Kamu menggeleng. "Ungkapan seperti itu harusnya kamu sampaikan saat kamu sudah paham tentang maknanya. Bukan hanya untuk melampiaskan hasrat saja atau karena taruhan!"Â Â
"Tapi saya tulus sama Ibu. Saya suka sama Ibu sejak awal kita bertemu! Saya suka buat ulah hanya agar bisa terus lihat Ibu!"Â Â
"Katakan kepada teman-temanmu kalau saya sudah tahu tentang taruhan kalian dan saya anggap ungkapan kamu itu hanya candaan saja!"
Kamu membuang bunga mawar itu ke tempat sampah yang tidak jauh dari pintu ruang guru dan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Di seberang gerbang sekolah kamu melihat mobil Alva terparkir. Kaca mobil pria itu diturunkan dan dia melambaikan tangan kepadamu.
Tanpa membalasnya kamu berjalan menghampiri. "Kenapa enggak bilang mau jemput?"
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat!" Kamu menatap lekat pria tersebut yang sedang tersenyum kepadamu. "Nanti juga kamu tahu!" Dia tertawa kecil.
"Baiklah, kalau aku enggak suka tempatnya kita pulang!"
"Iya, tapi aku jamin kamu suka!" Pria tersebut mengulurkan tangannya dan mengusap rambutmu. "Masuk!"
Tatapanmu lurus tertuju ke gerbang sekolah. Di sana siswa yang tadi memberimu bunga berdiri dan terus menatap ke arahmu. "Ada apa, Rim?"
Pria di sampingmu itu ikut menatap ke arah yang kamu tatap. "Tatapan anak itu kenapa kayak orang yang terluka? Kalian ada masalah?"