Dia tahu apa yang terjadi karena kamarnya tepat di depanku dan saat kejadian tadi, Erwan sedang bermain gitar di depan kamarnya.
"Kalau aku jadi kau, udah aku kejar si Gana dan jelaskan semuanya. Akui khilafmu, mintalah maaf dan terima apapun keputusan dia!" kata Erwan.
Aku tertunduk. Memutar otak dan mencoba untuk mencari jalan keluar dengan kepala dingin. Erwan menasehatiku, pun Abe yang coba menenangkanku.
"Rasaku, biarkan dulu Kak Gana, Bang. Sementara jangan hubungi dia dulu lewat chat dan telpon. Aku yakin, dia pasti dalam kondisi kalut dan bakal susah buat nemuin jalan keluar dari masalah kalian dalam kondisi seperti ini," saran Abe.
"Benar, Fan. Kau biarkan dia aja dulu! Nanti kalau udah ada waktu yang tepat, barulah kalian bicara baik-baik. Usahakan bicara langsung, jangan lewat chat!" tambah Erwan.
Aku pun menghela napas panjang sembari mempertimbangkan saran dari kawan-kawanku dan aku pun memutuskan untuk mengikuti saran keduanya. Aku akan berusaha menjaga jarak dengan perempuanku untuk sementara waktu.
Hahaha, iya. Harapannya memang untuk sementara, tapi realita memastikan bahwa kami harus berjarak selamanya. Tidak ada lagi yang perlu diselamatkan dari kami berdua. Dia benar-benar terlihat seperti orang yang najis  menatapku tiap kami tak sengaja bertemu. Aku pun takut tiap kali berjumpa dengannya. Bukan takut untuk berkelahi atau adu mulut, aku justru takut melihatnya kembali menangis karenaku. Aku tidak ingin sumringahnya kembali padam karena aku yang bajingan ini. Aku tidak mau melihatnya bersedih lagi karena aku masih sayang dengan dia.
Aku benar-benar menyayanginya dalam kepecundanganku. Aku terlalu banyak menimbang di saat aku dekat dengan dia. Aku tidak tegas dengan perasaanku sendiri dan terlalu mengamini konsep, "jalani dulu aja!"
Aku bodoh!
Aku tolol!
Tidak hanya itu, tapi, aku juga orang yang pada akhirnya harus berani merayakan kehilangan akibat kegagalanku menahan birahi.