Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Obrolan di Kamar Kos

28 Mei 2020   02:45 Diperbarui: 28 Mei 2020   05:08 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu, dia kurang enak badan. Dia bilang, kepalanya pusing dan memang, sesekali dia semprat-semprot ingus. Tisu yang digunakannya untuk menampung lendir dari hidungnya pun sudah menggunung di tempat sampah yang berada di sebelah ranjang. Nanti kalau sudah benar-benar penuh, baru aku buang. Haha.

Oh iya, sepertinya, akhir-akhir ini cuaca mulai tidak bersahabat dengan mahasiswa yang selalu begadang seperti dia. Manusia bandal yang akan tetap mengiyakan ajakan nongkrong teman-temannya, sekalipun badan dia sendiri hampir tumbang. Katanya sih, wujud solidaritas dan tanda kesetiakawanan. Tapi, kalau sudah sakit, aku yang repot merawat, bukan temannya.

"Mau makan apa kau, Bang?" tanyaku yang sedari tadi duduk di kursi belajar sambil melihatnya golat-golet di kasur.

"Apa enaknya, ya?" jawabnya dengan malas-malasan.

Aku benci kalau sudah begini. Pasti ujung-ujungnya akan ada debat kusir untuk menentukan makanan apa yang akan dimakan. Jadi, kalau ada yang bilang perempuan adalah satu-satunya makhluk paling ribet yang suka bilang terserah dalam menentukan pilihan, aku pikir mereka salah. Mereka harus bertemu dengan lelakiku yang gemar membalikkan pertanyaan untuk memantik debat dalam menentukan pilihan sepele.

Sepuluh menit sudah kami berlempar tanya soal makan apa dan di mana, hingga akhirnya terdengar ketukan pintu yang menghentikan perdebatan kami.

Tok...Tok..., "Bang? Kak?", sayup suara terdengar selepas bunyi ketukan di pintu.

"Firmannya itu?" tebak lelakiku.

"Iya nampaknya, Bang! Cobalah aku buka, ya!" kataku yang lantas beranjak untuk membukakan pintu.

Kami memang sering satu kos bersama di siang hingga sore hari. Kadang juga malam, tapi tidak pernah kami menginap bersama karena kami berusaha patuh pada apa yang seharusnya kami ikuti. Yaaaa, meskipun kadang, kami sama-sama sadar bahwa roh memang penurut, tetapi daging lemah. Begitu kira-kira kalimat dari hasil kutipan Alkitab yang sering diulang lelakiku. Kutipan yang asing bagiku karena memang kitab kami berbeda. Haha, skip! Bisa ngelantur kalau dibahas. Jadi, back to topic!

Aku membuka pintu dan benar saja, ternyata tamu itu adalah Firman. Adik kandung lelakiku dan mungkin, akan menjadi calon iparku. Hehe.

Mungkin? Iya, semua masih mungkin. Aku tidak berani memastikan diri bahwa dia akan menjadi calon iparku karena aku juga belum mantap mengakui bahwa lelaki yang tengah aku pacari adalah seseorang yang akan menjadi calon suamiku kelak. Bukan berarti aku main-main atau, aku sedang tidak serius dalam menjalani hubungan. Aku hanya mengantisipasi jika suatu saat kemungkinan buruk terjadi di luar prediksi. Aku takut terlalu tinggi dalam berekspektasi hingga nantinya jatuh dan remuk sendiri. Jadi, aku akan terus mengedepankan kata "mungkin" sekalipun aku menjalani hubungan dengan dia. Lelaki berdarah Batak yang tentu saja berbeda denganku. Perempuan manja yang terlahir dari keluarga Jawa tulen yang konon masih teraliri darah ningrat dari Keraton Yogyakarta.

Bayangkan! Aku yang sedari kecil dididik untuk menjadi pribadi yang santun, lemah-lembut dalam bertutur dan bersikap, kini harus berpacaran dengan seorang lelaki yang perangainya keras dan nada bicaranya tinggi. Haha, sungguh, sebuah harmoni absurd yang kadang kami tertawakan sendiri.

"Ngapain kau ke sini, Dik?" selidik lelakiku yang menatap heran pada adiknya.

Tak ada jawaban. Firman langsung duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki dan aku menuju ke kasur untuk menyebelahi lelakiku.

"Kak, aku capek kuliah. Penat kali rasanya, Kak!" kata Firman yang justru ditujukan padaku.

"Kenapa penat?" tanya Abangnya dengan nada setengah heran.

"Kau ada masalah, Dik?" tambahku yang kini mulai fasih berlogat sama dengan mereka.

"Aku pikir, ini bukan duniaku, Bang. Nggak sanggupnya aku kalau dipaksa mikir beginian terus!" jawabnya sembari melemparkan segepok laporan praktikum yang dipangkunya.

"Hahaha.." respons lelakiku cukup unik. Dia tertawa dengan penuh kepuasan dan aku tidak mengerti. Firman terdiam melihatku dan kami kebingungan bersama.

"Kenapanya Abang ketawa?" tanya Firman.

"Welcome to the club, Dude!" kelakar sang Abang.

Aku masih bingung dan Firman kembali menatapku dengan sinyal yang satu frekuensi.

"Sudah dari awal semester lalu Abang berada di titikmu itu. Penat, malas, bingung dan ujungnya apa? Semua Abang abaikan karena gairah untuk menyelesaikan tugas pun nggak ada. Kalau pun ada, pasti nggak akan maksimal. Jadi, ya udah, nggak Abang paksa otak Abang satu-satunya. Hahaha" jelas lelakiku sembari beranjak mencari rokoknya di laci.

"Buka pintunya, Yang!" perintahnya padaku yang kemudian aku turuti. "Yang", potongan dari kata sayang yang dia gunakan untuk memanggilku.

Firman terdiam. Aku mengambil laporan praktikumnya yang bercecer di lantai dan meletakannya di meja. Lelakiku duduk di lantai dekat pintu sembari menikmati kepulan demi kepulan asap rokok yang dihisapnya.

"Kalian kenapa bisa demot sampai segininya, sih?" celetukku yang kembali duduk menyebelahi lelakiku.

"Apa demot?" tanya lelakiku.

"Demotivation, semacam kehilangan motivasi belajar, Bang!" jelasku.

Tak ada respons dari kedua lelaki yang sedang berada dalam satu ruangan denganku. Keduanya sibuk beradu tarikan napas sambil menampakkan wajah berpikir.

"Kau, Dik! Kenapa bisa kek gitunya?" tembakku ke Firman.

"Capek, Kak. Bosan aku dengan laporan praktikum yang tidak ada hentinya. Belum lagi tugas lain yang benar-benar menekan pikiranku, Kak!" jawabnya.

Mataku berpindah pandang ke arah lelakiku yang sepertinya paham bahwa aku tengah menunggu jawabannya.

"Sama. Aku pun capek dibuatnya. Capek lihat tugas yang bertumpuk dan skripsi yang tak kunjung usai!" katanya yang kemudian menghisap rokoknya.

"Hahahaha" tawaku yang kini memantik fokus keheranan dari keduanya.

"Kenapa ketawa?" tanya lelakiku dengan setengah terkejut.

"Aku juga pernah seperti kalian berdua. Lelah, capek, bosan dan rasanya mbuh! Pengen lari, pengen berhenti, tapi aku ingat, keluargaku menunggu dan mereka rela melakukan apapun untuk perjuanganku ini!" jelasku yang disimak keduanya.

"Wajar kok Dik, kalau bosan dan jenuh. Lumrah banget Bang misal Abang ngerasa capek. Kalau udah seperti itu, istirahatlah! Jangan pernah memaksa otak untuk bekerja keras karena setiap anggota tubuh punya hak rehat. Tapi, jangan juga terlena oleh waktu dan larut dalam berleha-leha! Jeda bisa menjadi bom waktu yang membunuh kalian seketika." tuturku sok bijak.

"Maksudnya, Kak?" tanya Firman yang nampak bingung dengan kiasanku.

"Ya, jeda atau waktu yang kita ambil untuk beristirahat dari rutinitas yang padat itu bisa menjadi bom waktu, Dik. Bisa aja kita jadi terlena dan ujungnya, semua hal yang telah kita planning rapi malah jadi berantakan. Ujug-ujug semua deadline, tiba-tiba semua harus dikumpul dan sedangkan kita nggak ada persiapan untuk mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan yang harusnya kita selesaikan. Begitulah kira-kira, Dik!" jelasku.

"Tapi Yang, mood-ku sering kali berantakan. Nggak stabil dan efeknya, aku jadi malas buat ngapain aja, Yang!" sahut lelakiku.

"Iya, Bang. Ngerti kali aku kalau kaunya moodyan, haha. Tapi ya itu semua bisa dikontrol sih Bang, asal Abang pun mau mengendalikan diri dan mengesampingkan ego. Emmmmm, maksudku gini, kalau baru Abang buka laptop buat nugas terus ada godaan nongkrong atau ajakan main gim, coba aja tolak sebentar. Bukan berarti aku ngelarang Abang buat nongkrong atau ngegim, ya!"

"Terus?"

"Jadi, coba deh Abang buat ketegasan pada diri sendiri! Nongkrong dan ngegim adalah bentuk reward untuk Abang setelah nugas atau nyelesaiin skripsi. Pasang target, tapi nggak usah muluk-muluk. Janji sama diri sendiri buat ngelarin dua halaman per hari, aku yakin Abang bisa kok!" kataku.

"Kau juga, Dik! Coba mulai sekarang, pasang target untuk diri sendiri. Jangan biasakan menunda tugas atau laporan sampai akhirnya numpuk, tapi cicil dikit demi sedikit. Nanti juga kelar kok, Dik! Pakai sistem reward juga biar asik. Kau kan suka es krim, jadi ya coba aja janji bakal kasih diri sendiri es krim tiap targetnya terpenuhi, hehe" tambahku.

"Sebenarnya nasihat Kakak itu sering aku baca di kutipan-kutipan motivasi, tapi kenapa ya pas dengar langsung dari Kakak bawaanya jadi tenang dan yakin kalau aku bisa ngalahin demot ini?" respons Firman.

"Itulah hebatnya bakal Kakakmu, Dik. Dia bisa menebar aura positif ke kita yang terlampau negatif ini, hahaha!" sahut lelakiku.

"Iyalah, Bang! Nggak ruginya Abang punya hallet kek Kakak, hmmm. Kapan lah aku ini punya hallet juga, ya?" celetuk Firman setengah menggoda.

"Lapar aku, makannya kita?" kata lelakiku yang memberikan kode untuk pergi makan bersama.

"Ayo! Ke burjo aja kita, ya! Udah, kalian berdua jangan ada yang protes!" kataku yang meminimalisir perdebatan dalam menentukan tempat.

Lelakiku dan Firman tertawa. Aku bersiap sembari touch up tipis, lelakiku mengenakan jaket kulitnya dan kami bertiga pun berjalan menuju mobil putih milik Firman yang sepertinya baru saja dicuci. 

Seperti biasa, lelakiku membukakan pintu belakang untukku. Dia duduk di depan menyampingi adiknya yang menyetir dan yap, berangkatlah kami menuju burjo untuk mengeksekusi nasi orak-arik sosis beserta es dan gorengan yang kami suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun