Ini bukan hal yang jarang, terlampau sering dia seperti ini.
"Kalau mau ngomong ya ngomong aja, jangan ditahan-tahan!" kataku yang lantas berhenti memainkan gim dan meletakkan ponselku di meja.
"Maaf kalau lancang, aku nggak ada niat bikin kamu kesel. Aku cuma kepikiran aja, kenapa kok kemarin kamu cuek dan bersikap dingin pas kita ketemu di burjo, Bang?Aku.....", dia belum selesai bicara, tapi aku menyelanya.
"Apa?" lagi-lagi intonasiku tinggi.
"Aku ngerasa aja kayak orang yang nggak kamu anggap, tapi ya udah lah Bang, aku nggak mau debat. Mungkin aku cuma lagi sensitif aja, maaf ya Sayang..." tutupnya sembari meletakkan sendok dan mengambil tisu untuk mengusap mulut.
Lumrah! Aku sudah menebak kalau dia akan menanyakan hal itu karena aku pun mengakui bahwa aku cukup keterlaluan kemarin. Mungkin ini efek dari aku yang memang belum juga menjelaskan lingkaran pertemananku padanya secara utuh.
"Nanti kalau sudah waktunya, aku bakal cerita semua!" kataku.
"Nanti? Kapan?" kejarnya.
"Nanti lah pokoknya, ya? Nggak usah kau pikir aneh-aneh, jangan bebani pikiranmu dengan curiga! Percaya aja samaku, ya!"
Kini dia yang mengangguk. Kemudian, dia menghela napas yang panjang dengan mata yang menghindari pandangan ke arahku. Jujur, aku kasihan dengannya yang terus-terusan terjebak dalam terkaan yang mengarah pada diriku. Tapi, aku pun tidak yakin, masihkah dia mau denganku yang berada dalam lingkaran gelap? Sedangkan dia adalah pribadi yang lurus dan jauh dari hal yang lumrah dalam pergaulanku. Dia terlalu polos untuk aku yang terlalu bejat. Begitulah kira-kira, satu hal yang menghantui pikiranku jika dia tahu, siapa aku sebenarnya.
"Bang, ayo pulang!" ajaknya sambil bergegas untuk membayar. Dia bukan tipe perempuan yang suka aku bayari. Dia lebih nyaman membayar apa yang dia makan sendiri.