Jarak menuju rumah sakit memang tidak terlalu jauh. Lima belas menit pun sampai dan aku lantas berlari menuju ruang ICU. Seorang suster menghalangiku masuk.Â
Dia hanya memperkenankan aku melihatmu terbaring dengan alat bantu pernapasan lengkap. Tangisku pecah lagi, rasanya hancur melihatmu tergolek tanpa daya dari jauh. Pikiranku pun melayang pada sebuah pertikaian di bulan dua yang lalu.
***
Hari itu, waktunya sama seperti saat ini. Kurang-lebih juga menjelang subuh, antara jam tiga menuju empat. Badanmu panas dan beberapa kali kamu mengigau.Â
Aku yang tidur di ranjangmu pun tidak tahan saat melihat rintihanmu yang terbaring di kasur lantai. Remang lampu kamarmu cukup mendramatisir suasana dan yap, saat aku beranjak mendekatimu, kamu pun muntah dan mengotori sebagian tubuhku. Bau alkohol menyeruak ke segala penjuru kamar yang sempit itu dan aku pun ikut mual karenanya.
"Bang, ke rumah sakit ya?" bujukku. Kamu hanya menggelengkan kepala sebagai tanda tolak. "Tapi, badanmu panas. Aku takut kamu makin parah. Rumah sakit, ya?" bujukku lagi.
Lagi-lagi kamu menggelengkan kepala dan aku hanya bisa menghela napas panjang.
Kalau dipikir ulang, apa yang aku lakukan tiap kali kamu mabuk hingga hampir overdosis adalah kombinasi antara ketulusan dan kebodohan yang pas. Kok bisa ya aku bertahan dengan pemabuk sepertimu? Pertanyaan utama yang sering terlintas di otakku tiap kali kamu berulah.Â
Mulai dari ulah sembronomu yang kalap tiap kali party, hingga ketidakjelasanmu yang membuatku berpikir, "apakah kita bisa terus menjadi kita jika kamu seperti ini?"
Seperti malam ini, otakku pun dipenuhi oleh satu pertanyaan absurd yang mendorongku untuk mempertanyakan, "untuk apa aku menangis di depan ruang ICU seperti ini? Apa yang aku tangisi?"
Iya, apa yang harus aku tangisi dari keadaan ini? Toh, kamu dan aku bukan lagi kita. Sekalipun aku punya hak mutlak untuk iba, namun pikiran jahatku selalu mengerucutkan dugaan burukku terhadapmu.Â