Mohon tunggu...
Nur Afiah
Nur Afiah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Menyukai bacaan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

#4 Rayuan Perempuan Gila

12 Oktober 2023   08:46 Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:51 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Canva

Langkahmu terhenti di ambang pintu ruang guru saat seorang siswa datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya berkeringat dengan pakaian yang sudah tidak rapi.

"Ada apa?" tanyamu dengan raut wajah menyelidik.

"Ini sebagai bukti kalau saya tulus dengan Bu Arimbi!" Siswa tersebut dengan malu-malu menyerahkan bunga mawar kepadamu. "Saya enggak ambil dari taman sekolah kok, Bu. Saya tadi beli di depan gerbang sekolah, ada anak kecil yang jualan bunga!"

"Terima kasih!" Kamu menerima bunga itu, melirik tempat sampah lalu menatap lekat siswa tersebut yang terlihat ragu untuk bicara.

"Saya enggak peduli kalau semua siswa di sini bilang Ibu psikopat, sering hukum siswa yang buat ulah tanpa ampun, yang saya tahu Ibu lakuin semua itu karena tanggung jawab!"

Kamu tidak menanggapi ucapan siswa tersebut. Tanganmu memegang erat tangkai bunga mawar itu. "Bu, tangannya berdarah!" Siswa itu mengambil bunga tersebut dan melihat luka di jarimu. "Maaf, ternyata masih ada durinya. Maaf, Bu!"

"Arles!"

"Iya, Bu Arimbi!" Dia yang tadi menunduk kini beralih menatapmu.

Kamu tersenyum tipis dan mengambil kembali bunga itu. "Terima kasih bunganya, tapi saya enggak bisa terima bunga ini dan perasaan kamu!"

"Kenapa, Bu? Karena saya masih kecil?" Siswa itu bertanya dengan raut wajah sedih.

Kamu menggeleng. "Ungkapan seperti itu harusnya kamu sampaikan saat kamu sudah paham tentang maknanya. Bukan hanya untuk melampiaskan hasrat saja atau karena taruhan!"  

"Tapi saya tulus sama Ibu. Saya suka sama Ibu sejak awal kita bertemu! Saya suka buat ulah hanya agar bisa terus lihat Ibu!"  

"Katakan kepada teman-temanmu kalau saya sudah tahu tentang taruhan kalian dan saya anggap ungkapan kamu itu hanya candaan saja!"

Kamu membuang bunga mawar itu ke tempat sampah yang tidak jauh dari pintu ruang guru dan pergi tanpa menoleh ke belakang.

Di seberang gerbang sekolah kamu melihat mobil Alva terparkir. Kaca mobil pria itu diturunkan dan dia melambaikan tangan kepadamu.

Tanpa membalasnya kamu berjalan menghampiri. "Kenapa enggak bilang mau jemput?"

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat!" Kamu menatap lekat pria tersebut yang sedang tersenyum kepadamu. "Nanti juga kamu tahu!" Dia tertawa kecil.

"Baiklah, kalau aku enggak suka tempatnya kita pulang!"

"Iya, tapi aku jamin kamu suka!" Pria tersebut mengulurkan tangannya dan mengusap rambutmu. "Masuk!"

Tatapanmu lurus tertuju ke gerbang sekolah. Di sana siswa yang tadi memberimu bunga berdiri dan terus menatap ke arahmu. "Ada apa, Rim?"

Pria di sampingmu itu ikut menatap ke arah yang kamu tatap. "Tatapan anak itu kenapa kayak orang yang terluka? Kalian ada masalah?"

"Enggak!"

"Syukurlah. Aku kira kamu menolak cintanya! Aku juga sering dengar kalau sekarang siswa dan guru seringkali bermasalah. Atau dia butuh tumpangan? Sekolah juga sudah sepi!"

"Al, jangan berpikir untuk kasih tumpangan. Aku enggak mau satu mobil sama dia!" Kamu memilih mengabaikan siswa tersebut dan memilih membuka pesan masuk di ponselmu. "Al, kita ke rumah sakit saja, ya."

"Ada apa?"

"Ayah sekarang ada di rumah sakit!"

***

Kamu masih saja terdiam dengan tangan mengepal erat. Guratan-guratan amarah di wajahmu terlihat jelas. Kamu mendongak dan tersenyum paksa saat Alva mengenggam tanganmu.

"Kalian pulang saja. Al, Om titip Arimbi, ya. Besok siang kalian datang dan jemput Ayah."

Kamu menggeleng. Menarik tanganmu dari genggaman Alva dan memeluk ayahmu. Kamu menyembunyikan wajahmu di ceruk ayahmu.

"Ayah enggak papa. Ayah cuma butuh istirahat!"

Wajahmu kini sudah basah dengan air mata. "Ayah tahu, kan, kalau Arimbi cuma punya Ayah?"

"Tentu, Nak, dan Ayah cuma punya kamu." Kamu mengenggam tangan ayahmu yang hendak menyentuh wajahmu.

"Kalau begitu jangan tiada."

"Rim, jangan berlebihan sampai mengatakan hal seperti itu. Lagipula selain ayahmu, ada aku yang akan se

lalu ada buatmu. Aku janji!" Kamu mengangguk dan menyeka air matamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun