Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Sistem Jaminan Produk Halal Indonesia, antara Kebutuhan dan Tantangan

19 Desember 2016   17:34 Diperbarui: 20 Desember 2016   06:53 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam mekanismenya membutuhkan sosialisasi yang jelas kepada seluruh pelaku usaha di Indonesia untuk menjamin produknya mendapatkan halal, namun akan terlihat sulit karena hingga saat ini belum ada gambaran jelas bagaimana mekanisme masyarakat mendaftarkan produknya ke BPJPH dan lembaga terkait yang bekerjasama dengannya, padahal kurang dari 3 tahun lagi masa wajib produk bersertifikasi halal.

3.Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

Dalam UU JPH ditegaskan, untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH ini dibentuklah BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama. Dalam hal yang diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Mengenai tugas, fungsi, dan susunan Organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pembentukan ini butuh persiapan teknis yang matang. Hal ini akan sulit dikarenakan Peraturan Pelaksanaan UU JPH ini yang seharusnya September kemarin sudah keluar namun masih belum juga diputuskan. Ditambah dengan pembatasan waktu pembentukan BPJPH seharusnya menjadi hitungan mundur atas tercapainya penyelenggaraan UU JPH ini. dalam Pasal 64 berbunyi, BPJPH  harus  dibentuk  paling  lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Meskipun dijelaskan bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk, namun akan berat bagi MUI untuk menjalankan tugasnya memberikan sertifikasi yang disamping itu juga menyiapkan masyarakat untuk sadar akan produk halal. Hal ini diketahui dari data Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam menyebutkan, Total persentase produk bersertifikat halal sejak tahun 2011  s.d. 2014 adalah 26,11% sehingga produk pangan, kosmetika, dan obat-obatan yang beredar dan belum bersertifikat halal tahun 2011 s.d. 2014 sebesar 73,89%.[7]  Ini menandakan bahwa MUI masih memiliki segudang tugas di bidang sertifikasi halal.

4.Pengawasan terhadap produk Halal

Dalam UU JPH dijelaskan bahwa Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman  Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan,  penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak  halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Hingga belum terbentuknya BPJPH, maka pengawasan masih dilakukan oleh kemenag. Sebab tugas MUI terhadap Produk Halal hanya berupa sertifikasi, sedangkan pengawasan dan sosialisasi diserahkan kepada pemerintah. Setelah keluarnya UU JPH ini masyarakat diminta mendaftarkan produknya agar mendapat sertifikasi halal, namun sayang selama belum terbentuknya BPJPH akan jadi beban bagi MUI untuk menerima jasa sertifikasi yang cukup banyak. Disamping itu, waktu yang disediakan pemerintah setelah dibentuknya BPJPH dengan pemberlakuan sanksi hanya berjarak 2 tahun.

5.Biaya sertifikasi produk halal

Dijelaskan dalam Pasal 44 bahwa biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang memohonkan sertifikat halal. Namun, dalam hal pelaku usaha adalah pelaku usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain. Terkait dengan pembiayaan, nantinya akan diatur lebih rinci melalui RPP tentang Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Agama. Namun RPP tersebut hanya akan mengatur mengenai jenis-jenis layanan saja. Sedangkan terkait dengan besaran tarifnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama.

Belum adanya transparansi Rancangan Peraturan Pelaksanaan atas Undang-undang ini justru menampakkan ketidaksiapan pemerintah. Ditambah rencana peluncuran PP November lalu yang molor justru menjadi bukti nyata. Apalagi pengaturan terkait pembiayaan ini tidaklah mudah. Terlebih lagi kemampuan pemerintah dalam hal ini kementrian agama bersifat terbatas. Sedangkan pelaku usaha yang masuk kategori usaha mikro dan kecil tidaklah sedikit.

6.Penegakkan Hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun