Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebotol Anggur Merah yang Pecah

6 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 6 Oktober 2020   16:59 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riri mengambil pecahan beling yang berserak di bawah kursi dan mencoba untuk mengiris nadinya. Aku bergegas mencegah dan memeluknya erat.

"Kau berharga, Ri! Kau bernilai. Percaya samaku! Nilaimu tidak bergantung pada selaput dara, keperawananmu tidak menjadi penentu harga diri. Aku paham, kita ini tinggal di antara orang-orang yang masih terjebak dalam stigma bahwa keperawanan adalah penentu segalanya. Tapi, percaya samaku, semua itu bukanlah hal yang utama!" kataku.

"Tapi aku kotor, Jul!"

"Kau kotor, aku pun begitu. Lihat, lihat mataku! Lihat aku, Ri!" paksaku yang mengarahkan mukanya agar menatapku.

"Kalau kau bilang kau kotor, bagaimana denganku? Bukankah kita berdua memang sudah kotor, Ri? Bukankah, apa yang kita lakukan saat masih bersama dulu juga hal yang memalukan? Ri, sejak aku pisah darimu, aku belajar banyak. Aku berhenti dari ketergantunganku pada seks karena tiap kali aku ingin melakukan itu, aku teringat makianmu saat memergokiku bermain aplikasi dating. Aku juga teringat, betapa kerasnya kau memohn agar aku berhenti dari dunia kelamku dan iya, aku mulai berhenti pelan-pelan, Ri. Lagian, kenapa kau harus mengambil pusing labeling dari manusia? Bukankah label yang dicapkan oleh manusia itu bersifat relatif? Harusnya, kau lebih paham soal ini, Ri!"

Riri terdiam.

"Kau berharga bagiku, kau bernilai bagiku dan kau adalah berkat bagi orang-orang yang tepat, termasuk aku. Ri, dengarkan aku! Sebrengsek-brengseknya seseorang, dia tetaplah berkat bagi orang yang tepat. Begitu juga sebaik-baiknya orang, dia akan tetap dianggap sebagai batu sandungan bagi orang yang tidak tepat. Aku harap, kau paham dan kau nggak punya pikiran buat bunuh diri lagi, Ri. Kau berharga!" pungkasku.

Riri memeluk erat tubuhku dan tanganku pun memeluknya balik. Bajunya kini ternodai darah dari tanganku yang luka, pun mukanya dan kami, sama-sama tenggelam dalam sendu di parkiran Bar berdua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun