Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Meniduri Gadis Lain di Sore Itu

8 Juni 2020   04:15 Diperbarui: 8 Juni 2020   04:25 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: monitor.co.id

Untuk mengingat kembali hal yang bodoh itu bukanlah perkara mudah. Aku harus berdamai dengan rasa bersalah dan ketololanku yang parah. Apalagi jika aku harus memaksa diri untuk mengingat reaksi dia di sore itu.

Dia? Iya, dia!

Perempuan mungil yang sering merecokiku saat nugas dengan segala tingkah manjanya. Perempuan yang sering datang tiba-tiba ke kos hanya untuk mengantar camilan, membawakan susu, membelikan nasi atau sekadar ingin menghabiskan waktu senggangnya bersamaku. 

Seorang pengecut yang tidak berani mengikatnya resmi dalam status berpacaran, tapi merasa jengkel tiap kali mendengar ceritanya soal lelaki lain. Terlebih jika lelaki itu adalah kenalanku di kampus yang kebetulan pernah mengajaknya nonton, tepat di hari pentingku. Ya, memang bukan di hari ulang tahunku tapi hari itu, dia membatalkan janjinya untuk menemaniku revisian pasca seminar magang. Aku kira, dia sedang sibuk berkegiatan. Tapi ternyata, dia pergi bersama kenalanku nonton dan lucunya, mereka terpergoki adik kosku yang kebetulan juga nonton di bioskop yang sama dengan mereka berdua.

Haha!

Begitulah brengseknya konspirasi semesta yang kadang bisa melahirkan hal yang patut untuk disyukuri, tapi tak jarang juga menciptakan hal yang cocoknya diumpati. Seperti hal yang aku alami dengan dia, perempuan yang sudah aku singgung sosoknya tadi. Hal yang akhirnya membuatku sadar bahwa ternyata, aku tidak lebih baik dari para penjahat kelamin  yang dikenal dengan istilah "biawak" di wilayah ini. Sebab pada akhirnya, aku sejajar dengan para "biawak" yang selalu mencari mangsa untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Meski aku tidak seprogresif mereka dalam menebar jala dan memaksimalkan fungsi aplikasi pencarian jodoh terselubung.

Ah, sudahlah!

Akan menjadi panjang cerita ini jika aku jabarkan rinci, jadi aku coba untuk kembali fokus pada apa yang terjadi di sore itu saja. Sore yang tidak akan aku lupa karena kini, sore di hari itu adalah momen yang membuatku terkungkung dalam ingatan yang terdominasi kata "kenapa" untuk mengawali setiap sesal yang menghantuiku. Sore yang akhirnya menjadi titik awal dari segala kecanggungan yang kemudian menjadikan perempuanku sebagai sosok yang asing. Kami yang dulu hampir 24/7 bersama, kini harus terbiasa untuk saling membuang muka saat berpapasan di jalan. Semua itu karena aku dan kebodohanku di sore itu.

***

Sore itu, kami bertiga terkejut.

Bertiga? Iya! Aku, dia dan seorang gadis. Kami bertiga sama-sama mematung karena dikejutkan oleh konspirasi brengsek alam semesta.

Dalam senyap, gadis yang setengah telanjang di pelukanku panik, dan begitupun aku yang kaget, takut, malu dan entahlah!

Entah kata apa yang pantas aku sematkan ke diri sendiri saat menyadari bahwa, perempuanku sedang tegak berdiri di depan pintu dengan muka kecewa bercampur sedih dan marah. Campur, iya campur! Mukanya tak menampakkan ekspresi yang valid. Jadi, semua nampak bercampur dalam mimik muka yang sulit dideskripsikan.

Kurang-lebih lima detik kami bertiga membatu. Terpaku dalam bisu dan aku pun perlahan menatap mata perempuanku yang tak berbinar lagi. Mata favoritku yang justru nampak memerah karena menahan air mata. Mulutnya bungkam tak bersuara dan pergerakannya cepat saat memutuskan untuk berlari menuruni anak tangga. Sungguh, aku tidak akan lupa pada apa yang terjadi di hari itu.

