Produksi kekuasaan lewat bahasa memunculkan keberadaan subjek dan identitas antara korban dan pelaku. Kemudian apa yang disebut politik pembedaan oleh media terus direproduksi, bahwa perempuan itu lemah, tak berdaya, irasional dan emosional. Maka, bias gender tersebut menunjukkan faktor yang mempengaruhi posisi perempuan melalui suatu ruang publik, yaitu media massa. Media sebagai ruang publik kurang memberikan penjelasan yang cover both side (memandang dari dua sisi).
Analisa adanya pelabelan (Stereotyping) mengacu sebagaimana yang dituliskan oleh Richard Dyer yang berjudul "Stereotyping". Pertama, sifat maskulin teridentifikasi pada pelaku kekerasan itu. Kedua, sifat feminin merujuk korban meskipun berdasar jenis kelamin korban dan pelaku adalah perempuan. [9]
Konsep-konsep ini berakibat pada pembangunan wacana bias gender yang tak kunjung selesai. Alasannya, pertama, sumber daya manusia perempuan dalam pekerjaannya di ruang publik akan mengalami kekerasan sehingga makna simbolis yang dituangkan dalam bahasa dan gambar-gambar mengakibatkan apa yang disebut sebagai . Kedua, penggambaran perempuan dalam pemberitaan tersebut cenderung. Secara lebih jelas, praktik diskursif ini dapat dipetakan sebagai berikut: seorang korban dianggap sebagai perempuan yang lemah, namun di pihak lain pelaku kekerasan adalah sosok yang punya power dari sisi hubungan kerja dan juga kelas sosialnya. Pelaku direpresentasikan oleh media sebagai perempuan yang emosional dan irasional karena sudah bertindak tidak manusiawi. Sehingga pelabelan atau steriotipe perempuan-irasional dan emosional belum terbebas dari wacana kekuasaan laki-laki dalam ideologi dan budaya patriarki. Mengutip tokoh feminis dunia ketiga, Kamla Bhasin, pemberitaan apapun itu masih berupa ‘cerita laki-laki yang menggambarkan perempuan dan laki-laki berusaha menggambarkan dunia dengan cara pandang mereka'.[10]
Arus pemikiran tersebut secara ideologis, patriarki bukan sekedar merujuk pada fakta biologis laki-laki tetapi "laki-laki" sebagai struktur sosial dan budaya (ekonomi, politik, sosial agama dan lain-lain) yang memberi privilege kepada laki-laki. Sehingga pemoposisian identitas perempuan-lemah, irasional, emosional yang masuk dalam mainstream ideologi patriarki dalam sebuah media adalah tidak dapat terhindarkan.
Perspektif gender yang didefinisikan sebagai adanya relasi kuasa yang terbentuk atas kelas sosial, jenis kelamin, seksualitas, identitas perempuan tidak hanya dihadirkan secara bias tapi juga ambivalen. Di satu sisi, media mendefinisikan korban adalah perempuan yang lemah, tak memiliki akses terhadap perlindungan hukum dan sebagainya. Sisi lain, pelaku didefinisikan perempuan punya kuasa, tidak manusiawi. Di samping itu, BMP yang menawarkan banyak keuntungan bagi negara seperti soal-soal remiten hingga pada pelabelan "pahlawan devisa", meski terkesan positif tapi yang tak nampak adalah ambivalensi perempuan lemah dan perempuan "pahlawan" yang menerangkan sisi realitas sosial secara quo vadis.
