Beberapa jam kemudian, Bu Siti mendapat telepon dari sekolah Cantika bahwa pendamping lomba boleh dua orang. Akhirnya, Bu Siti pun mengizinkan Cantika ikut perlombaan. Cantika sangat senang dan gembira.Â
Tiba saatnya dimana Cantika harus mengikuti perlombaan menari di Singapura. Ia berangkat ke Singapura bersama Bu Siti (ibunya) dan Bu Rina (guru pendampingnya). Setelah bersiap siap, Cantika minta diantar rumah sakit Dr. Soeroto di ruang ICU untuk meminta doa dan berpamitan dengan Bu Maulida. Dikarenakan Bu Maulida masih kritis, jadi tidak boleh menjenguk dan tidak boleh masuk ke dalam ruangan. Cantika hanya bisa menatap Bu Maulida dari luar ruangan sambil meneteskan air mata serta meletakkan tangannya di depan kaca sebagai tanda berpamitan dengan Bu Maulida.Â
Kemudian, Cantika, Bu Siti, dan Bu Rina langsung berangkat ke Singapura. Setelah sampai di Singapura Cantika langsung bersiap-siap untuk maju ke panggung dan menari dengan anggunnya. Setelah semua peserta tampil, diumumkan bahwa Cantika pemenang perlombaan tingkat internasional. Cantika naik ke atas panggung dan menerima piala. Cantika pun berpikir kalau Bu Maulida pasti senang dan bangga. Semuanya bertepuk tangan atas kemenangan Cantika. Cantika pun menangis bahagia dan tertawa lepas bagai senangnya burung yang lepas dari sangkar. Setelah menerima piala, Cantika turun dari panggung. Bu Siti mendapat telepon dari rumah sakit bahwa Bu Maulida telah meninggal dunia. Cantika, Bu Siti, dan Bu Rina menangis dan sangat sedih.Â
Cantika merasa sangat terpukul dan tak berhenti menangis. Cantika mempersembahkan piala kemenangannya untuk Bu Maulida karena semua pencapaiannya tidak lepas dari semua jasa Bu Maulida. Menurut Cantika, Bu Maulida adalah pahlawan tanpa tanda jasa.Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H