***
"Abang minum dulu obatnya, ya?" katanya sambil membukakan tablet obat.
"Iya nanti Abang minum, Dik. Sinilah obatnya!" kataku.
Dia pun memberikan obat yang telah dibukanya dan mengambilkan segelas air dari teko dekat TV.
"Ini diminum, Bang!" katanya lagi.
Tidak ada firasat buruk saat itu. Hatiku tak berdebar aneh dan aku biasa saja. Tapi, semua itu tak bertahan lama. Gadis itu tiba-tiba duduk menyebelahiku dan sesekali mencuri pandang ke arahku yang tengah sibuk mengetik LPJ. Aku sadar, tatapannya berbeda dan aku tetap berusaha biasa saja. Sialnya, obat yang aku minum memiliki efek pemantik kantuk dan tentu saja, aku mengantuk. Mataku mulai berat dan aku izin untuk merebahkan tubuhku di kasur. Dia yang sepertinya paham akan kondisiku, justru kini merapatkan diri di sebelahku.
"Abang masih pusing?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk dan bodohnya, naluri kejantananku pun tergugah. Sesekali dia melihat ke arahku sambil menyelesaikan laporan kami.
Harum tubuhnya cukup mengganggu pikiran jernihku dan aku pun goyah. Aku membelai rambutnya yang menjuntai sebahu, lalu mengelus pipinya dan kami pun terjebak dalam pencobaan. Dia mendekatkan mukanya dan aku benar-benar tergugah untuk memeluknya. Iya, aku memeluknya. Erat dan semakin dalam. Dia mencium pipiku dan aku merasakannya sebagai kode yang kemudian menjadikanku berani untuk melumat bibir gadis itu.
Bodoh, aku benar-benar bodoh. Kami hanyut dalam kenikmatan yang semu. Aku membuka kaus jersey tim kebangganku dan dia mulai membuka kancing kemejanya. Kami benar-benar terjebak dalam kenikmatan duniawi.
Aku lupa, aku belum mengunci pintu karena memang aku tidak terbiasa menguncinya saat ada tamu. Dan ternyata, kebiasaan itulah yang menjadikan perempuanku bisa menyaksikan hal yang tak sepatutnya. Dia datang saat si gadis masih di dekapanku. Dia membuka pintu dan melihatku tanpa kaus dengan si gadis yang setengah telanjang dengan tubuh putih mulus.