Mohon tunggu...
Afifah Amani
Afifah Amani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kemajuan 1% lebih baik daripada tidak sama sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Tangisan Tawa dan Tangisan Duka

24 November 2024   22:00 Diperbarui: 25 November 2024   06:19 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh :Qurrotul Afifah Amani

Di bawah langit cerah dan ditemani sinar mentari yang hangat, seorang gadis kecil berselendang merah terus mengibaskan kipasnya dengan penuh rasa semangat. Gadis itu didampingi pelatih yang tanpa pamrih dan tulus terus melatihnya.

Terlihat dari kejauhan, seorang gadis kecil mengibaskan kipasnya dan meliukkan tubuhnya dengan anggun serta menawan. Cantika nama sang gadis penari. Cantika adalah seorang penari yang usianya masih sangat muda, tetapi memiliki segudang prestasi dalam bidang tari. Dari kecil ia selalu tekun dan terus berlatih menari karena ia bercita-cita menjadi penari profesional. Setiap hari ia selalu berlatih menari dengan serius dan sungguh-sungguh. Akhirnya, ia sering mengikuti perlombaan menari baik tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun nasional. Pasti semua itu bisa ia lewati tidak lepas dari pelajaran dan pengorbanan yang diberikan oleh seorang guru. Guru menari Cantika bernama Bu Maulida. Bu Maulida adalah seorang guru menari Cantika yang dengan sabar dan teguh melatih Cantika. Dengan sabar Bu Maulida melatih Cantika menari. Satu per satu perlombaan tari telah Cantika lewati dengan bimbingan dari Bu Maulida .Kini merupakan tingkat tertinggi Cantika dalam mengikuti perlombaan, yaitu tingkat internasional. 

Pada suatu hari, Cantika berlatih bersama bu Maulida di sebuah tempat. Tempatnya terbuka dan tempat biasanya seorang penari berlatih. Ternyata, dia berlatih di Pendopo Widya Graha. Derap kakinya terdengar merdu, semerdu iringan tari. Tangannya bergerak dengan lentiknya ke kanan dan ke kiri bagai bunga yang tertiup angin. Ia berlatih tari Orek-Orek, yaitu tari yang akan ditampilkan di tingkat internasional. Ia akan membawa nama Kabupaten Ngawi menjadi nama kabupaten yang membanggakan. Ia berlatih tari Orek-Orek dengan pakaian yang anggun dan hiasan kepala yang menawan. Mulai pagi sampai sore, ia berlatih menari dengan sungguh-sungguh dan didampingi oleh Bu Maulida. Hari demi hari telah ia lewati. 

Selesai latihan, Cantika pun bergegas mengambil sepeda. Ketika perjalanan mengambil sepeda, di tengah jalan ia bertemu dengan bidadari cantik yang memakai gaun warna putih dan mengibaskan kipasnya kipasnya dihadapan Cantika. 

"Wahai gadis cantik, mari ikut bersamaku ke istana penari. Di sana kamu bisa berlatih menari dan dilatih oleh para peri penari agar kamu menjadi penari yang hebat," tawar sang bidadari. 

Tanpa berpikir panjang, Cantika pun menerima tawaran sang bidadari.

"Baik, Bu.... Saya akan ikut ke istana penari," jawab Cantika. 

"Panggil saya Bunda Cheline saja," ucap Bunda Cheline. 

"Iya, Bunda," jawab Cantika. 

Cantika dan Bunda Cheline pergi ke istana dengan mengendarai kuda terbang. Sampai di sana ia terkagum oleh suasana dan pemandangan di istana penari. 

"Woww, indah sekali istana ini. Wahai Bunda Cheline, banyak sekali penari dan alat-alat untuk menari," seru Cantika dengan penuh kekaguman.

"Cantika, kamu akan latihan menari di sini. Apakah kamu bersedia?" tawar Bunda Cheline. 

"Iya, Bunda Cheline. Saya bersedia," jawab Cantika. 

Akhirnya, Cantika latihan menari di istana penari. Empat jam sudah berlalu. Cantika meminta izin untuk pulang. Bunda Cheline, sang ratu bidadari, mengantar Cantika kembali ke Pendopo Widya Graha. Dia dan Bunda Cheline sudah sampai di halaman Pendopo Widya Graha. Cantika mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangannya. Dia bergegas mengambil sepeda dan langsung mengayuh sepeda untuk pulang ke rumah. 

Di perjalanan pulang, ia melihat Bu Maulida hampir tertabrak mobil ketika akan menyeberang jalan. Cantika pun langsung menghentikan sepedanya. Ia berlari untuk menyelamatkan Bu Maulida. 

"Brakkk...." suara mobil menabrak Cantika. Cantika terpental dan mata kanannya terkena batu tajam. Cantika pun langsung dilarikan ke rumah sakit Dr. Soeroto. Saat ini keadaannya kritis. Dokter Fahri mengabarkan bahwa Cantika mengalami kebutaan. Beberapa saat kemudian orang tua Cantika pun datang. Ibu Cantika yang bernama Bu Siti datang dengan marah-marah. 

"Kamu harus bertanggung jawab. Karena kamu, anak saya menjadi seperti ini!" teriak Bu Siti kepada Bu Maulida. 

"Saya juga tidak menginginkan semua ini terjadi," ucap Bu Maulida dengan nada sedih. 

"Saya tidak peduli pokoknya kamu harus bertanggung jawab karena Cantika adalah anak emas di keluarga saya," bentak Bu Siti.

"Saya akan tanggung jawab. Beri saya waktu untuk mencari jalan keluar," ucap bu Maulida dengan kepala menunduk. 

Bu Maulida bingung. Apa yang harus dia lakukan agar Cantika bisa pulih kembali. Satu jam kemudian, Bu Maulida pun akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan mendonorkan matanya untuk Cantika agar Cantika bisa melihat kembali indahnya dunia dan bisa mengikuti perlombaan tari tingkat internasional. Bu Maulida menyampaikan maksudnya kepada keluarga Cantika dan kepada adik Bu Maulida yang bernama Bu Chelsea bahwa dia akan mendonorkan matanya untuk Cantika. Bu Chelsea tidak menyetujuinya dan menolak mentah-mentah keinginan Bu Maulida yang akan mendonorkan matanya untuk Cantika. 

"Mbak, jangan lakukan itu. Jangan. Jangan. Ingat, anak kamu masih kecil," ucap Bu Chelsea dengan marah-marah. 

"He, enak aja. Jangan. Jangan. Biar dia bertanggung jawab," ucap Bu Siti sambil menunjuk ke Bu Maulida dengan wajah marah. Bu Chelsea dan Bu Siti adu mulut dan bertengkar di depan ICU hingga suaranya memecahkan gendang telinga. 

"Sudah... Sudah. Jangan ribut. Kasihan pasien yang lain. Apa tidak malu dilihat banyak orang?" nasihat Bu Maulida. 

"Kamu yang seharusnya malu!" sahut Bu Siti dengan wajah marah dan mata melotot. 

"Saya akan bertanggung jawab dan Dik Chelsea saya titip anak saya ya...." ucap bu Maulida dengan nada rendah. 

"Bagus kalau begitu," jawab Bu Siti dengan kepala mendongak ke atas. Bu Siti senang tetapi Bu Chelsea sedih dan menangis. Bu Siti senang tetapi Bu Chelsea sedih dan menangis. Walaupun galak, tetapi Bu Chelsea berhati lembut. 

Beberapa jam kemudian, Bu Maulida masuk ke ruang operasi dan menjalankan operasi. Sekian lama menunggu, operasi sudah selesai dijalankan. Cantika bisa melihat kembali, tetapi Bu Maulida dalam keadaan kritis. Cantika menanyakan keadaan Bu Maulida. 

"Di mana Bu Maulida? Terakhir tadi saya ketemu di tengah jalan," tanya Cantika. 

"Bu Maulida kritis di ruang ICU karena mendonorkan matanya untukmu," jawab Bu Chelsea dengan raut wajah sedih. 

Seketika air mata Cantika pecah dan Cantika menangis tersedu sedu. Bu Maulida menitip pesan untuk Cantika. Setelah bisa melihat kembali dia harus giat berlatih dengan serius dan menjadi penari yang hebat. Beberapa minggu kemudian, Cantika sudah pulih. Cantika pun berlatih dengan serius dengan didampingi oleh Bu Rina sebagai guru pengganti Bu Maulida sementara waktu. Satu minggu menjelang perlombaan tingkat internasional, Cantika meminta doa restu dari keluarga, orang-orang terdekat, dan juga masyarakat Indonesia agar dia lancar dalam perlombaan. Akan tetapi, Bu Siti tidak mengizinkan Cantika mengikuti lomba karena yang boleh mendampingi hanyalah guru pendamping karena tempat lomba di Negara Singapura. Cantika merasa sedih dan menangis karena tidak diberi izin oleh ibunya.

Cantika bimbang. Di satu sisi, dia tidak mau membantah ibunya. Akan tetapi, Cantika telah diberi amanah oleh Bu Maulida untuk mengikuti perlombaan. Bu Maulida sudah mendonorkan matanya dan sehingga sekarang kondisinya kritis. Cantika sangat sedih, gelisah, dan resah. Kebingungan melandanya. Dia terus memikirkan sejuta cara agar mendapat jalan keluar. Ini merupakan pilihan terberat bagi Cantika hingga membuat bulan sembunyi dan sedikit mengintip di balik awan karena melihat kesedihan Cantika. Ia sangat terpukul dan sedih hingga membuat jendela dan seisi kamarnya ikut bersedih dan menangis. 

Beberapa jam kemudian, Bu Siti mendapat telepon dari sekolah Cantika bahwa pendamping lomba boleh dua orang. Akhirnya, Bu Siti pun mengizinkan Cantika ikut perlombaan. Cantika sangat senang dan gembira. 

Tiba saatnya dimana Cantika harus mengikuti perlombaan menari di Singapura. Ia berangkat ke Singapura bersama Bu Siti (ibunya) dan Bu Rina (guru pendampingnya). Setelah bersiap siap, Cantika minta diantar rumah sakit Dr. Soeroto di ruang ICU untuk meminta doa dan berpamitan dengan Bu Maulida. Dikarenakan Bu Maulida masih kritis, jadi tidak boleh menjenguk dan tidak boleh masuk ke dalam ruangan. Cantika hanya bisa menatap Bu Maulida dari luar ruangan sambil meneteskan air mata serta meletakkan tangannya di depan kaca sebagai tanda berpamitan dengan Bu Maulida. 

Kemudian, Cantika, Bu Siti, dan Bu Rina langsung berangkat ke Singapura. Setelah sampai di Singapura Cantika langsung bersiap-siap untuk maju ke panggung dan menari dengan anggunnya. Setelah semua peserta tampil, diumumkan bahwa Cantika pemenang perlombaan tingkat internasional. Cantika naik ke atas panggung dan menerima piala. Cantika pun berpikir kalau Bu Maulida pasti senang dan bangga. Semuanya bertepuk tangan atas kemenangan Cantika. Cantika pun menangis bahagia dan tertawa lepas bagai senangnya burung yang lepas dari sangkar. Setelah menerima piala, Cantika turun dari panggung. Bu Siti mendapat telepon dari rumah sakit bahwa Bu Maulida telah meninggal dunia. Cantika, Bu Siti, dan Bu Rina menangis dan sangat sedih. 

Cantika merasa sangat terpukul dan tak berhenti menangis. Cantika mempersembahkan piala kemenangannya untuk Bu Maulida karena semua pencapaiannya tidak lepas dari semua jasa Bu Maulida. Menurut Cantika, Bu Maulida adalah pahlawan tanpa tanda jasa. 

     

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun