"Heran aja aku, Bang. Aku lebih sering melihat botol anggur di kulkas daripada air putih. Kebanyakan minumanmu juga sejenis bir, pokoknya yang beralkohol lah. Kenapa gitu?" selidiknya makin rinci.
Aku menghela napas dan kembali ke ranjang menyandinginya yang masih duduk. Dia menatap mataku dalam-dalam dan mata itu seolah memohon penjelasan. Kami kini duduk dengan posisi berhadapan.
"Ada satu hal yang ingin aku jelaskan samamu dan mungkin memang ini sudah waktunya aku jujur, hmmm," kataku sembari menepuk pundaknya.
"Apa?" katanya dengan antusias.
"Aku pasrah, apapun reaksimu dan bagaimana pun keputusanmu jika sudah tahu perihal ini, aku terima. Aku udah nggak sanggup menutupi jati diriku dan aku nggak tega membiarkanmu bertanya-tanya, Dik," tuturku dalam pembukaan.
"To the point, please! I'm waiting your explanation, Bang!" tegasnya yang sudah terlihat makin tak sabar.
"Aku adalah bagian dari gerombolan lelaki yang mungkin sudah dilabeli brengsek, bejat dan bajingan di wilayah ini. Aku seorang pemabuk berat. Aku pecandu alkohol parah dan aku adalah bagian dari jaringan peredaran ganja di sini."
Dia terdiam. Mulutnya terkunci rapat dan aku melihat raut kecewa di mukanya.
"Sebagian besar karibku adalah buaya yang ringan berganti wanita. Penjahat kelamin, pemburu ayam kampus dan terbiasa berpesta seks," tambahku.
Jatuh. Air matanya menetes dengan posisi mulut yang bungkam. Aku tak kuasa menahan malu, haru, marah, kasihan, semua berkecamuk dalam satu waktu.
"Kalau kau jijik samaku, aku pasrah. Tak apa jika setelah ini, kau pergi tinggalkan aku. Aku sadar, aku nggak pantas untukmu. Kau terlalu baik untuk aku yang brengsek. Kau pantas dijaga dengan baik oleh lelaki yang sepadan denganmu dan tentu saja, seiman samamu. Bukan aku yang seperti ini, bukan!" kataku lagi.