Jujur, kadang aku ingin memaksa Tuhan untuk memutar waktu dan kembali ke hari itu.

Biar apa?

Biar bisa aku menahan diri dan mengendalikan nafsuku yang kelewat bejat. Aku bodoh dan aku melukai perempuan yang benar-benar aku sayangi.

***

Hari itu, dia datang tanpa kabar. Kata orang-orang kosku, tampangnya sudah berbeda saat menaiki anak tangga, tidak seceria biasanya. Perlahan namun pasti, dia berjalan menuju kamar kosku yang tidak aku kunci dan iya, dia menemukanku sedang memeluk gadis lain berambut sebahu. Gadis yang dapat aku pastikan tidak dikenali oleh perempuanku karena keduanya memang tidak pernah berjumpa.

Jadi sebenarnya, gadis yang sempat aku tiduri di sore itu adalah teman satu organisasiku, tepatnya adik tingkatku. Dia datang ke kosku untuk mengerjakan LPJ karena organisasi kami baru saja melaksanakan kegiatan. Oh iya, aku tidak ingin sok percaya diri tapi memang, tapi ada desas-desus yang menyebutkan bahwa si gadis ini menyukaiku. Dan, dari geriknya pun terbaca. Aku yang polos dalam urusan cinta pun mengerti perbedaan dari laku seseorang yang menaruh hati padaku dengan orang yang memang peduli karena saling berkawan.

Dia begitu perhatian dan memang hari itu aku sedang tidak enak badan. Dia datang pukul empat sore dengan sekotak martabak dan obat titipanku. Kebetulan aku kurang enak badan di hari itu, so, aku meminta tolong untuk nitip obat. Tapi dia berinisiatif untuk membelikanku martabak juga, hehe, rezeki di hari pertama bulan ke-5 untuk aku yang kelewat tolol. Haha, skip!

***

"Abang minum dulu obatnya, ya?" katanya sambil membukakan tablet obat.

"Iya nanti Abang minum, Dik. Sinilah obatnya!" kataku.

Dia pun memberikan obat yang telah dibukanya dan mengambilkan segelas air dari teko dekat TV.

"Ini diminum, Bang!" katanya lagi.

Tidak ada firasat buruk saat itu. Hatiku tak berdebar aneh dan aku biasa saja. Tapi, semua itu tak bertahan lama. Gadis itu tiba-tiba duduk menyebelahiku dan sesekali mencuri pandang ke arahku yang tengah sibuk mengetik LPJ. Aku sadar, tatapannya berbeda dan aku tetap berusaha biasa saja. Sialnya, obat yang aku minum memiliki efek pemantik kantuk dan tentu saja, aku mengantuk. Mataku mulai berat dan aku izin untuk merebahkan tubuhku di kasur. Dia yang sepertinya paham akan kondisiku, justru kini merapatkan diri di sebelahku.

"Abang masih pusing?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk dan bodohnya, naluri kejantananku pun tergugah. Sesekali dia melihat ke arahku sambil menyelesaikan laporan kami.

Harum tubuhnya cukup mengganggu pikiran jernihku dan aku pun goyah. Aku membelai rambutnya yang menjuntai sebahu, lalu mengelus pipinya dan kami pun terjebak dalam pencobaan. Dia mendekatkan mukanya dan aku benar-benar tergugah untuk memeluknya. Iya, aku memeluknya. Erat dan semakin dalam. Dia mencium pipiku dan aku merasakannya sebagai kode yang kemudian menjadikanku berani untuk melumat bibir gadis itu.

Bodoh, aku benar-benar bodoh. Kami hanyut dalam kenikmatan yang semu. Aku membuka kaus jersey tim kebangganku dan dia mulai membuka kancing kemejanya. Kami benar-benar terjebak dalam kenikmatan duniawi.

Aku lupa, aku belum mengunci pintu karena memang aku tidak terbiasa menguncinya saat ada tamu. Dan ternyata, kebiasaan itulah yang menjadikan perempuanku bisa menyaksikan hal yang tak sepatutnya. Dia datang saat si gadis masih di dekapanku. Dia membuka pintu dan melihatku tanpa kaus dengan si gadis yang setengah telanjang dengan tubuh putih mulus.

