Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku, Kepompong, dan Seribu Patahan Hati

27 April 2018   23:58 Diperbarui: 28 April 2018   00:24 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam begitu terasa dingin di Desa Papring, sebuah desa terpencil di Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Bagaimana tidak? Desa ini masih sangat asri dan terletak di kaki pegunungan. Jalannya menanjak dan masih berupa bebatuan, belum diaspal. Lampu-lampu jalan pun masih digerakkan oleh pembangkit listrik tenaga langit malam.

Beruntung saat itu bulan sedang percaya diri untuk memperlihatkan siapa dirinya. Sehingga aku tidak terlalu takut menyusuri jalan setapak itu sendirian. Jalan menuju sebuah saung kecil nan reot di pinggir sawah milik Bapak.

Aku sangat menyukai duduk manis di saung itu. Sama seperti aku menyukai desa ini. Jauh dari kebisingan kota, kepulan polusi udara, bau tumpukkan sampah hingga bau mulut para peng-ghibah, juga jauh dari seseorang yang telah mematahkan hatiku... Ah, dia lagi.

Kenangan tentangnya pun mulai berkelebat di depan mataku. Tentang bagaimana aku mengenal dia hingga tidak ingin mengenalnya lagi. Baiklah, mungkin sedikit bercerita kepadamu akan membuat suasana hatiku membaik.

Dia ---yang ingin kulupakan namanya adalah sahabatku (dulu). Bukan mantan. Karena kami memang tidak pernah berpacaran. Tapi di mata orang-orang, kami adalah pasangan yang kompak dan serasi. Mungkin karena kedekatan kami sudah berjalan cukup lama, 5 tahun lebih. 

Dan benarlah kata pepatah, bahwa tidak ada yang murni persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Entah sejak kapan dadaku bergemuruh saat aku melihatnya. Kemudian ditambah perasaan hangat yang menjalar saat melihatnya tertawa. Semua terjadi begitu saja.

Bersamanya, aku merasa senang dan sedih bercampur menjadi satu. Senang karena dia ada di dekatku, sedih karena aku harus menelan kenyataan bulat bahwa dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Bahkan tidak akan pernah.

Bagaimana aku bisa tahu? Oh, tentu saja! Setiap bersamaku, dia tidak pernah absen untuk berceloteh tentang pujaan hatinya. Anis namanya.

Anis yang cantik, senyumnya seperti bulan sabit, Anis yang cerdas, bisa diajak diskusi ini-itu, Anis yang berbeda dari seluruh wanita di dunia, dan Anis yang blablabla hingga sedikit demi sedikit hatiku retak setiap mendengar namanya disebut. Dia terlalu asyik berbicara tentang Anis, hingga lupa bahwa lawan bicaranya bukan Tuhan, melainkan sahabatnya yang sedang berjuang menekan perasaan.

Hingga suatu hari, dia bercanda seperti ini:

"Kamu tahu, San, kenapa aku suka sahabatan sama kamu?" tanyanya dengan mimik yang serius. Hampir saja aku GR untuk menerka-nerka jawabannya.

"Kenapa?"

"Karena muka-mu mirip Anis, jadi aku melihatmu seakan melihat dia! Hehe... Jangan marah, ya! Namamu juga mirip. Sani, anagram dari Anis. Jangan-jangan... kalian anak kembar! Hahaha"

Sungguh itu adalah candaan terburuk se-dunia. Tidak lucu sama sekali.

Belum selesai aku membalut luka, tiba-tiba dia mengatakan hal yang setiap malam menjadi ketakutanku.

"San..."

"Hm?"

"Besok aku akan ke rumah Anis"

"Ngapain?"

"Ngajakin nikah lah"

Itulah yang membuatku pergi sejauh ini, tanpa pamit. Hatiku sudah terlanjur patah jadi seribu bagian. Empat ratusnya karena dia menjadikanku sahabat dan memperlakukanku dengan amat sangat manis hanya karena wajahku mirip dengan pujaan hatinya, dan enam ratus patahan karena dia memutuskan untuk menikahi perempuan itu. Lalu, untuk apa lagi aku ada di hidupnya?

"Oh... Ternyata itu yang membuat kamu murung di saung ini setiap malam"

Aku terperanjat.

Hei, bukankah aku sedang di saung ini sendirian? Lantas siapa yang berbicara barusan?

"Jangan takut... Aku di sini" kata suara itu lagi.

Aku merinding sekaligus ingin tertawa, bagaimana bisa suara itu bilang "di sini" tapi tidak menunjukkan dirinya?

"Payah! Sudah 20 hari aku di sini dan kamu tidak menyadari keberadaanku?"

What? Dia berbicara seolah mengerti apa yang aku pikirkan!

Oke, mari kita cari keberadaannya. Di saung ini hanya ada tumpukan jerami, korek api (mungkin milik petani yang tertinggal), lalu di depan saung ada beberapa tanaman, ada sa...

"Ah, kelamaan! Tengok arah jam 1, aku terpampang nyata di sana!" 

Hahaha, baiklah. Lihat siapa yang berbicara, seekor... bukan, seonggok... eh... sebuah... Kepompong! Seriously!

"Ya! Memangnya kenapa, ha?"

"Horror, tahu!"

"Oke, nanti saja debatnya. Yang jelas aku ingin menyampaikan beberapa hal kepadamu"

"Eh... Apa itu?"

"Pertama, aku turut berduka atas seribu hatimu yang patah"

Aku melengos. "Ya, terima kasih. Lalu?"

"Kedua, ini amatlah penting. Sesungguhnya hanya ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk menjaga hati kita supaya tidak patah saat jatuh"

"Hmm... Apa itu?"

"Semua itu ada dalam diri kami, para kepompong. Semoga kamu bisa memahami dan menerapkannya dalam kehidupan"

"Maksudmu, hidup seperti kalian?"

"Bukan begitu, cantik. Yang perlu kamu lakukan adalah petikan dari apa yang kami lakukan setiap hari, yaitu berdiam, berbenah, dan berdo'a.

Berdiam, bukan berarti kamu hanya duduk terpaku merenung merana menggenaskan seperti ini, ya. Berdiam di sini dalam arti kamu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang atau tidak bermanfaat saat jatuh hati. Seperti cari perhatian, posting status tentang ke-galau-an, atau bahkan memberi kode sana-sini.

Berdiam juga bukan soal apatis. Justru saat berdiam, kamu harus mengalihkan energimu ke arah positif. Misalnya menyibukkan diri dengan terus belajar, aktif berorganisasi, daaan masih banyak lagi.

Kedua, yang harus kamu lakukan adalah berbenah. Yap, memantaskan diri juga butuh usaha. Hanya karena dulu dia banyak bercerita tentang kehebatan pujaan hatinya, bukan berarti kamu tidak bisa lebih keren dari do'i!

Dan yang perlu diingat selain berbenah diri, benahi juga niatmu untuk berbenah. Apakah untuk dia, atau Dia? It depends on you, dear. Ketika kamu berbenah untuk dia, bisa jadi kamu akan mendapatkannya. Tapi jika takdir berkata tidak, tentu ada rasa kesal, bukan?

Namun ketika kamu berbenah untuk Dia, niscaya kamu akan mendapat yang super-duper-terbaik. Entah itu dia atau bukan, yang pasti kamu takkan menyesal..."

Aku tertegun mendengar penjelasan dari kepompong aneh yang bisa berbicara ini.

"Woy! Aneh katamu?! Enak saja. Aku ini kepompong ajaib!" Toeeeng...

"Hehehe... Maaf atuh, maaf. Lalu apa yang selanjutnya?"

"Nah, ini yang terakhir. Hal yang paling mudah sekaligus paling susah dilakukan: berdo'a. Tentu saja do'a yang baik. Jangan malah berdo'a supaya dia mendadak amnesia sama si Anis, atau malah memaksakan do'a supaya dia menjadi jodohmu. Yakaleee...

Do'a yang baik adalah do'a yang kita pasrahkan kepada-Nya. Ya, semacam ikhtiar terakhir dari segala ikhtiar. Jika sudah kamu gantungkan harapanmu murni kepadaNya, diiringi dengan berdiam dan terus berbenah, in syaa Allah tidak akan ada yang namanya patah hati..."

"Jadi, patah hati itu... adalah sakit yang ku buat sendiri?"

"Tidak sepenuhnya. Separuh karena memang salahmu menaruh harapan kepada manusia, separuh lagi karena manusia itu melakukan hal-hal yang menyakitkan baik sengaja maupun tidak. Lagipula, bukankah jatuh hati yang tulus adalah jatuh hati yang tidak memerlukan balasan?"

"... Itu artinya... Aku tidak tulus mencintainya, ya?"

"Bukan tidak, tapi belum. Ketahuilah bahwa ikhlas adalah sebuah proses. Mungkin sekarang kamu merasa berat untuk melihat dia memilih yang lain dan memperlakukanmu seperti itu. Tapi esok, siapa yang tahu? Hati manusia sangat mudah terbolak-balik. Maka dari itu, berproseslah..."

Tiba-tiba, suara kepompong itu menjadi lemah.

"...Sama halnya dengan kami, para kepompong. Harus ikhlas dicaci, terjatuh, terbelah, dan bahkan ditinggalkan oleh keindahan kupu-kupu di akhir hayat. Tapi, itulah qadar yang harus kami terima. Maka, berproseslah..."

Kepompong itu bergetar.

"Hei, kamu kenapa?"

"Ti, t-tidak apa... ap.. a... Sudah... Waktu..ku..."

Dari sudut bawah kepompong aku melihat ada sobekan kecil yang lama-lama melebar. Ah, aku tahu! Sudah saatnya dia menjadi indah. 

"Hei, kepompong aneh... Eh, ajaib. Maaf. Dan terima kasih banyak... Terima kasih atas petuahnya... Hei, jawab aku!"

Kepompong itu tidak berbicara lagi. Namun dari dalam dirinya menyeruaklah sayap berwarna emas bercampur hitam yang sangaaat indah. Perlahan-lahan seekor kupu-kupu yang cantiknya tidak bisa didefinisikan keluar dari kulit kepompong ajaib itu.

Kupu-kupu itu terbang anggun memutariku selama beberapa saat. Kemudian ia terbang tinggi, tinggi sekali, hingga menghilang dari pandanganku.

"Selamat tinggal... Dan sekali lagi, terima kasih" aku menyeka mata sambil tersenyum melepas kepergiannya. Kini seribu patahan hatiku rasanya bukan masalah besar. Semua perkataan kepompong tadi begitu membangun semangatku lagi.

***

Di pagi yang tak kalah cerah dari semalam, seekor kupu-kupu berwarna keemasan hinggap di jendela kamar seorang laki-laki. Ia mengamati dengan saksama raut laki-laki itu. Terlihat begitu kelabu. Rupanya itu raut wajah orang yang sedang kehilangan sahabat terbaiknya tanpa jejak.

"Sani... Maafkan aku..."

Malang, 27 April 2018

Afif Auliya Nurani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun