"Mbak, jangan lakukan itu. Jangan. Jangan. Ingat, anak kamu masih kecil," ucap Bu Chelsea dengan marah-marah.Â
"He, enak aja. Jangan. Jangan. Biar dia bertanggung jawab," ucap Bu Siti sambil menunjuk ke Bu Maulida dengan wajah marah. Bu Chelsea dan Bu Siti adu mulut dan bertengkar di depan ICU hingga suaranya memecahkan gendang telinga.Â
"Sudah... Sudah. Jangan ribut. Kasihan pasien yang lain. Apa tidak malu dilihat banyak orang?" nasihat Bu Maulida.Â
"Kamu yang seharusnya malu!" sahut Bu Siti dengan wajah marah dan mata melotot.Â
"Saya akan bertanggung jawab dan Dik Chelsea saya titip anak saya ya...." ucap bu Maulida dengan nada rendah.Â
"Bagus kalau begitu," jawab Bu Siti dengan kepala mendongak ke atas. Bu Siti senang tetapi Bu Chelsea sedih dan menangis. Bu Siti senang tetapi Bu Chelsea sedih dan menangis. Walaupun galak, tetapi Bu Chelsea berhati lembut.Â
Beberapa jam kemudian, Bu Maulida masuk ke ruang operasi dan menjalankan operasi. Sekian lama menunggu, operasi sudah selesai dijalankan. Cantika bisa melihat kembali, tetapi Bu Maulida dalam keadaan kritis. Cantika menanyakan keadaan Bu Maulida.Â
"Di mana Bu Maulida? Terakhir tadi saya ketemu di tengah jalan," tanya Cantika.Â
"Bu Maulida kritis di ruang ICU karena mendonorkan matanya untukmu," jawab Bu Chelsea dengan raut wajah sedih.Â
Seketika air mata Cantika pecah dan Cantika menangis tersedu sedu. Bu Maulida menitip pesan untuk Cantika. Setelah bisa melihat kembali dia harus giat berlatih dengan serius dan menjadi penari yang hebat. Beberapa minggu kemudian, Cantika sudah pulih. Cantika pun berlatih dengan serius dengan didampingi oleh Bu Rina sebagai guru pengganti Bu Maulida sementara waktu. Satu minggu menjelang perlombaan tingkat internasional, Cantika meminta doa restu dari keluarga, orang-orang terdekat, dan juga masyarakat Indonesia agar dia lancar dalam perlombaan. Akan tetapi, Bu Siti tidak mengizinkan Cantika mengikuti lomba karena yang boleh mendampingi hanyalah guru pendamping karena tempat lomba di Negara Singapura. Cantika merasa sedih dan menangis karena tidak diberi izin oleh ibunya.
Cantika bimbang. Di satu sisi, dia tidak mau membantah ibunya. Akan tetapi, Cantika telah diberi amanah oleh Bu Maulida untuk mengikuti perlombaan. Bu Maulida sudah mendonorkan matanya dan sehingga sekarang kondisinya kritis. Cantika sangat sedih, gelisah, dan resah. Kebingungan melandanya. Dia terus memikirkan sejuta cara agar mendapat jalan keluar. Ini merupakan pilihan terberat bagi Cantika hingga membuat bulan sembunyi dan sedikit mengintip di balik awan karena melihat kesedihan Cantika. Ia sangat terpukul dan sedih hingga membuat jendela dan seisi kamarnya ikut bersedih dan menangis.Â