Isu tersebut tentu juga tidak sepenuhnya benar. Kode E tersebut memang tidak menyebutkan asal usul bahan seperti asam lemak dan gliserol yang digunakan. Karena itu asam lemak dan gliserol yang digunakan bisa saja berasal dari lemak nabati (tanaman) ataupun lemak hewani. Di negara negara yang banyak mengkonsumsi daging babi, memang lumrah memanfaatkan lemak babi yang merupakan hasil samping industri peternakan babi untuk menjadi produk lain yang bernilai ekonomi.
Emulsifier yang berasal dari lemak babi, atau dari lemak hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariat Islam tentu saja merupakan bahan yang  haram. Kejelasan sumber lemak atau bahan bahan lain yang digunakan tentunya bisa diperoleh melalui proses sertifikasi. Karena itu, produk industri yang belum atau tidak disertifikasi, tidak berarti haram dan juga tidak berarti halal. Statusnya adalah syubhat, yaitu belum jelas kehalalan atau keharamannya.[2]  Hal ini yang menjadikan MUI memperhatikan sesuatu yang syubhat cukup banyak, bahkan mampu mengubah status halal suatu makanan yang lumrah si masyarakat menjadi haram karena bercampur dengan sesuatu yang haram.
Regulasi Indonesia terhadap Jaminan Produk Halal
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Untuk menjaga muslim Indonesia akan produk halal tentunya dengan membuat peraturan perundang-undangan yang menjamin atas produk halal yang beredar di Indonesia. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah sejauh ini dengan dibentuknya Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan oleh DPR pada tanggal 19 September 2014 kemarin.
Sedikit menambah angin segar bagi umat Islam di Indonesia, sebab dengan adanya jaminan ini minimal keamanan masyarakat akan mengonsumsi produk halal lebih terjamin, disamping hambatan dan tantangan jangka panjang yang akan dihadapi. Namun sayang angin segar itu baru dapat kita rasakan tahun 2019 mendatang, karena berlakunya jaminan tersebut setelah 5 tahun UU ini disahkan (Pasal 67). Begitupun respon masyarakat yang berbeda-beda sehingga menimbulkan pro-kontra atas disahkannya undang-undang ini. Bahkan dalam situs resmi kemenperin disampaikan bahwa UU itu harus direvisi karena dapat memberatkan dunia usaha dan mengganggu iklim investasi.[3]
Berangkat dari fenomena ini, maka penulis memberikan beberapa perhatian atas pelaksanaan undang-undang ini, diantaranya terkait penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal, syarat dan prosedur pelaku usaha dalam setifikasi produk halal, pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pengawasan terhadap produk halal, hingga penegakkan hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal ini.[4]
1.Penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal
Kementerian Agama tengah dalam proses penyusunan perangkat peraturan pelaksana UU JPH. Adapun peraturan pelaksana yang dimaksud adalah : 1) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 ; 2) Peraturan Pemerintah Tentang Tarif Sertifikasi Halal ; 3) Peraturan Presiden Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPJPH ; 4) Peraturan Menteri mengenai hal-hal teknis terkait penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ini.
Ketidakseriusan penyelenggaraan UU JPH ini bisa dilihat dari Peraturan Pelaksanaan yang harusnya sudah diluncurkan oleh Pemerintah September kemarin. Dalam Pasal 65 disebutkan bahwa Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan.[5] Â Namun faktanya, hingga Oktober kemarin Pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan tentang Pelaksanaan UU JPH ini, dengan alasan pemerintah terlihat berhati-hati dalam merencanakan penerbitan aturan ini terlebih lantaran adanya kekhawatiran terkait pelaku usaha yang dianggap belum siap.[6] Â Molornya penerbitan aturan ini bisa menjadi indikasi atas ketidakseriusan pemerintah sejak awal untuk meninjau fakta dan dampak penyelenggaraan UU JPH ini dalam tataran teknis.
2.Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi produk halal
Dalam UU ini dijelaskan, singkatnya, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi, jika terdapat bahan yang diragukan bisa diuji di laboratorium.