Tak berlangsung lama, adegan canggung yang berisi saling pandang dalam bingung dan bungkam pun berakhir saat perempuanku beranjak. Aku melihatnya berlari cukup kencang menuruni anak tangga. 

"Aku balik dulu ya, Bang!" pamit si gadis yang aku abaikan.

Ling-lung, aku hanya bisa diam di balkon dan menatap arah parkiran. Mengutuk diri sendiri dan tak sadar meneteskan air mata.

"Ada apa sebenarnya, Bang? Aku lihat tadi Kak Gana nangis sambil lari di tangga," kata Abe. Adik kosku yang tiba-tiba datang menepuk pundak kananku.

Aku kehilangan kata-kata, tak bisa lagi aku menjelaskan apa yang terjadi karena bingung.

"Bang?" panggilnya sekali lagi.

"I did something wrong and i don't know how to explain this to her!" kataku yang kian bingung.

"Memangnya apa yang Abang lakukan? Fatal, kah?" selidiknya.

"Lebih dari fatal menurutku, Be. Nggak seharusnya pun Fando lakukan itu. Kau gagal memerangi egomu sendiri, Fan!" sahut Erwan.

"Aku bodoh, Bang!" kataku setengah berteriak sembari menjambak rambutku sendiri dengan kuat. Kepalaku pusing dan aku tidak bisa lagi berpikir  jernih.

"Tolol, nggak ada otakmu. Itu lebih tepatnya!" respons Erwan.

Dia tahu apa yang terjadi karena kamarnya tepat di depanku dan saat kejadian tadi, Erwan sedang bermain gitar di depan kamarnya.

"Kalau aku jadi kau, udah aku kejar si Gana dan jelaskan semuanya. Akui khilafmu, mintalah maaf dan terima apapun keputusan dia!" kata Erwan.

Aku tertunduk. Memutar otak dan mencoba untuk mencari jalan keluar dengan kepala dingin. Erwan menasehatiku, pun Abe yang coba menenangkanku.

"Rasaku, biarkan dulu Kak Gana, Bang. Sementara jangan hubungi dia dulu lewat chat dan telpon. Aku yakin, dia pasti dalam kondisi kalut dan bakal susah buat nemuin jalan keluar dari masalah kalian dalam kondisi seperti ini," saran Abe.

"Benar, Fan. Kau biarkan dia aja dulu! Nanti kalau udah ada waktu yang tepat, barulah kalian bicara baik-baik. Usahakan bicara langsung, jangan lewat chat!" tambah Erwan.

Aku pun menghela napas panjang sembari mempertimbangkan saran dari kawan-kawanku dan aku pun memutuskan untuk mengikuti saran keduanya. Aku akan berusaha menjaga jarak dengan perempuanku untuk sementara waktu.

Hahaha, iya. Harapannya memang untuk sementara, tapi realita memastikan bahwa kami harus berjarak selamanya. Tidak ada lagi yang perlu diselamatkan dari kami berdua. Dia benar-benar terlihat seperti orang yang najis  menatapku tiap kami tak sengaja bertemu. Aku pun takut tiap kali berjumpa dengannya. Bukan takut untuk berkelahi atau adu mulut, aku justru takut melihatnya kembali menangis karenaku. Aku tidak ingin sumringahnya kembali padam karena aku yang bajingan ini. Aku tidak mau melihatnya bersedih lagi karena aku masih sayang dengan dia.

Aku benar-benar menyayanginya dalam kepecundanganku. Aku terlalu banyak menimbang di saat aku dekat dengan dia. Aku tidak tegas dengan perasaanku sendiri dan terlalu mengamini konsep, "jalani dulu aja!"

Aku bodoh!

Aku tolol!

Tidak hanya itu, tapi, aku juga orang yang pada akhirnya harus berani merayakan kehilangan akibat kegagalanku menahan birahi.

Haha, sudahlah!

Toh pada akhirnya, sejak sore itu, aku tidak lagi pantas menyebutnya perempuanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun