Tangisnya semakin kentara, dan aku pun refleks memeluknya.
"Sebenarnya aku sudah tahu.." lirih dia berkata dan aku pun melepas peluk dengan debar jantung yang tak beraturan. Aku melihat matanya yang seolah ingin berbicara banyak, kemudian aku mengangguk sebagai tanda yang mempersilakannya bersuara.
"Aku tahu, Abang adalah bagian dari jaringan pengedar ganja yang memasok kebutuhan mahasiswa di sini sejak Abang sempat menghilang dua minggu. Ingat?" katanya.
Lagi-lagi aku mengangguk, tapi kini untuk mengiyakan pernyataanya yang retoris.
"Waktu Abang ke kosku dan berpesan untuk tidak memberikan kontak Abang yang baru ke siapapun kecuali keluarga, aku udah curiga. Malam itu Abang panik, tangan Abang dingin dan Abang pun bertingkah was-was. Semacam buronan yang takut akan terciduk. Jujur, waktu itu aku sempat berpikir apakah lelakiku menghamili perempuan lain? Tapi, tidak. Aku cepat-cepat menepis prasangka itu dengan dugaan-dugaan lain. Dugaan yang tentu saja melahirkan kecemasan dalam hidupku. Lalu, tiga hari setelah malam itu, aku berusaha mencari orang-orang yang beririsan dengan Abang. Ada satu orang yang aku kontak dan kami bertemu di kafe," ungkapnya dengan terbata.
"Aku histeris waktu mendengar kejujuran kawan Abang yang tanpa tading aling-aling bercerita soal Abang. Hancur, Bang! Aku merasa, hari yang hujannya deras di waktu itu pun terasa panas. Aku benar-benar down," tambahnya.
Pecah. Sekarang, tangisku pun turut pecah. Aku remuk mendengar penuturannya yang berusaha tegar di tengah isakan tangis yang ditahannya. Aku tahu, kekecewaan dalam dirinya sudah sangat bertumpuk. Matanya memancarkan kejujuran atas kekecewaan itu dan aku? Aku merasa lebur tak bersisa. Kini, kami sama-sama menangis.
"Bang, boleh aku lanjutkan bicara?" celetuknya memecah deru tangis kami yang bersahutan. Aku mengangguk, tanpa berkata.
"Selepas pertemuanku dengan kawan Abang, aku berpikir keras. Ada keinginan untuk menyudahi hubungan ini karena jujur, aku merasa tidak ada yang pantas aku pertahankan dari Abang. Tapi, tidak. Aku mengurungkan niatku karena sadar, Tuhan mempertemukan dua orang dengan sebuah tujuan. Terlepas dari perbedaan iman kita, aku meyakini bahwa kita sedang berada di jalan yang tepat. Jalan yang sengaja dipilihkan Tuhan agar kita sama-sama belajar memahami arti dari sebuah ketulusan. Aku, jatuh cinta kepada Abang tanpa alasan. Bahkan sampai sekarang pun aku masih sering bertanya, kenapa aku bisa mencintaimu? Tapi, di saat yang bersamaan, aku paham, cinta yang tulus tidak akan pernah bisa didefinisikan dengan kata 'karena'. Aku nyaman dengan Abang dan aku banyak belajar hal baik dari Abang, jadi kenapa aku harus meninggalkan orang yang menjadikanku tenggang rasa terhadap hal-hal yang selama ini aku anggap tabu? Aku belajar menghargai, aku belajar menghormati dan aku belajar mengedepankan prasangka baik di tengah skeptisnya hidup. Banyak kali pun hal yang aku dapatkan dari Abang dan aku bangga punya lelaki sepertimu, Bang!" panjang penjelasannya membuatku bingung dan kian terisak.
"Kalau niat aku pergi, udah aku tinggalkan Abang sedari aku tahu siapa Abang sebenarnya. Tapi, apa itu aku lakukan? Nggak kan, Bang? Aku masih di sini, dengan perasaan sayang yang tak memudar," katanya lagi.
"Aku malu dengan kondisiku. Aku merasa, aku ini jauh dari kata layak untuk memacarimu. Aku minder, aku takut," tanggapanku.