh, ini aneh dan aku harus tahu, ada apa sebenarnya?
**
Riri menggenggam lenganku dengan erat saat kami berjalan menerobos orang-orang yang tengah asik menikmati hidup. Kepulan asap rokok yang beradu dengan asap vaporpun tidak dapat kami hindari. Aku mempercepat langkah dan Riri pun mengikuti hingga kami sampai di parkiran, kemudian masuk ke dalam mobilku.
Belum sempat aku bertanya, Riri yang sudah duduk di kursi kiri pun memecahkan bendungan air matanya. Isak yang tak terkontrol pun mematenkan bungkamnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya karena dia hanya menangis, dan terus menangis. Aku bingung, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggunya sedikit tenang.