"Terus kenapa nggak balikan kalau masih sayang?" semakin tidak terprediksi, aku merasa tersudutkan dengan pertanyaan Huta.
Aku tidak menceletukkan kata apapun. Aku diam, aku membisu. Aku menunduk dan menghela napas panjang.
"Abang dan Kakak memang tidak ada bedanya, kalian sama-sama batu!" kata Huta.
"Kalian terlalu gengsi, Kak. Kalian sama-sama munafik!" tambahnya.
Aku terperanjat kaget, tapi aku tetap berusaha mengontrol diri. Huta meracau dan aku pun berusaha tenang mendengarkannya. Aku tidak menyela atau mengeluarkan pendapat karena aku paham, dalam kondisi ini, menimpali amarah dengan amarah ibarat menyiram api dengan minyak tanah.
"Abang terlalu gengsi menghubungi Kakak dulu karena dia merasa nggak pantas untuk diri Kakak. Sedangkan Kakak? Kakak memilih bungkam dan terus menghindari Abang!" katanya lagi.
"Aku nggak menghindar," pembelaanku.
"Lalu? Apa sebutan yang pantas bagi tindakan seseorang yang memilih untuk tidak bertegur sapa walau sama-sama bertemu tanpa sengaja?" respons Huta dengan luapan emosi yang meledak-ledak.
"Memangnya, ada kata yang tepat untuk mendefinisikan kekecewaan Kakak terhadap Abangmu?" kataku setengah membentak.
"Maksudnya?" tanya Huta sambil menaikkan alis kanannya.
"Coba beri Kakak satu kata yang tepat untuk mendefinisikan kekecewaan Kakak pada Bang Lian. Kakak capek, Dik!" jawabku.