"Bukan tidak, tapi belum. Ketahuilah bahwa ikhlas adalah sebuah proses. Mungkin sekarang kamu merasa berat untuk melihat dia memilih yang lain dan memperlakukanmu seperti itu. Tapi esok, siapa yang tahu? Hati manusia sangat mudah terbolak-balik. Maka dari itu, berproseslah..."
Tiba-tiba, suara kepompong itu menjadi lemah.
"...Sama halnya dengan kami, para kepompong. Harus ikhlas dicaci, terjatuh, terbelah, dan bahkan ditinggalkan oleh keindahan kupu-kupu di akhir hayat. Tapi, itulah qadar yang harus kami terima. Maka, berproseslah..."
Kepompong itu bergetar.
"Hei, kamu kenapa?"
"Ti, t-tidak apa... ap.. a... Sudah... Waktu..ku..."
Dari sudut bawah kepompong aku melihat ada sobekan kecil yang lama-lama melebar. Ah, aku tahu! Sudah saatnya dia menjadi indah.Â
"Hei, kepompong aneh... Eh, ajaib. Maaf. Dan terima kasih banyak... Terima kasih atas petuahnya... Hei, jawab aku!"
Kepompong itu tidak berbicara lagi. Namun dari dalam dirinya menyeruaklah sayap berwarna emas bercampur hitam yang sangaaat indah. Perlahan-lahan seekor kupu-kupu yang cantiknya tidak bisa didefinisikan keluar dari kulit kepompong ajaib itu.
Kupu-kupu itu terbang anggun memutariku selama beberapa saat. Kemudian ia terbang tinggi, tinggi sekali, hingga menghilang dari pandanganku.
"Selamat tinggal... Dan sekali lagi, terima kasih" aku menyeka mata sambil tersenyum melepas kepergiannya. Kini seribu patahan hatiku rasanya bukan masalah besar. Semua perkataan kepompong tadi begitu membangun semangatku lagi.