Realitasnya juga, media kurang mengambil sudut pandang dari seorang majikan yang sesama perempuan diposisikan korban. Yaitu, korban dari kekerasan sebuah sistem, misalkan kapitalisme global yang menuntut dirinya untuk terus berproduksi dan bekerja keras sehingga menekan mentalnya sehingga melakukan pelampiasan secara fisik pada orang lain. Atau bisa juga secara struktur, terjadi kekerasan simbolik dalam lingkungan sosialnya sehingga sikap tegas, dan pendisiplinan (model hukuman berhimpitan dengan menyakiti) pada pembantunya itu alih-alih justru menyiksa pembantunya. Majikan perempuan seharusnya diposisikan juga sebagai sebuah the privileged position karena segala tindakan yang mencerminkan maskulinitas menyimpan aspek keadilan dalam proses pewacanaan dalam media massa. Perlakuan semacam itu merupakan pengingkaran terhadap fakta keberadaan kaum perempuan sebagai presentase terbesar dari buruh migran selama beberapa puluh tahun dan cenderung meningkat. Mengacu pada data Migrant Care, sebuah lembaga advokasi buruh migran, dalam situsnya memberikan keterangan :
Fakta lain, media tidak memberi kesempatan kepada pelaku mengenai alasan atau dasar apa melakukan kekerasan tersebut. Bahkan sering kali identitas kelas dipertaruhkan sebagai nilai berita dan "jualan isu" yang dapat menarik perhatian publik bahkan negara. Konteks hubungan kerja dan status sosial, pembantu dan majikan, bawahan dan atasan, sesungguhnya membuktikan adanya kekuatan (power) di balik tubuh perempuan. Kekuasaan majikan perempuan diwujudkan melalui tindakan kekerasan, pola kekuasaan diri perempuan kelas atas/borjuis/kaya sejalan apa yang dianalisis oleh Feminis Marxist. Bahwa seorang perempuan kelas pekerja justru mematahkan penindasannya dengan cara bekerja di luar keluarga artinya perempuan tidak melulu untuk tujuan prokreasi (reproduksi keturunan). Sedangkan bagi perempuan Borjuis, dalam kasus ini adalah majikan yang hanya berdiam di rumah berada di bawah penguasaan sumber daya (ekonomi) laki-laki (suaminya). Dengan demikian perempuan Borjuis sedikit memperoleh kemandirian ekonomi. Sehingga faktor atau alasan dari tindakan kekerasan yang dilakukan dapat dibaca karena adanya dorongan mental untuk berkuasa. Demikian, hal itu menggambarkan pandangan yang sebetulnya ambivalen dari wacana identitas gender (perempuan).
Menurut, Amartya Sen, ‘perendahan seseorang atau kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan melainkan pula oleh ilusi tentang adanya suatu identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu'.[11] Sebagaimana dalam definisi kelas menurut penganut Marxist, media menjadi arena kelas-kelas sosial yang saling bertarung (strugle) untuk menciptakan dunia makna demi kepentingan ideologis dan politis masing-masing kelas. Kelas mana yang paling efektif dalam memapankan dunia makna yang merepresentasikan ideologi mereka dalam masyarakat massa, maka kelas tersebutlah yang akan memberi arah pada transformasi sosial.
Sebuah Warta yang Tak Kunjung Usai : Soal Bahasa
Media menjadi alat kekuatan dominan yang juga memproduksi ideologi dominan patriarki. Representasi identitas perempuan masih tergambarkan sebagai sosok yang lemah, irasional, dan emosional. Dalam hal ini, penggunaan bahasa seperti korban dan pelaku, jelas bukan merupakan sesuatu yang tanpa maksud.
Bahasa (huruf dan gambar) ikut mengkonstruksikan perempuan dalam posisinya sebagai second class citizen karena perempuan merupakan the second sex (mengambil terminologi yang digunakan Simon de Bouvoir), maka media secara otomatis melalui bahasa-pemoposisian seorang subjek perempuan dikontruksikan kelompok warganegara kelas dua yang selalu mengalami ketertindasan. Persoalan tentang diri, subyektivitas, termasuk definisi-definisi, serta apa yang baik dan yang buruk, dibentuk. Hal ini terjadi karena bahasa adalah kekuatan, pertentangan, pergulatan. Bahasa adalah senjata sekaligus penengah; racun sekaligus obat (Terry Eagleton, What is Ideology, 1991).