Media sebagai institusi sosial dalam menyampaikan sebuah pesan berupa teks atau gambar mendayagunakan segala presentasinya atas objek berita. Berbagai pandangan mengenai suatu identitas berjalan seiring dengan penanaman paham-paham, nilai-nilai dan norma yang disusun serta dikonstruksi guna memberikan pewacanaan sebuah identitas. Layaknya pemberitaan kekerasan yang cenderung memberikan kesan bias, namun persoalan identitas terkadang juga ambivalen. Penyebutan identitas korban maupun pelaku diwarnai beragam sudut pandang media atas subjek perempuan buruh migran. Representasi perempuan yang penuh siksaan kurang mendapatkan posisi yang setara dalam pemberitaan di banyak media massa. Di satu sisi identitas ‘korban' sebagai perempuan masih dilabelkan tidak berdaya, lemah, dan pasrah. Sedangkan sisi lain, identitas ‘pelaku' yang juga berjenis kelamin perempuan justru dilabelkan sebagai memiliki ‘kuasa' atas tubuh korban yang dalam konteks ini buruh migran perempuan adalah seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Kontinuitas wacana identitas tersebut telah mereduksi struktur komunikasi hubungan sosial dan budaya atas dominasi laki-laki (patriarkal).
Pengantar
Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus kekerasan terhadap Buruh Migran Indonesia yang belakangan banyak disorot media. Sebut saja, Nirmala Bonat, Ceriyati, Siti Hadjar dan lainnya, mereka adalah Pembantu Rumah Tangga (PRT). Diskursus isu kekerasan baik secara fisik maupun non fisik serta berbagai turunannya seperti penyiksaan; pemerkosaan; pelecehan seksual; dan lain sebagainya masih dianggap suatu kewajaran. Pemberitaan Buruh Migran Perempuan (BMP) di media massa, terlanjur masuk ke wilayah yang sangat tematik: korban kekerasan, hukuman majikan, pengadilan, pidana pembunuhan dan sebagainya. Konsekuensinya, kita sering melupakan titik pijak media sebagai bagian dari realitas media di samping fenomena masyarakat atau realitas sosial. Kita terperangkap oleh jargon dan konsep yang menempatkan media terutama sebagai penyalur informasi. Gambaran realitas sosial masyarakat, realitas modal, realitas bisnis informasi dan pencitraan begitu saja mudah terlewati tanpa berpikir kritis. Sehingga kita kehilangan jejak esensi media sebagai institusi sosial dengan keutamaan-keutamaan tertentu.
Oleh karena itu, peran politik media sebenarnya berhubungan erat dengan wacana yang diproduksi. Terkait berbagai bentuk pemberitaan isu kekerasan BMP tersebut, tentunya masyarakat kita sudah hapal betul siapa korban kekerasan itu, paling banyak berjenis kelamin perempuan. Menariknya, ketika media memberitakan seorang pelaku kekerasan yang juga berjenis kelamin perempuan. Apa yang disajikan oleh media? Dan media sangat jarang menguak isu kekerasan Buruh Migran Laki-laki. Media massa kurang tertarik untuk mengolahnya menjadi isu ketidakadilan gender.
Menurut May Lan, penulis buku "Pers, Negara dan Perempuan", penggambaran perempuan dalam media pada masa Orde Baru masih berkutat lima hal yang memposisikan perempuan menduduki posisi asimetris dibanding laki-laki. Pertama, materi berita dalam surat kabar dan media massa masih menampilkan perempuan sebagai objek eksploitasi. Kedua, perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang terbelakang, tertindas dan tidak memiliki otoritas dalam dirinya. Ketiga, pemberitaan tentang perempuan masih sangat bersifat monumental, seperti peryaan hari Ibu dan hari Kartini. Keempat, porsi pemberitaan tentang perempuan yang menyangkut pemberdayaan masih sangat minim.[1] Terlepas dari konsep jurnalisme yang berperspektif gender, lalu apakah yang hendak dikonstruksi oleh media tersebut?
Sasaran Permasalahan
Secara garis besar, tulisan ini hendak mengelaborasi keterkaitan sebuah identitas dan politik representasi media. Fenomena yang diangkat merujuk ke persoalan yang secara khusus diambil dari model pemberitaan mengenai kekerasan yang dihadapi BMP yang berpengaruh pada pembentukan wacana diskursif perempuan. Meskipun dalam konteksnya, cara kerja media kurang menyediakan sisi yang lebih humanis terhadap jenis pemberitaan seperti beberapa kasus kekerasan yang dialami BMP lainnya. Permasalahannya bagaimana identitas itu dikonstruksi sebagai bagian dari politik representasi media atas dominasi pikiran laki-laki?
Pendekatan Teoritik
Citra. Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981: 17), pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi simulasi. Argumen yang dikemukakan oleh Baudrillard bahwa media telah menyebabkan makna ganda dan begitu juga urusan sosial menjadi hilang-"informasi telah melahap isinya sendiri; dan ia melahap komunikasi dan sosial.
Representasi. Stuart Hall melalui teori representasinya mengambil dimensi praktik-praktik pemaknaan yang diproduksi dalam pikiran melalui bahasa. Tak dapat dipungkiri nilai-nilai, norma, budaya, ideologi dan kepentingan (ekonomi, politik) dalam pembentukan sebuah diskursus akan memerankan dua sistem representasi, pertama, mental representation, ‘makna bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia, dapat merujuk pada pemikiran di luar atau di dalam kepala'. Kedua, makna yang bergantung pada set tanda, bahasa, yang meresepsentasikan konsep-konsep tersebut.[2]
Gender Role Theory. Teori Peran Gender menganggap bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat itu berbeda tetapi setara. Bagaimana pun dalam realitasnya peran gender masih diselimuti hubungan dominasi daripada kesalinglengkapan.