"Untuk apa minder, Bang? Bukankah kita ini sama-sama manusia yang tak luput dari dosa dan khilaf? Bukannya memang kita ini tidaklah makhluk yang Tuhan ciptakan dengan kesempurnaan budi?" tuturnya.
"Kalau Abang berpikir aku kecewa, jelas! Aku memang sekecewa itu dengan tamparan realita. Tapi, aku tidak marah dan aku tidak akan pernah melepaskan genggamanku pada Abang!" tambahnya yang membuatku terkejut. Aku seperti mimpi bisa mendengar pernyataan yang jauh dari kata masuk akal ini.
"Kenapa?" tanyaku singkat.
"Aku ingin kita sama-sama menjadi penopang untuk memperbaiki diri. Jika Abang berkenan, izinkan aku menjadi saksi hidup perubahan Abang. Aku ingin Abang berhenti dari hal-hal yang tak seharusnya. Aku nggak minta Abang untuk menjauhi teman tongkrongan Abang, aku hanya berharap Abang bisa mengontrol diri. Jangan ambil peran dalam pengedaran ganja lagi! Kurangi konsumsi alkohol Abang yang sudah melebihi batas wajar dan Bang, aku ingin melihat Abang kembali melayani Tuhan sebagaimana apa yang diperintahkan dalam ajaran agama Abang."
Mendengar ucapannya, aku pun kian remuk. Bagaimana bisa, seorang perempuan berkenan untuk bertahan, padahal dia tahu bahwa lelakinya sebajingan ini. Dia tahu, lelakinya brengsek dan pernah meniduri beberapa wanita malam. Bahkan dia juga sadar, ujung dari kami adalah hal yang sulit karena sebaik-baiknya perubahanku tidak akan pernah merobohkan Salib yang ada dalam diriku. Sekalinya aku pun sadar, aku telah melukai hati Bapa yang telah damai di surga. Begitu juga dia, aku yakin dia tidak akan bersedia menggadaikan apa yang telah diyakininya sedari lahir dengan peribadatan rutin di hari Minggu bersamaku. Tapi, itu urusan nanti. Kami sama-sama tahu hal ini sedari awal dan kami tetap sepakat berjalan. Jadi, kami sudah bersiap dengan berbagai kemungkinan yang diakibatkan oleh perbedaan iman. Namun, sekarang bukan itu masalahnya. Saat ini perkara penerimaan dia terhadap kebrengsengkanku lah yang kami hadapi. Aku benar-benar bingung, antara kasihan dan bersyukur.
"Aku sayang samamu, Bang. Aku sayang pada sosokmu tanpa 'tapi' dan 'karena'. Aku sayang dan aku sadar, aku nyaman membutakan diri dari dinding kemustahilan yang ada di depan kita. Tapi, tak apa. Aku percaya Tuhan telah siapkan hal terbaik dan terpantas untuk kita dan sekarang, belum waktu yang tepat bagi Dia menunjukkan hal baik itu. Jadi, jalani dulu dengan suka cita ya, Bang. Kita doakan yang terbaik untuk hubungan ini, tapi jangan sampai kita menjadi makhluk yang nggak tahu diri dengan mengharuskan penyatuan pada Tuhan. Kita pasrahkan dan ayo kita komit untuk bertumbuh dalam kebaikan!" jelasnya sambil mengusap air mataku.
Aku kehabisan kata. Aku bersyukur memiliki dia.
"Aku nggak berharap lebih, aku hanya mau Abang kembali dalam kebenaran. Aku sudah ikhlas dengan kenyataan sisi Abang yang kelam dan aku akan tetap di sini untuk Abang sampai waktu dan keputusan Tuhan tiba," tegasnya sembari memelukku.
Aku mendekapnya erat. Aku mengucap syukur kepada Bapa. Aku, bersyukur atas kehadiran dia yang telah menyadarkanku bahwa sepahit-pahitnya kejujuran akan lebih baik jika dikemukakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H