Media sebagai institusi sosial dalam menyampaikan sebuah pesan berupa teks atau gambar mendayagunakan segala presentasinya atas objek berita. Berbagai pandangan mengenai suatu identitas berjalan seiring dengan penanaman paham-paham, nilai-nilai dan norma yang disusun serta dikonstruksi guna memberikan pewacanaan sebuah identitas. Layaknya pemberitaan kekerasan yang cenderung memberikan kesan bias, namun persoalan identitas terkadang juga ambivalen. Penyebutan identitas korban maupun pelaku diwarnai beragam sudut pandang media atas subjek perempuan buruh migran. Representasi perempuan yang penuh siksaan kurang mendapatkan posisi yang setara dalam pemberitaan di banyak media massa. Di satu sisi identitas ‘korban' sebagai perempuan masih dilabelkan tidak berdaya, lemah, dan pasrah. Sedangkan sisi lain, identitas ‘pelaku' yang juga berjenis kelamin perempuan justru dilabelkan sebagai memiliki ‘kuasa' atas tubuh korban yang dalam konteks ini buruh migran perempuan adalah seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Kontinuitas wacana identitas tersebut telah mereduksi struktur komunikasi hubungan sosial dan budaya atas dominasi laki-laki (patriarkal).
Pengantar
Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus kekerasan terhadap Buruh Migran Indonesia yang belakangan banyak disorot media. Sebut saja, Nirmala Bonat, Ceriyati, Siti Hadjar dan lainnya, mereka adalah Pembantu Rumah Tangga (PRT). Diskursus isu kekerasan baik secara fisik maupun non fisik serta berbagai turunannya seperti penyiksaan; pemerkosaan; pelecehan seksual; dan lain sebagainya masih dianggap suatu kewajaran. Pemberitaan Buruh Migran Perempuan (BMP) di media massa, terlanjur masuk ke wilayah yang sangat tematik: korban kekerasan, hukuman majikan, pengadilan, pidana pembunuhan dan sebagainya. Konsekuensinya, kita sering melupakan titik pijak media sebagai bagian dari realitas media di samping fenomena masyarakat atau realitas sosial. Kita terperangkap oleh jargon dan konsep yang menempatkan media terutama sebagai penyalur informasi. Gambaran realitas sosial masyarakat, realitas modal, realitas bisnis informasi dan pencitraan begitu saja mudah terlewati tanpa berpikir kritis. Sehingga kita kehilangan jejak esensi media sebagai institusi sosial dengan keutamaan-keutamaan tertentu.
Oleh karena itu, peran politik media sebenarnya berhubungan erat dengan wacana yang diproduksi. Terkait berbagai bentuk pemberitaan isu kekerasan BMP tersebut, tentunya masyarakat kita sudah hapal betul siapa korban kekerasan itu, paling banyak berjenis kelamin perempuan. Menariknya, ketika media memberitakan seorang pelaku kekerasan yang juga berjenis kelamin perempuan. Apa yang disajikan oleh media? Dan media sangat jarang menguak isu kekerasan Buruh Migran Laki-laki. Media massa kurang tertarik untuk mengolahnya menjadi isu ketidakadilan gender.
Menurut May Lan, penulis buku "Pers, Negara dan Perempuan", penggambaran perempuan dalam media pada masa Orde Baru masih berkutat lima hal yang memposisikan perempuan menduduki posisi asimetris dibanding laki-laki. Pertama, materi berita dalam surat kabar dan media massa masih menampilkan perempuan sebagai objek eksploitasi. Kedua, perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang terbelakang, tertindas dan tidak memiliki otoritas dalam dirinya. Ketiga, pemberitaan tentang perempuan masih sangat bersifat monumental, seperti peryaan hari Ibu dan hari Kartini. Keempat, porsi pemberitaan tentang perempuan yang menyangkut pemberdayaan masih sangat minim.[1] Terlepas dari konsep jurnalisme yang berperspektif gender, lalu apakah yang hendak dikonstruksi oleh media tersebut?
Sasaran Permasalahan
Secara garis besar, tulisan ini hendak mengelaborasi keterkaitan sebuah identitas dan politik representasi media. Fenomena yang diangkat merujuk ke persoalan yang secara khusus diambil dari model pemberitaan mengenai kekerasan yang dihadapi BMP yang berpengaruh pada pembentukan wacana diskursif perempuan. Meskipun dalam konteksnya, cara kerja media kurang menyediakan sisi yang lebih humanis terhadap jenis pemberitaan seperti beberapa kasus kekerasan yang dialami BMP lainnya. Permasalahannya bagaimana identitas itu dikonstruksi sebagai bagian dari politik representasi media atas dominasi pikiran laki-laki?
Pendekatan Teoritik
Citra. Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981: 17), pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi simulasi. Argumen yang dikemukakan oleh Baudrillard bahwa media telah menyebabkan makna ganda dan begitu juga urusan sosial menjadi hilang-"informasi telah melahap isinya sendiri; dan ia melahap komunikasi dan sosial.
Representasi. Stuart Hall melalui teori representasinya mengambil dimensi praktik-praktik pemaknaan yang diproduksi dalam pikiran melalui bahasa. Tak dapat dipungkiri nilai-nilai, norma, budaya, ideologi dan kepentingan (ekonomi, politik) dalam pembentukan sebuah diskursus akan memerankan dua sistem representasi, pertama, mental representation, ‘makna bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia, dapat merujuk pada pemikiran di luar atau di dalam kepala'. Kedua, makna yang bergantung pada set tanda, bahasa, yang meresepsentasikan konsep-konsep tersebut.[2]
Gender Role Theory. Teori Peran Gender menganggap bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat itu berbeda tetapi setara. Bagaimana pun dalam realitasnya peran gender masih diselimuti hubungan dominasi daripada kesalinglengkapan.
Realitas Media: Antara Wacana dan Bias Gender
Kegiatan jurnalisme yang menjadi bagian cara kerja media (massa) memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan mengolah fakta menjadi informasi. Realitas sosial dianggap sebagai "fakta". Kriteria-kriteria nilai berita menjelaskan beragam kejadian dan isu, yang akhirnya akan membentuk sebuah wacana yang mendasari karakter, visi dan kepentingan para pemilik (ownership), akses bagi publik (sasaran/target pasar), serta regulasi yang diramu sebagai bentuk kebijakan media.
Tentunya sebuah kebijakan ini tidak semata berafiliasi dengan realitas sosial yang ditemui. Kekuatan internal sebuah industri media massa juga merupakan hasil pertarungan yang membawa kepentingan ekonomi politik. Pertama, persoalan kepentingan finansial dan permodalan pemilik media. Kedua, terkait dengan profit media yang dimasuki oleh berbagai iklan. Ketiga, kekuatan ideologi yang membawa konsekuensi logis kehadiran mainstream baru, yaitu ideologi patriarki. Secara etimologis, "patriarki" merujuk pada sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi-institusi sosial, politik, dan ekonomi.[3]
Wacana (discourse) kekerasan Buruh Migran Perempuan yang banyak dipresentasikan beberapa media massa telah membuka lebar masuknya ideologi tersebut. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai konstruksi identitas perempuan yang paling banyak disorot adalah soal tubuh, seks, dan perannya, namun selain itu konstruksi sosial-kultural masyarakat (baca: gender) biasanya agak tersembunyi dalam berbagai pesan makna, seperti identitas korban dan pelaku yang sebenarnya selain bias tapi juga ambivalen. Pesan makna sejauh yang dipahami dapat diartikan pula penandaan atau representasi.
Stuart Hall (1992) dalam hal ini mendeskripsikannya sebagai persoalan posisionalitas. Sebuah representasi kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama kelas, gender dan ras. [4] Pointnya, media berperan menciptakan, mengkonstruksi dan memproduksi posisi subjek perempuan yang selalu teraniaya, lemah, tak berdaya. Bias gender dalam media terhadap posisi perempuan seperti pemberitaan mengenai kekerasan Buruh Migran Perempuan menggunakan perspektif gender, yang pertama soal konstruksi identitas "korban" dan "pelaku" kekerasan yang sudah dianggap fakta dari realitas. Sedangkan fakta-fakta "korban" disebutkan sebagai orang yang mengalami penyiksaan dan diposisikan sebagai objek penderita, sosok yang lemah, tidak mampu melawan.
Di sisi lain, pelaku yang dituduhkan itu juga adalah korban dari sistem atau struktur di masyarakat seperti teori strukturasinya Anthony Giddens karena dia merupakan agensi, kemampuannya melakukan hal-hal itu (kekuasaan).[5] Korban sesungguhnya bisa saja melakukan perlawanan terhadap tubuhnya yang disakiti tapi justru tidak dijadikan fakta oleh media. Dalam analisis framing dan wacana dari beberapa judul dan isi berita kekerasan BMP di media massa, kedudukan seorang pelaku selalu dihadapkan pada peran antagonis.
Wacana mengenai siapa korban dan pelaku dijadikan esensi nilai berita yang paling penting. Diasumsikan fakta dari kejadian itu memiliki nilai berita yang tinggi sehingga konflik pun dikonstruksi. Terlepas dari fakta yang terjadi yaitu konflik dalam artian pertarungan kepentingan (secara hukum), namun ‘konflik' dalam realitas media dapat ditunjukkan dari penggunaan bahasa. Bahasa yang dilekatkan pada diri subjek, seperti korban dan juga pelaku memainkan oposisi biner; siapa yang baik dan yang jahat, yang lemah dan kuat. Identitas perempuan yang baik dan lemah adalah korban (BMP). Sedangkan perempuan yang jahat dan kuat (kekuasaannya) merujuk pelaku (majikan). Posisi yang bias gender seperti ini justru semakin menguat karena adanya konstruksi wacana identitas perempuan semacam itu.
Politik Representasi Media Atas Subjek Perempuan
Konsep identitas korban dan pelaku yang keduanya merupakan subjek perempuan sebenarnya adalah obyek isu dari agenda setting media. Proses pewacanaan ini berimplikasi pada produksi makna dari ideologi patriarki yang menelisik masuk pada sebuah upaya wacana publik dan dimanfaatkan sebagai penguasaan arus pemikiran (utama): ketidakadilan gender. Rezim ini jelas berpotensi membuat definisi-definisi tentang mereka dianggap ‘yang lain', ‘the other', tanpa melihat akar persoalannya.
Kembali pada konteks kekerasan BMP, identitas perempuan sebagai subjek digambarkan tidak otonom. Subjek yang merupakan produk dari sistem penandaan/representasi oleh media dipengaruhi oleh socially constructed (konstruksi sosial). Bagi Foucalt (1972), wacana ini berkaitan dengan bahasa maupun praktik. Wacana mengacu pada produksi pengetahuan yang teregulasi lewat bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktik-praktik sosial. Pengidentifikasian antara subjek korban dan pelaku terus diwacanakan dengan cara mengkonstruksi, mendefinisikan, dan memproduksi objek-objek pengetahuan dengan suatu cara yang bisa dinalar. Maka dari itu, mempelajari situasi ini sebagai "rezim kebenaran/regime of truth".[6] Media dengan menjalankan fungsinya menyalurkan informasi, mengutip Dennis McQuail, peran besar dan peluang media adalah untuk mengatur sebuah konstruksi wacana.[7] Dalam realitas media hal ini dapat dikatakan sebagai kebijakan media (media policy).
Kebijakan media sangat berkaitan dengan dan selalu berubah untuk menghasilkan suatu wacana (discourse) dalam menggunakan bahasa (language). Wacana dan bahasa dalam paradigma kritis dilandasi dari proyek intelektual mazhab Frankfrut. Stuart Hall meletakkan esensi pemikirannya dari aliran Frankfrut.
"The media defined, not merely reproduced reality. Definitions of reality were suistained and produced through all those linguistic practices (in the broad sense) by means of which selective definitions of the real were represented. It implies the activework of selecting and presenting, of structuring and shaping: not merely the transmitting of an already-existing meaning, but the more active labour of making things mean."[8]
Produksi kekuasaan lewat bahasa memunculkan keberadaan subjek dan identitas antara korban dan pelaku. Kemudian apa yang disebut politik pembedaan oleh media terus direproduksi, bahwa perempuan itu lemah, tak berdaya, irasional dan emosional. Maka, bias gender tersebut menunjukkan faktor yang mempengaruhi posisi perempuan melalui suatu ruang publik, yaitu media massa. Media sebagai ruang publik kurang memberikan penjelasan yang cover both side (memandang dari dua sisi).
Analisa adanya pelabelan (Stereotyping) mengacu sebagaimana yang dituliskan oleh Richard Dyer yang berjudul "Stereotyping". Pertama, sifat maskulin teridentifikasi pada pelaku kekerasan itu. Kedua, sifat feminin merujuk korban meskipun berdasar jenis kelamin korban dan pelaku adalah perempuan. [9]
Konsep-konsep ini berakibat pada pembangunan wacana bias gender yang tak kunjung selesai. Alasannya, pertama, sumber daya manusia perempuan dalam pekerjaannya di ruang publik akan mengalami kekerasan sehingga makna simbolis yang dituangkan dalam bahasa dan gambar-gambar mengakibatkan apa yang disebut sebagai . Kedua, penggambaran perempuan dalam pemberitaan tersebut cenderung. Secara lebih jelas, praktik diskursif ini dapat dipetakan sebagai berikut: seorang korban dianggap sebagai perempuan yang lemah, namun di pihak lain pelaku kekerasan adalah sosok yang punya power dari sisi hubungan kerja dan juga kelas sosialnya. Pelaku direpresentasikan oleh media sebagai perempuan yang emosional dan irasional karena sudah bertindak tidak manusiawi. Sehingga pelabelan atau steriotipe perempuan-irasional dan emosional belum terbebas dari wacana kekuasaan laki-laki dalam ideologi dan budaya patriarki. Mengutip tokoh feminis dunia ketiga, Kamla Bhasin, pemberitaan apapun itu masih berupa ‘cerita laki-laki yang menggambarkan perempuan dan laki-laki berusaha menggambarkan dunia dengan cara pandang mereka'.[10]
Arus pemikiran tersebut secara ideologis, patriarki bukan sekedar merujuk pada fakta biologis laki-laki tetapi "laki-laki" sebagai struktur sosial dan budaya (ekonomi, politik, sosial agama dan lain-lain) yang memberi privilege kepada laki-laki. Sehingga pemoposisian identitas perempuan-lemah, irasional, emosional yang masuk dalam mainstream ideologi patriarki dalam sebuah media adalah tidak dapat terhindarkan.
Perspektif gender yang didefinisikan sebagai adanya relasi kuasa yang terbentuk atas kelas sosial, jenis kelamin, seksualitas, identitas perempuan tidak hanya dihadirkan secara bias tapi juga ambivalen. Di satu sisi, media mendefinisikan korban adalah perempuan yang lemah, tak memiliki akses terhadap perlindungan hukum dan sebagainya. Sisi lain, pelaku didefinisikan perempuan punya kuasa, tidak manusiawi. Di samping itu, BMP yang menawarkan banyak keuntungan bagi negara seperti soal-soal remiten hingga pada pelabelan "pahlawan devisa", meski terkesan positif tapi yang tak nampak adalah ambivalensi perempuan lemah dan perempuan "pahlawan" yang menerangkan sisi realitas sosial secara quo vadis.
Realitasnya juga, media kurang mengambil sudut pandang dari seorang majikan yang sesama perempuan diposisikan korban. Yaitu, korban dari kekerasan sebuah sistem, misalkan kapitalisme global yang menuntut dirinya untuk terus berproduksi dan bekerja keras sehingga menekan mentalnya sehingga melakukan pelampiasan secara fisik pada orang lain. Atau bisa juga secara struktur, terjadi kekerasan simbolik dalam lingkungan sosialnya sehingga sikap tegas, dan pendisiplinan (model hukuman berhimpitan dengan menyakiti) pada pembantunya itu alih-alih justru menyiksa pembantunya. Majikan perempuan seharusnya diposisikan juga sebagai sebuah the privileged position karena segala tindakan yang mencerminkan maskulinitas menyimpan aspek keadilan dalam proses pewacanaan dalam media massa. Perlakuan semacam itu merupakan pengingkaran terhadap fakta keberadaan kaum perempuan sebagai presentase terbesar dari buruh migran selama beberapa puluh tahun dan cenderung meningkat. Mengacu pada data Migrant Care, sebuah lembaga advokasi buruh migran, dalam situsnya memberikan keterangan :
Fakta lain, media tidak memberi kesempatan kepada pelaku mengenai alasan atau dasar apa melakukan kekerasan tersebut. Bahkan sering kali identitas kelas dipertaruhkan sebagai nilai berita dan "jualan isu" yang dapat menarik perhatian publik bahkan negara. Konteks hubungan kerja dan status sosial, pembantu dan majikan, bawahan dan atasan, sesungguhnya membuktikan adanya kekuatan (power) di balik tubuh perempuan. Kekuasaan majikan perempuan diwujudkan melalui tindakan kekerasan, pola kekuasaan diri perempuan kelas atas/borjuis/kaya sejalan apa yang dianalisis oleh Feminis Marxist. Bahwa seorang perempuan kelas pekerja justru mematahkan penindasannya dengan cara bekerja di luar keluarga artinya perempuan tidak melulu untuk tujuan prokreasi (reproduksi keturunan). Sedangkan bagi perempuan Borjuis, dalam kasus ini adalah majikan yang hanya berdiam di rumah berada di bawah penguasaan sumber daya (ekonomi) laki-laki (suaminya). Dengan demikian perempuan Borjuis sedikit memperoleh kemandirian ekonomi. Sehingga faktor atau alasan dari tindakan kekerasan yang dilakukan dapat dibaca karena adanya dorongan mental untuk berkuasa. Demikian, hal itu menggambarkan pandangan yang sebetulnya ambivalen dari wacana identitas gender (perempuan).
Menurut, Amartya Sen, ‘perendahan seseorang atau kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan melainkan pula oleh ilusi tentang adanya suatu identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu'.[11] Sebagaimana dalam definisi kelas menurut penganut Marxist, media menjadi arena kelas-kelas sosial yang saling bertarung (strugle) untuk menciptakan dunia makna demi kepentingan ideologis dan politis masing-masing kelas. Kelas mana yang paling efektif dalam memapankan dunia makna yang merepresentasikan ideologi mereka dalam masyarakat massa, maka kelas tersebutlah yang akan memberi arah pada transformasi sosial.
Sebuah Warta yang Tak Kunjung Usai : Soal Bahasa
Media menjadi alat kekuatan dominan yang juga memproduksi ideologi dominan patriarki. Representasi identitas perempuan masih tergambarkan sebagai sosok yang lemah, irasional, dan emosional. Dalam hal ini, penggunaan bahasa seperti korban dan pelaku, jelas bukan merupakan sesuatu yang tanpa maksud.
Bahasa (huruf dan gambar) ikut mengkonstruksikan perempuan dalam posisinya sebagai second class citizen karena perempuan merupakan the second sex (mengambil terminologi yang digunakan Simon de Bouvoir), maka media secara otomatis melalui bahasa-pemoposisian seorang subjek perempuan dikontruksikan kelompok warganegara kelas dua yang selalu mengalami ketertindasan. Persoalan tentang diri, subyektivitas, termasuk definisi-definisi, serta apa yang baik dan yang buruk, dibentuk. Hal ini terjadi karena bahasa adalah kekuatan, pertentangan, pergulatan. Bahasa adalah senjata sekaligus penengah; racun sekaligus obat (Terry Eagleton, What is Ideology, 1991).
Bahasa juga merupakan situs bagi dampak-dampak ideologis yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk perilaku pembacanya. Dengan demikian, pembicaraan mengenai ideologi patriarki tak mungkin dilepaskan dari pembicaraan mengenai bahasa. Representasi perempuan di media menyisakan persoalan baru, yakni kecenderungan berita yang mengarah pada konstruksi sosial-kultural perempuan yang terkait dengan posisi subjek perempuan sebagai korban juga pelaku.
Referensi :
Amir Pilliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, 2003.
Baudrillard, Jean, Simulacres et Simulation, Paris, Galilee, 1981.
Bhasin, Kamla, Memahami Gender, Teplok Press, 2001.
Barker, Chris, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London, Sage Publication, 2004.
Eagleton, Terry, What is Ideology, London, Verso, 1991.
Foucalt, Michel, "The Archaeology of Knowledge", dalam Chriss Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (terj.Tim Kunci), Bentang, 2005.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society (terj.), Pedati, 2004.
Hall, Stuart, "Cultural Studies and its Theoritical Legacies", dalam Simon During (ed.), Cultural Studies Reader, Second Edition, New York, Routledge, 1999.
Humn, Maggie, The Dictionary of Feminist Theories, New York, London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995.
Lan, May, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktek Jurnalisme Gender Pada Masa Orde Baru, Yogyakarta, Kalika, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Fondation, 2002.
McQuail, Dennis, Communication Theory: An Introduction, London, Sage, 1987.
Richard Dyer, "Stereotyping", dalam Mennakhsi Gigi Durham and Douglas M. Kellner (ed.), Media and Cultural Studies: Keyworks, Australia, Blackwell Publishing, 2006.
Sen, Amartya, Identity and Violence : The Ilussion of Destiny (terj. Arif Susanto), (Serpong: Marjin Kiri, 2007.
Catatan Akhir
[1] Lihat May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktek Jurnalisme Gender Pada Masa Orde Baru, Jogjakarta: Kalika, Yayasan adikarya IKAPI dan Ford Fondation, 2002.
[2] Lihat Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, (London: Open University, 1997), hal. 15-63.
[3] Lihat Maggie Humn, The Dictionary of Feminist Theories, (New York, London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995).
[4] Lihat Stuart Hall, "Cultural Studies and its Theoritical Legacies", dalam Simon During (ed.), Cultural Studies Reader, Second Edition, (New York, Routledge, 1999), hal. 97.
[5] Lihat Anthony Giddens, The Constitution of Society, (Pasuruan: Pedati, 2004), hal. 11.
[6] Lihat Chris Barker, Cultural Studies : Theory and Practice, (London: Sage Publication, 2001), hal. 146. Dan bandingkan pula dalam Stuart Hall, Representastion: Cultural Representations and Signifying Practices, (London: Open University, 1997), hal. 44-51.
[7] Lihat Dennis McQuail, Communication Theory: An Introduction (London: Sage, 1987).
[8] Lihat Stuart Hall, "The Rediscovery of Ideology: The Return of Repressed in Media Studies", dalam Michael Gurevitch, Tony Bennet, James Curran, dan Janet Wallacott (ed.), Culture, Society, and the Media, (London: Methuen, 1992), hal. 64.
[9] Lihat Richard Dyer, "Stereotyping", dalam Mennakhsi Gigi Durham and Douglas M. Kellner (ed.), Media and Cultural Studies: keyworks, (Australia: Blackwell Publishing, 2006), hal.23.
[10] Lihat Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 32.
[11] Lihat Amartya Sen, Identity and Violence : The Ilussion of Destiny (terj. Arif Susanto), (Serpong: Marjin Kiri, 2007) hal. 12.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H