Mungkin? Iya, semua masih mungkin. Aku tidak berani memastikan diri bahwa dia akan menjadi calon iparku karena aku juga belum mantap mengakui bahwa lelaki yang tengah aku pacari adalah seseorang yang akan menjadi calon suamiku kelak. Bukan berarti aku main-main atau, aku sedang tidak serius dalam menjalani hubungan. Aku hanya mengantisipasi jika suatu saat kemungkinan buruk terjadi di luar prediksi. Aku takut terlalu tinggi dalam berekspektasi hingga nantinya jatuh dan remuk sendiri. Jadi, aku akan terus mengedepankan kata "mungkin" sekalipun aku menjalani hubungan dengan dia. Lelaki berdarah Batak yang tentu saja berbeda denganku. Perempuan manja yang terlahir dari keluarga Jawa tulen yang konon masih teraliri darah ningrat dari Keraton Yogyakarta.
Bayangkan! Aku yang sedari kecil dididik untuk menjadi pribadi yang santun, lemah-lembut dalam bertutur dan bersikap, kini harus berpacaran dengan seorang lelaki yang perangainya keras dan nada bicaranya tinggi. Haha, sungguh, sebuah harmoni absurd yang kadang kami tertawakan sendiri.
"Ngapain kau ke sini, Dik?" selidik lelakiku yang menatap heran pada adiknya.
Tak ada jawaban. Firman langsung duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki dan aku menuju ke kasur untuk menyebelahi lelakiku.
"Kak, aku capek kuliah. Penat kali rasanya, Kak!" kata Firman yang justru ditujukan padaku.
"Kenapa penat?" tanya Abangnya dengan nada setengah heran.
"Kau ada masalah, Dik?" tambahku yang kini mulai fasih berlogat sama dengan mereka.
"Aku pikir, ini bukan duniaku, Bang. Nggak sanggupnya aku kalau dipaksa mikir beginian terus!" jawabnya sembari melemparkan segepok laporan praktikum yang dipangkunya.
"Hahaha.." respons lelakiku cukup unik. Dia tertawa dengan penuh kepuasan dan aku tidak mengerti. Firman terdiam melihatku dan kami kebingungan bersama.
"Kenapanya Abang ketawa?" tanya Firman.
"Welcome to the club, Dude!"Â kelakar sang Abang.