Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Sistem Jaminan Produk Halal Indonesia, antara Kebutuhan dan Tantangan

19 Desember 2016   17:34 Diperbarui: 20 Desember 2016   06:53 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin

Dari sekian banyak syari’at islam yang Allah SWT turunkan kepada manusia, satu diantaranya yakni mengonsumsi produk halal. Syariat ini sudah lumrah dipahami oleh setiap muslim, bahkan non muslim pun banyak yang sudah paham hal ini. Dibandingkan dengan syari’at tentang memilih pemimpin muslim hingga pembangunan negara, hukum mengonsumsi produk halal sudah meluas dan mudah diterima oleh masyarakat. Sebab tidak ada satupun aktivitas muamalah yang bisa lepas dari kebutuhan akan suatu produk, sedangkan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ seputar produk yang halal.

Dalam memenuhi kebutuhannya, Islam memberikan aturan terkait konsumsi produk. Dalam salah satu perintah-Nya kepada kita yakni dengan mengonsumsi produk halal dan thoyyib. Sebagaimana dalam firman-Nya :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang amat nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 168)

Bahkan dengan makanan dapat menjadi penghambat doa dikabulkan. Dalam sebuah hadits Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Dalam hal ini, penulis tidak menyinggung hukum syara' suatu produk yang halal dan toyyib. Sebab penilaian itu akan membutuhkan penjelasan yang panjang, menyeluruh, dan mendalam, sehingga tidak asal menilai atau memutuskan hukum atas suatu produk. Begitupun kadar toyyib atas suatu produk belum bisa diukur berdasarkan pandangan subjektif semata, namun butuh hasil penelitian dari para ahli tentang kejelasan status kesehatan atas produk tertentu. Konsumen biasanya hanya melihat wujud asli produk siap makan/pakai sehingga tidak mungkin untuk mendalami satu per satu bagaimana proses produksi sampai distribusinya.

Jika dalam konteks Indonesia, sudah dibentuk lembaga yang bertugas memberikan sertifikasi kesehatan dan sertifikasi halal. Dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang diharapkan mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya. Seperti yang dilansir web resminya, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.[1]  Sedangkan dalam konteks sertifikasi halal dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) sebagai lembaga yang dipercaya oleh umat Islam di Indonesia untuk memberikan informasi dan standar halal atas suatu produk.

Dalam era kapitalisme, berkembangnya teknologi dan pemikiran tidak dibatasi dengan landasan syariat yang kuat. Karena yang haram dibolehkan, maka sesuatu yang dikonsumsi oleh seorang muslim pun harus terjaga agar jangan sampai tertkontaminasi dengan produk yang haram. Kehati-hatian seorang muslim harus dijaga agar terhindar dari konsumsi produk haram, atau sebisa mungkin menjauhkan diri dari yang syubhat.

Ambil salah satu contoh,  misalnya es krim yang menggunakan emulsifier (bahan pengemulsi).  Emulsifier sederhananya adalah satu senyawa kimia yang sekaligus mempunyai gugus hidrofilik (suka air) dan hidrofobik atau lipofilik (suka minyak). Emulsifier digunakan sebagai bahan untuk mempersatukan antara fase minyak dan fase air yang secara normal  tidak mungkin bisa bersatu sebagaimana peribahasa “seperti minyak dengan air”.  Dengan penambahan emulsifier, fase minyak dan fase air dapat bersatu membentuk emulsi yang homogen dan stabil. Emulsifier diperlukan untuk menjaga kestabilan emulsi pada es krim dan produk produk produk lain yang melibatkan pencampuran dua fase air dan minyak.

Aplikasi emulsifier banyak sekali dalam bidang pangan, farmasi dan kosmetika. Emulsifier merupakan salah satu bahan tambahan yang biasa dikodekan dengan E322 (lecithin), E471 (mono dan digliserida dari asam lemak), dan E472 (senyawa ester dari monogliserida dari asam lemak). Di media sosial berkembang isu bahwa semua emulsifier ini berasal dari bahan lemak babi, bahkan semua bahan atau sebagian besar bahan berkode E tersebut berasal dari bahan haram.

Isu tersebut tentu juga tidak sepenuhnya benar. Kode E tersebut memang tidak menyebutkan asal usul bahan seperti asam lemak dan gliserol yang digunakan. Karena itu asam lemak dan gliserol yang digunakan bisa saja berasal dari lemak nabati (tanaman) ataupun lemak hewani. Di negara negara yang banyak mengkonsumsi daging babi, memang lumrah memanfaatkan lemak babi yang merupakan hasil samping industri peternakan babi untuk menjadi produk lain yang bernilai ekonomi.

Emulsifier yang berasal dari lemak babi, atau dari lemak hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariat Islam tentu saja merupakan bahan yang  haram. Kejelasan sumber lemak atau bahan bahan lain yang digunakan tentunya bisa diperoleh melalui proses sertifikasi. Karena itu, produk industri yang belum atau tidak disertifikasi, tidak berarti haram dan juga tidak berarti halal. Statusnya adalah syubhat, yaitu belum jelas kehalalan atau keharamannya.[2]  Hal ini yang menjadikan MUI memperhatikan sesuatu yang syubhat cukup banyak, bahkan mampu mengubah status halal suatu makanan yang lumrah si masyarakat menjadi haram karena bercampur dengan sesuatu yang haram.

Regulasi Indonesia terhadap Jaminan Produk Halal

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Untuk menjaga muslim Indonesia akan produk halal tentunya dengan membuat peraturan perundang-undangan yang menjamin atas produk halal yang beredar di Indonesia. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah sejauh ini dengan dibentuknya Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan oleh DPR pada tanggal 19 September 2014 kemarin.

Sedikit menambah angin segar bagi umat Islam di Indonesia, sebab dengan adanya jaminan ini minimal keamanan masyarakat akan mengonsumsi produk halal lebih terjamin, disamping hambatan dan tantangan jangka panjang yang akan dihadapi. Namun sayang angin segar itu baru dapat kita rasakan tahun 2019 mendatang, karena berlakunya jaminan tersebut setelah 5 tahun UU ini disahkan (Pasal 67). Begitupun respon masyarakat yang berbeda-beda sehingga menimbulkan pro-kontra atas disahkannya undang-undang ini. Bahkan dalam situs resmi kemenperin disampaikan bahwa UU itu harus direvisi karena dapat memberatkan dunia usaha dan mengganggu iklim investasi.[3]

Berangkat dari fenomena ini, maka penulis memberikan beberapa perhatian atas pelaksanaan undang-undang ini, diantaranya terkait penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal, syarat dan prosedur pelaku usaha dalam setifikasi produk halal, pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pengawasan terhadap produk halal, hingga penegakkan hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal ini.[4]

1.Penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal

Kementerian Agama tengah dalam proses penyusunan perangkat peraturan pelaksana UU JPH. Adapun peraturan pelaksana yang dimaksud adalah : 1) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 ; 2) Peraturan Pemerintah Tentang Tarif Sertifikasi Halal ; 3) Peraturan Presiden Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPJPH ; 4) Peraturan Menteri mengenai hal-hal teknis terkait penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ini.

Ketidakseriusan penyelenggaraan UU JPH ini bisa dilihat dari Peraturan Pelaksanaan yang harusnya sudah diluncurkan oleh Pemerintah September kemarin. Dalam Pasal 65 disebutkan bahwa Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan.[5]  Namun faktanya, hingga Oktober kemarin Pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan tentang Pelaksanaan UU JPH ini, dengan alasan pemerintah terlihat berhati-hati dalam merencanakan penerbitan aturan ini terlebih lantaran adanya kekhawatiran terkait pelaku usaha yang dianggap belum siap.[6]  Molornya penerbitan aturan ini bisa menjadi indikasi atas ketidakseriusan pemerintah sejak awal untuk meninjau fakta dan dampak penyelenggaraan UU JPH ini dalam tataran teknis.

2.Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi produk halal

Dalam UU ini dijelaskan, singkatnya, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi, jika terdapat bahan yang diragukan bisa diuji di laboratorium.

