Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis yang Terpantik di Atas Ranjang

31 Mei 2020   04:45 Diperbarui: 31 Mei 2020   14:16 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu, dia memendam curiga yang teramat banyak. Bahkan aku sadar, dia sering menahan diri untuk tidak bertanya hanya karena dia takut mood-ku terganggu. Dia takut aku marah, dia berpasrah. 

"Kok ngelamun terus?" tanyaku heran. 

"Hah? Nggak ngelamun kok. Masih panas ini sotonya, Bang!" jawabnya bohong.

"Mana ada panas, udah dinginnya itu! Cepatlah makanmu itu!" kataku yang kemudian mematikan sebatang rokok yang telah habis aku hisap.

"Kok galak kali kau, Bang!" tanggapannya lirih.

Aku tidak marah, tapi memang begitulah gaya bicaraku. Maklumlah, darah Batak mengalir deras dalam tubuhku. Beda dengan dia yang berdarah Jawa. Wajar jika banyak yang mengira bahwa kami bertengkar saat mengobrol.

"Bang....." panggilnya yang masih juga belum menghabiskan sotonya.

Aku mengangguk tanpa suara yang menandakan respons dari panggilannya.

Ang..eng..ang..eng, kelagepan. Tampak bingung dan ragu, dia pun mengurungkan niatnya untuk bicara.

"Nggak jadi, lanjutin aja main gimnya Bang!" celetuknya.

Ini bukan hal yang jarang, terlampau sering dia seperti ini.

"Kalau mau ngomong ya ngomong aja, jangan ditahan-tahan!" kataku yang lantas berhenti memainkan gim dan meletakkan ponselku di meja.

"Maaf kalau lancang, aku nggak ada niat bikin kamu kesel. Aku cuma kepikiran aja, kenapa kok kemarin kamu cuek dan bersikap dingin pas kita ketemu di burjo, Bang?Aku.....", dia belum selesai bicara, tapi aku menyelanya.

"Apa?" lagi-lagi intonasiku tinggi.

"Aku ngerasa aja kayak orang yang nggak kamu anggap, tapi ya udah lah Bang, aku nggak mau debat. Mungkin aku cuma lagi sensitif aja, maaf ya Sayang..." tutupnya sembari meletakkan sendok dan mengambil tisu untuk mengusap mulut.

Lumrah! Aku sudah menebak kalau dia akan menanyakan hal itu karena aku pun mengakui bahwa aku cukup keterlaluan kemarin. Mungkin ini efek dari aku yang memang belum juga menjelaskan lingkaran pertemananku padanya secara utuh.

"Nanti kalau sudah waktunya, aku bakal cerita semua!" kataku.

"Nanti? Kapan?" kejarnya.

"Nanti lah pokoknya, ya? Nggak usah kau pikir aneh-aneh, jangan bebani pikiranmu dengan curiga! Percaya aja samaku, ya!"

Kini dia yang mengangguk. Kemudian, dia menghela napas yang panjang dengan mata yang menghindari pandangan ke arahku. Jujur, aku kasihan dengannya yang terus-terusan terjebak dalam terkaan yang mengarah pada diriku. Tapi, aku pun tidak yakin, masihkah dia mau denganku yang berada dalam lingkaran gelap? Sedangkan dia adalah pribadi yang lurus dan jauh dari hal yang lumrah dalam pergaulanku. Dia terlalu polos untuk aku yang terlalu bejat. Begitulah kira-kira, satu hal yang menghantui pikiranku jika dia tahu, siapa aku sebenarnya.

"Bang, ayo pulang!" ajaknya sambil bergegas untuk membayar. Dia bukan tipe perempuan yang suka aku bayari. Dia lebih nyaman membayar apa yang dia makan sendiri.

Kami pun menuju kasir dan setelahnya, berjalan menuju parkiran. Aku menggenggam tangannya, dan dia menyandarkan kepala di bahuku sejenak. Haha, bisa dibayangkan betapa menjijikannya tindakan kami yang sepertinya identik dengan polah remaja yang baru saja dimabuk asmara.

Sesampainya di parkiran, aku membukakan pintu mobil dan dia pun masuk untuk duduk. Setelah itu, aku menuju kursiku dan mengemudikan mobil ke arah kosku.

"Kamu nugas di kosku aja, ya?" kataku.

Dia mengangguk sembari mencari lagu di ponselnya untuk diputar. Melihatnya asik menunduk sambil memilih lagu membuatku berpikir bahwa dia memang lucu. Lugu, cerdas dan menggemaskan. Tingkahnya seperti bocah, tapi pemikirannya soal akademik dan hal-hal yang berbau politik cukup kritis. Dia unik, dia pantas untuk dibanggakan dan memang dia sering menjadi buah bibir dosen-dosen di kampus karena kelihaiannya berbicara di depan umum yang sangat memukau. Sungguh, semakin aku sadar akan sosoknya yang cemerlang, maka semakin juga aku tersadar bahwa sisi gelapku terlalu membahayakan dirinya.

***

Sesampainya kami di kosku, dia pun merebahkan diri di atas ranjang dan aku pun berganti baju. Bak kehidupan muda-mudi masa kini yang memang lumrah dengan istilah "sekamar berdua", maka begitulah kami yang juga terbiasa beraktivitas bersama dalam satu kamar yang sama. Entah kamarku, atau kamar dia. Kos kami sama-sama bebas. Lawan jenis diperkenankan masuk dan syukurnya, kami tidak termasuk orang yang mau memanfaatkan situasi. Padahal, tetangga kamar di kanan dan kiriku sering memasukkan perempuan untuk diajaknya bertukar lendir. Sedangkan aku? Jangankan bertukar lendir, melihatnya telanjang saja tidak pernah karena aku pun tidak ingin menjadikannya budak dari birahiku.

"Bang, aku ngantuk. Modom lah aku, ya?" katanya.

"Modom aja bahasa Batak yang kau tahu, ya! Hahaha!" ledekku.

"Hahaha, makanya ajari lah biar makin paham dan bisa aku ini ngomong pakai bahasamu!" kelakarnya sembari meletakkan ponsel di meja sebelah ranjang.

Aku menyalakan AC dan memutar musik pelan-pelan sembari mengeksplor linimasa media sosialku. Tak sampai lima menit, dia terlelap. Aku melihat wajahnya yang lelah dan aku pun memutuskan untuk merebah di sandingnya. Setengah sadar, dia pun memelukku. Hehe, rezeki anak Bapa yang bandal *ups, hahaha.

Aku memeluk balik dan mendekapnya yang kian nyenyak. Sesekali aku mainkan rambutnya yang panjang dan melihat, betapa manisnya wajah dia yang begitu sabar mendampingiku. Lelaki yang sebentar lagi terdepak dari kampus jika tak menyegerakan tuntas skripsinya, hehe.

***

Malam tiba, aku membangunkannya yang masih nyenyak dan dia pun membuka mata pelan-pelan.

"Bangun Sayang, yuk bangun yuk! Balik kosmu yuk Abang antar!" kataku.

Dia tak menjawab, tapi langsung saja dia mendaratkan kecupan di pipiku. Aku yang sedari tadi menahan diri pun akhirnya membalas kecupannya dengan lumatan di bibir. Hehe, sial. Logikaku dikontrol nafsu yang tak kuasa menahan libido.

Tak berlangsung lama, dia pun mendorongku dan bergegas duduk. Aku selalu suka dengan ekspresinya yang demikian. Lucu! Hahaha.

"Abang ih, genit kalinya..." rengeknya manja sambil mengusap bibir.

"Kenapa? Enak, kan?" Hahaha!" kataku yang kemudian bangun dan bersiap mengantarnya balik.

Belum juga dia berpindah dari ranjang, sebuah pertanyaan pun terceletuk dari bibir mungilnya.

"Bang, kenapa sih kamu lebih sering simpan anggur merah di kamar daripada air putih?"

Aku terperanjat kaget.

"Gimana? Gimana?" tanyaku yang ingin memperjelas maksud dari pertanyaan dia.

"Heran aja aku, Bang. Aku lebih sering melihat botol anggur di kulkas daripada air putih. Kebanyakan minumanmu juga sejenis bir, pokoknya yang beralkohol lah. Kenapa gitu?" selidiknya makin rinci.

Aku menghela napas dan kembali ke ranjang menyandinginya yang masih duduk. Dia menatap mataku dalam-dalam dan mata itu seolah memohon penjelasan. Kami kini duduk dengan posisi berhadapan.

"Ada satu hal yang ingin aku jelaskan samamu dan mungkin memang ini sudah waktunya aku jujur, hmmm," kataku sembari menepuk pundaknya.

"Apa?" katanya dengan antusias.

"Aku pasrah, apapun reaksimu dan bagaimana pun keputusanmu jika sudah tahu perihal ini, aku terima. Aku udah nggak sanggup menutupi jati diriku dan aku nggak tega membiarkanmu bertanya-tanya, Dik," tuturku dalam pembukaan.

"To the point, please! I'm waiting your explanation, Bang!" tegasnya yang sudah terlihat makin tak sabar.

"Aku adalah bagian dari gerombolan lelaki yang mungkin sudah dilabeli brengsek, bejat dan bajingan di wilayah ini. Aku seorang pemabuk berat. Aku pecandu alkohol parah dan aku adalah bagian dari jaringan peredaran ganja di sini."

Dia terdiam. Mulutnya terkunci rapat dan aku melihat raut kecewa di mukanya.

"Sebagian besar karibku adalah buaya yang ringan berganti wanita. Penjahat kelamin, pemburu ayam kampus dan terbiasa berpesta seks," tambahku.

Jatuh. Air matanya menetes dengan posisi mulut yang bungkam. Aku tak kuasa menahan malu, haru, marah, kasihan, semua berkecamuk dalam satu waktu.

"Kalau kau jijik samaku, aku pasrah. Tak apa jika setelah ini, kau pergi tinggalkan aku. Aku sadar, aku nggak pantas untukmu. Kau terlalu baik untuk aku yang brengsek. Kau pantas dijaga dengan baik oleh lelaki yang sepadan denganmu dan tentu saja, seiman samamu. Bukan aku yang seperti ini, bukan!" kataku lagi.

Tangisnya semakin kentara, dan aku pun refleks memeluknya.

"Sebenarnya aku sudah tahu.." lirih dia berkata dan aku pun melepas peluk dengan debar jantung yang tak beraturan. Aku melihat matanya yang seolah ingin berbicara banyak, kemudian aku mengangguk sebagai tanda yang mempersilakannya bersuara.

"Aku tahu, Abang adalah bagian dari jaringan pengedar ganja yang memasok kebutuhan mahasiswa di sini sejak Abang sempat menghilang dua minggu. Ingat?" katanya.

Lagi-lagi aku mengangguk, tapi kini untuk mengiyakan pernyataanya yang retoris.

"Waktu Abang ke kosku dan berpesan untuk tidak memberikan kontak Abang yang baru ke siapapun kecuali keluarga, aku udah curiga. Malam itu Abang panik, tangan Abang dingin dan Abang pun bertingkah was-was. Semacam buronan yang takut akan terciduk. Jujur, waktu itu aku sempat berpikir apakah lelakiku menghamili perempuan lain? Tapi, tidak. Aku cepat-cepat menepis prasangka itu dengan dugaan-dugaan lain. Dugaan yang tentu saja melahirkan kecemasan dalam hidupku. Lalu, tiga hari setelah malam itu, aku berusaha mencari orang-orang yang beririsan dengan Abang. Ada satu orang yang aku kontak dan kami bertemu di kafe," ungkapnya dengan terbata.

"Aku histeris waktu mendengar kejujuran kawan Abang yang tanpa tading aling-aling bercerita soal Abang. Hancur, Bang! Aku merasa, hari yang hujannya deras di waktu itu pun terasa panas. Aku benar-benar down," tambahnya.

Pecah. Sekarang, tangisku pun turut pecah. Aku remuk mendengar penuturannya yang berusaha tegar di tengah isakan tangis yang ditahannya. Aku tahu, kekecewaan dalam dirinya sudah sangat bertumpuk. Matanya memancarkan kejujuran atas kekecewaan itu dan aku? Aku merasa lebur tak bersisa. Kini, kami sama-sama menangis.

"Bang, boleh aku lanjutkan bicara?" celetuknya memecah deru tangis kami yang bersahutan. Aku mengangguk, tanpa berkata.

"Selepas pertemuanku dengan kawan Abang, aku berpikir keras. Ada keinginan untuk menyudahi hubungan ini karena jujur, aku merasa tidak ada yang pantas aku pertahankan dari Abang. Tapi, tidak. Aku mengurungkan niatku karena sadar, Tuhan mempertemukan dua orang dengan sebuah tujuan. Terlepas dari perbedaan iman kita, aku meyakini bahwa kita sedang berada di jalan yang tepat. Jalan yang sengaja dipilihkan Tuhan agar kita sama-sama belajar memahami arti dari sebuah ketulusan. Aku, jatuh cinta kepada Abang tanpa alasan. Bahkan sampai sekarang pun aku masih sering bertanya, kenapa aku bisa mencintaimu? Tapi, di saat yang bersamaan, aku paham, cinta yang tulus tidak akan pernah bisa didefinisikan dengan kata 'karena'. Aku nyaman dengan Abang dan aku banyak belajar hal baik dari Abang, jadi kenapa aku harus meninggalkan orang yang menjadikanku tenggang rasa terhadap hal-hal yang selama ini aku anggap tabu? Aku belajar menghargai, aku belajar menghormati dan aku belajar mengedepankan prasangka baik di tengah skeptisnya hidup. Banyak kali pun hal yang aku dapatkan dari Abang dan aku bangga punya lelaki sepertimu, Bang!" panjang penjelasannya membuatku bingung dan kian terisak.

"Kalau niat aku pergi, udah aku tinggalkan Abang sedari aku tahu siapa Abang sebenarnya. Tapi, apa itu aku lakukan? Nggak kan, Bang? Aku masih di sini, dengan perasaan sayang yang tak memudar," katanya lagi.

"Aku malu dengan kondisiku. Aku merasa, aku ini jauh dari kata layak untuk memacarimu. Aku minder, aku takut," tanggapanku.

"Untuk apa minder, Bang? Bukankah kita ini sama-sama manusia yang tak luput dari dosa dan khilaf? Bukannya memang kita ini tidaklah makhluk yang Tuhan ciptakan dengan kesempurnaan budi?" tuturnya.

"Kalau Abang berpikir aku kecewa, jelas! Aku memang sekecewa itu dengan tamparan realita. Tapi, aku tidak marah dan aku tidak akan pernah melepaskan genggamanku pada Abang!" tambahnya yang membuatku terkejut. Aku seperti mimpi bisa mendengar pernyataan yang jauh dari kata masuk akal ini.

"Kenapa?" tanyaku singkat.

"Aku ingin kita sama-sama menjadi penopang untuk memperbaiki diri. Jika Abang berkenan, izinkan aku menjadi saksi hidup perubahan Abang. Aku ingin Abang berhenti dari hal-hal yang tak seharusnya. Aku nggak minta Abang untuk menjauhi teman tongkrongan Abang, aku hanya berharap Abang bisa mengontrol diri. Jangan ambil peran dalam pengedaran ganja lagi! Kurangi konsumsi alkohol Abang yang sudah melebihi batas wajar dan Bang, aku ingin melihat Abang kembali melayani Tuhan sebagaimana apa yang diperintahkan dalam ajaran agama Abang."

Mendengar ucapannya, aku pun kian remuk. Bagaimana bisa, seorang perempuan berkenan untuk bertahan, padahal dia tahu bahwa lelakinya sebajingan ini. Dia tahu, lelakinya brengsek dan pernah meniduri beberapa wanita malam. Bahkan dia juga sadar, ujung dari kami adalah hal yang sulit karena sebaik-baiknya perubahanku tidak akan pernah merobohkan Salib yang ada dalam diriku. Sekalinya aku pun sadar, aku telah melukai hati Bapa yang telah damai di surga. Begitu juga dia, aku yakin dia tidak akan bersedia menggadaikan apa yang telah diyakininya sedari lahir dengan peribadatan rutin di hari Minggu bersamaku. Tapi, itu urusan nanti. Kami sama-sama tahu hal ini sedari awal dan kami tetap sepakat berjalan. Jadi, kami sudah bersiap dengan berbagai kemungkinan yang diakibatkan oleh perbedaan iman. Namun, sekarang bukan itu masalahnya. Saat ini perkara penerimaan dia terhadap kebrengsengkanku lah yang kami hadapi. Aku benar-benar bingung, antara kasihan dan bersyukur.

"Aku sayang samamu, Bang. Aku sayang pada sosokmu tanpa 'tapi' dan 'karena'. Aku sayang dan aku sadar, aku nyaman membutakan diri dari dinding kemustahilan yang ada di depan kita. Tapi, tak apa. Aku percaya Tuhan telah siapkan hal terbaik dan terpantas untuk kita dan sekarang, belum waktu yang tepat bagi Dia menunjukkan hal baik itu. Jadi, jalani dulu dengan suka cita ya, Bang. Kita doakan yang terbaik untuk hubungan ini, tapi jangan sampai kita menjadi makhluk yang nggak tahu diri dengan mengharuskan penyatuan pada Tuhan. Kita pasrahkan dan ayo kita komit untuk bertumbuh dalam kebaikan!" jelasnya sambil mengusap air mataku.

Aku kehabisan kata. Aku bersyukur memiliki dia.

"Aku nggak berharap lebih, aku hanya mau Abang kembali dalam kebenaran. Aku sudah ikhlas dengan kenyataan sisi Abang yang kelam dan aku akan tetap di sini untuk Abang sampai waktu dan keputusan Tuhan tiba," tegasnya sembari memelukku.

Aku mendekapnya erat. Aku mengucap syukur kepada Bapa. Aku, bersyukur atas kehadiran dia yang telah menyadarkanku bahwa sepahit-pahitnya kejujuran akan lebih baik jika dikemukakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun