Tak berlangsung lama, adegan canggung yang berisi saling pandang dalam bingung dan bungkam pun berakhir saat perempuanku beranjak. Aku melihatnya berlari cukup kencang menuruni anak tangga.Â
"Aku balik dulu ya, Bang!" pamit si gadis yang aku abaikan.
Ling-lung, aku hanya bisa diam di balkon dan menatap arah parkiran. Mengutuk diri sendiri dan tak sadar meneteskan air mata.
"Ada apa sebenarnya, Bang? Aku lihat tadi Kak Gana nangis sambil lari di tangga," kata Abe. Adik kosku yang tiba-tiba datang menepuk pundak kananku.
Aku kehilangan kata-kata, tak bisa lagi aku menjelaskan apa yang terjadi karena bingung.
"Bang?" panggilnya sekali lagi.
"I did something wrong and i don't know how to explain this to her!" kataku yang kian bingung.
"Memangnya apa yang Abang lakukan? Fatal, kah?" selidiknya.
"Lebih dari fatal menurutku, Be. Nggak seharusnya pun Fando lakukan itu. Kau gagal memerangi egomu sendiri, Fan!" sahut Erwan.
"Aku bodoh, Bang!" kataku setengah berteriak sembari menjambak rambutku sendiri dengan kuat. Kepalaku pusing dan aku tidak bisa lagi berpikir  jernih.
"Tolol, nggak ada otakmu. Itu lebih tepatnya!" respons Erwan.