Dalam mekanismenya membutuhkan sosialisasi yang jelas kepada seluruh pelaku usaha di Indonesia untuk menjamin produknya mendapatkan halal, namun akan terlihat sulit karena hingga saat ini belum ada gambaran jelas bagaimana mekanisme masyarakat mendaftarkan produknya ke BPJPH dan lembaga terkait yang bekerjasama dengannya, padahal kurang dari 3 tahun lagi masa wajib produk bersertifikasi halal.

3.Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

Dalam UU JPH ditegaskan, untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH ini dibentuklah BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama. Dalam hal yang diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Mengenai tugas, fungsi, dan susunan Organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pembentukan ini butuh persiapan teknis yang matang. Hal ini akan sulit dikarenakan Peraturan Pelaksanaan UU JPH ini yang seharusnya September kemarin sudah keluar namun masih belum juga diputuskan. Ditambah dengan pembatasan waktu pembentukan BPJPH seharusnya menjadi hitungan mundur atas tercapainya penyelenggaraan UU JPH ini. dalam Pasal 64 berbunyi, BPJPH  harus  dibentuk  paling  lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Meskipun dijelaskan bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk, namun akan berat bagi MUI untuk menjalankan tugasnya memberikan sertifikasi yang disamping itu juga menyiapkan masyarakat untuk sadar akan produk halal. Hal ini diketahui dari data Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam menyebutkan, Total persentase produk bersertifikat halal sejak tahun 2011  s.d. 2014 adalah 26,11% sehingga produk pangan, kosmetika, dan obat-obatan yang beredar dan belum bersertifikat halal tahun 2011 s.d. 2014 sebesar 73,89%.[7]  Ini menandakan bahwa MUI masih memiliki segudang tugas di bidang sertifikasi halal.

4.Pengawasan terhadap produk Halal

Dalam UU JPH dijelaskan bahwa Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman  Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan,  penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak  halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Hingga belum terbentuknya BPJPH, maka pengawasan masih dilakukan oleh kemenag. Sebab tugas MUI terhadap Produk Halal hanya berupa sertifikasi, sedangkan pengawasan dan sosialisasi diserahkan kepada pemerintah. Setelah keluarnya UU JPH ini masyarakat diminta mendaftarkan produknya agar mendapat sertifikasi halal, namun sayang selama belum terbentuknya BPJPH akan jadi beban bagi MUI untuk menerima jasa sertifikasi yang cukup banyak. Disamping itu, waktu yang disediakan pemerintah setelah dibentuknya BPJPH dengan pemberlakuan sanksi hanya berjarak 2 tahun.

5.Biaya sertifikasi produk halal

Dijelaskan dalam Pasal 44 bahwa biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang memohonkan sertifikat halal. Namun, dalam hal pelaku usaha adalah pelaku usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain. Terkait dengan pembiayaan, nantinya akan diatur lebih rinci melalui RPP tentang Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Agama. Namun RPP tersebut hanya akan mengatur mengenai jenis-jenis layanan saja. Sedangkan terkait dengan besaran tarifnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama.

Belum adanya transparansi Rancangan Peraturan Pelaksanaan atas Undang-undang ini justru menampakkan ketidaksiapan pemerintah. Ditambah rencana peluncuran PP November lalu yang molor justru menjadi bukti nyata. Apalagi pengaturan terkait pembiayaan ini tidaklah mudah. Terlebih lagi kemampuan pemerintah dalam hal ini kementrian agama bersifat terbatas. Sedangkan pelaku usaha yang masuk kategori usaha mikro dan kecil tidaklah sedikit.

6.Penegakkan Hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal

Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda Administratif; c. Pencabutan Sertifikat Halal. Juga dalam Pasal 56 UU JPH dijelaskan bahwa Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah  memperoleh Sertifikat Halal dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sanksi ini bisa menjadi pedang bermata dua, alih-alih untuk menertibkan namun bisa saja disalahgunakan. Sebab berlakunya sanksi di tengah hukum demokrasi Indonesia yang suatu saat mengabaikan prinsip keadilan alias tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Menghadapi tantangan Masa Depan

Terlepas dari Pro-kontra UU ini, namun sebagian besar mendukung adanya aturan untuk melindungi kosumen dari produk haram. Dukungan ini tidak lepas dari masukan para produsen di Indonesia, khususnya produsen di bidang farmasi. Seperti Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG) Parulian Simanjuntak, menyatakan pihaknya mendukung semangat UU Halal yang ingin melindungi konsumen. Namun, aturan ini sulit diterapkan. “Jika pemerintah berkeras menerapkannya, pebisnis farmasi tak berani lagi memproduksi obat karena takut terkena sanksi. Imbasnya, pasokan obat ke masyarakat terganggu,” katanya.[8]  

Berbeda dengan MUI yang dikutib dari web resminya, memandang bahwa produk halal justru mampu meningkatkan daya saing. Persepsi konsumen atas konsepsi halal saat ini tidak hanya mempertimbangkan murni karena masalah keagamaan, melainkan karena halal telah menjadi simbol pula untuk jaminan mutu dan pilihan gaya hidup. Pasar produk halal ini kemudian berkembang menjadi arena yang menjanjikan keuntungan dan berpengaruh pada persaingan produk.[9]

Melihat target sertifikasi halal tentunya akan sulit untuk memenuhinya. Dalam penjelasan Umum UU JPH ini disebutkan: Pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,  minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 

Untuk mersertifikasi obat-obatan dan kosmetik saja masih sulit, apalagi tambah meluas hingga barang gunaan yang dipakai. Maka wajar jika saat ini kita sering dengar produk pakaian bersertifikat halal, seperti “ZOYA, Hijab Halal” atau “SOKA, Kaos Kaki Halal”; bahkan menyisir hingga pariwisata halal. Bagaimana dengan ratusan produsen kaos kaki yang harus didaftarkan nanti? Belum menyinggung jasa halal yang tidak jelas pengertiannya seperti apa. Masyarakat yang masih awam dengan sertifikasi tersebut akan kesulitan menghadapinya. Oleh karena itu pemberlakuan UU ini harus dicermati ulang.

Ditambah dengan liberalisasi perdangangan yang melahirkan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sehingga semakin banyak produk-produk syubhat, haram, bahkan berbahaya bagi masyarakat. serbuan MEA tidak hanya produk, namun perusahaan-perusahaan bahkan para pekerja yang tidak tahu apa itu produk halal malah menjadi ancaman nyata bagi berlangsungnya UU JPH ini.

Data persentase produk bersertifikat halal di negara kita pun masih sangat rendah. Pada Januari 2014 lalu, menurut Lukmanul Hakim selaku Kepala LPPOM MUI bahwa makanan yang sudah disertifikasi oleh MUI sejak 5 tahun terakhir ini ada 13.136 jenis termasuk makanan impor, jumlah tersebut sekitar 70% adalah makanan dalam negeri, atau 70% dari makanan sertifikasi MUI yang berjumlah 13.136 adalah 9195. Maka dalam hal ini, persentase makanan dalam negeri yang sudah disertifikasi oleh LPPOM MUI dibandingkan dengan jumlah makanan yang terdaftar di BPOM sebanyak 57924 adalah 9195 dibagi 57924 adalah 15,88%. Angka ini sangat jauh dengan angka persentase Sertifikasi Malaysia sebesar 95% dan Thailand sekitar 88%.[10]

Tentu jika dalam waktu dekat, salah satu kesulitan yang dihadapi Kementerian Agama adalah soal pemahaman masyarakat akan pentingnya barang dan jasa yang halal. Kurang pahamnya masyarakat akan produk halal dikhawatirkan berdampak pada keadaan dijadikannya Indonesia sebagai pangsa besar bagi negara-negara lain yang telah lebih dulu stabil melakukan sertifikasi halal pada setiap produknya. Belum seragamnya perspektif pada kalangan pelaku usaha terutama yang bergerak di industri farmasi dan kosmetika menjadi kekhawatiran bagi Kementerian Agama. 

Sebagai contoh, di negara-negara seperti Jepang dan Korea misalnya sudah mulai melakukan riset tentang bahan-bahan yang halal untuk bahan baku pembuatan obat.[11]  Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia dimana pelaku usaha di bidang obat-obatan dan kosmetika malah minta dikecualikan dari produk yang wajib bersertifikat halal.

Sistem jaminan produk halal yang ideal?

jika merujuk kepada hukum asal benda, maka didapatkan kaidah al-ashlu fi al-asyaa al-ibaahah, maa lam yarid daliilu at-tahriim, artinya hukum asal suatu benda adalah boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya. Maka jika dipahami bahwa segala sesuatu itu boleh dimakan, dikecualikan sesuatu yang sudah dijelaskan oleh syara’ hukumnya haram, atau menjauhi yang hukumnya makruh. Selain itu, kaidah ini membatasi sesuatu yang boleh dengan yang haram karena yang boleh itu banyak, dan yang haram adalah sedikit. Artinya, lebih cocok untuk menuliskan label haram karena lebih mudah dibanding menuliskan label halal pada setiap produk.

Tentu kondisi di atas tidak akan terwujud dalam sistem ekonomi kapitalisme. Paradigma ekonomi kapitalis saat ini hanya mengutamakan materi, tanpa memandang apakah produk yang diperjualbelikan halal atau haram. Selama baginya menguntungkan maka tidak ada hambatan untuk menjualnya, asalkan tidak mengganggu hak orang lain, tidak bertentangan dengan UU, norma kesusilaan, dsb. Kalaupun ada sebagian kecil yang menjual produk halal, biasanya karena dua faktor. Pertama, agar produk mereka terkenal dan mampu diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Kedua, karena sadar wajibnya seorang muslim menjual produk halal sehingga konsumennya bisa terjaga. Faktor kedua ini yang minim tumbuh di masyarakat.

Jika dalam sistem kapitalisme yang sekuler ini menyuburkan produk-produk syubhat, tentu hal ini berbeda dengan sistem Islam yang tidak memperbolehkan produk haram beredar bebas apalagi diperjualbelikan. Larangan ini tentu membuat masyarakat di dalam Negara yang menerapkan syariat islam akan merasa lebih aman dan nyaman, juga tidak harus mengeluarkan biaya besar.

Pemerintah tidak hanya menerapkan syariat Islam, namun menjaga dan menyebarluaskannya termasuk salah satunya syariat tentang produk halal. Upaya edukasi terus dilakukan agar masyarakat wajib mengonsumsi produk-produk halal. Para produsen pun tidak luput dari pengawasan agar produk yang dihasilkan tidak berasal dari sesuatu yang haram. Para ilmuwan akan didorong untuk meneliti bahan pengganti dari setiap produk haram yang ‘terpaksa’ digunakan dalam produksi farmasi. Begitupun dengan arus impor dan ekspor barang akan dijaga ketat agar tidak ada upaya ‘penyelundupan’ atas produk haram yang akan beredar.

Dalam Penerapan Islam mempunya tiga asas yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Ketaqwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada hukum syara', (2) Pengawasan dan muhasabah masyarakat, dan (3) Negara yang menerapkan syari'at Islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syari'at Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam, sebagai agama dan ideologi, akan hilang dari muka bumi.

Untuk itu, jaminan produk halal di era kekhilafahan tidak hanya menjadi tugas bagi polisi (asy-Syurtah) atau petugas lainnya, namun juga individu-individu yang betakwa dan amanah yang dibentuk oleh sistem Islam. Budaya amar ma’ruf nahi munkar harus tumbuh, sehingga membantu para petugas pemeriksa/auditor halal dalam menindak para pelanggar syariat. Sanksi yang tegas dan keadilan hukum pasti akan ditegakkan dalam negara yang menerapkan syariat Islam.

[1] pom.go.id  

[2] halalmui.org 

[3] kemenperin.go.id 

[4] hukumonline.com 

[5] UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

[6] republika.co.id 

[7] Persentase ini diperoleh dari Data BPOM tentang total jumlah produk yang beredar sejak tahun 2011 s.d 2014 dengan Data LPPOM MUI tentang total jumlah produk bersertifikat halal sejak tahun 2011 s.d 2014

[8] berita satu 

[9] halalmui.org 

[10] mirajnews.com  

[11] tempo.co 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun