Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis yang Terpantik di Atas Ranjang

31 Mei 2020   04:45 Diperbarui: 31 Mei 2020   14:16 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami pun menuju kasir dan setelahnya, berjalan menuju parkiran. Aku menggenggam tangannya, dan dia menyandarkan kepala di bahuku sejenak. Haha, bisa dibayangkan betapa menjijikannya tindakan kami yang sepertinya identik dengan polah remaja yang baru saja dimabuk asmara.

Sesampainya di parkiran, aku membukakan pintu mobil dan dia pun masuk untuk duduk. Setelah itu, aku menuju kursiku dan mengemudikan mobil ke arah kosku.

"Kamu nugas di kosku aja, ya?" kataku.

Dia mengangguk sembari mencari lagu di ponselnya untuk diputar. Melihatnya asik menunduk sambil memilih lagu membuatku berpikir bahwa dia memang lucu. Lugu, cerdas dan menggemaskan. Tingkahnya seperti bocah, tapi pemikirannya soal akademik dan hal-hal yang berbau politik cukup kritis. Dia unik, dia pantas untuk dibanggakan dan memang dia sering menjadi buah bibir dosen-dosen di kampus karena kelihaiannya berbicara di depan umum yang sangat memukau. Sungguh, semakin aku sadar akan sosoknya yang cemerlang, maka semakin juga aku tersadar bahwa sisi gelapku terlalu membahayakan dirinya.

***

Sesampainya kami di kosku, dia pun merebahkan diri di atas ranjang dan aku pun berganti baju. Bak kehidupan muda-mudi masa kini yang memang lumrah dengan istilah "sekamar berdua", maka begitulah kami yang juga terbiasa beraktivitas bersama dalam satu kamar yang sama. Entah kamarku, atau kamar dia. Kos kami sama-sama bebas. Lawan jenis diperkenankan masuk dan syukurnya, kami tidak termasuk orang yang mau memanfaatkan situasi. Padahal, tetangga kamar di kanan dan kiriku sering memasukkan perempuan untuk diajaknya bertukar lendir. Sedangkan aku? Jangankan bertukar lendir, melihatnya telanjang saja tidak pernah karena aku pun tidak ingin menjadikannya budak dari birahiku.

"Bang, aku ngantuk. Modom lah aku, ya?" katanya.

"Modom aja bahasa Batak yang kau tahu, ya! Hahaha!" ledekku.

"Hahaha, makanya ajari lah biar makin paham dan bisa aku ini ngomong pakai bahasamu!" kelakarnya sembari meletakkan ponsel di meja sebelah ranjang.

Aku menyalakan AC dan memutar musik pelan-pelan sembari mengeksplor linimasa media sosialku. Tak sampai lima menit, dia terlelap. Aku melihat wajahnya yang lelah dan aku pun memutuskan untuk merebah di sandingnya. Setengah sadar, dia pun memelukku. Hehe, rezeki anak Bapa yang bandal *ups, hahaha.

Aku memeluk balik dan mendekapnya yang kian nyenyak. Sesekali aku mainkan rambutnya yang panjang dan melihat, betapa manisnya wajah dia yang begitu sabar mendampingiku. Lelaki yang sebentar lagi terdepak dari kampus jika tak menyegerakan tuntas skripsinya, hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun