Akhir Agustus lalu kita semua dikejutkan oleh Pesta Gay di Apartemen Kuningan. Menurut informasi yang diperoleh Penyidik, Pesta Gay di Apartemen Kuningan ini merupakan kali kedua di tahun 2020 ini. Khalayak ramai tidak habis fikir, di masa pandemi seperti ini masih ada segelintir kalangan melakukan pesta, dan tak tanggung pula pesta perilaku seksual menyimpang di tengah pandemi COVID 19 dan tentunya norma-norma hukum yang hidup di tengah masyarakat. Mereka umumnya berumur diatas 20 tahun. Bahkan 1 diantara para peserta pesta gay ini terinfeksi virus HIV/AIDS.
Modus mereka merayakan pesta gay dengan dalih perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 75. Berbagai lomba diadakan dalam pesta gay ini mulai dari lomba Oral Seks, Cium Pantat, sampai menghirup Obat Perangsang. Sebelum pesta dan lomba diadakan para peserta diwajibkan mandi terlebih dahulu dan setelah mandi diwajibkan untuk tidak menggunakan pakaian sehelaipun alias telanjang bulat.Â
Peserta pesta gay kali ini pun cukup banyak jumlahnya sebanyak 56 orang dan sudah 9 orang ditetapkan sebagai tersangka. Sisanya sebanyak 47 orang hanya ditetapkan sebagai saksi. Kenapa Penyidik Polda Metro Jaya hanya menetapkan 9 orang tersangka, karena Penyidik hanya menerapkan Pasal 296 KUHP yang selengkapnya :Â
"Barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000,-"
Pasal 296 KUHP dikenal dengan Pasal Mucikari untuk memberantas bordil-bordil atau pelacuran-pelacuran yang biasanya marak di kota-kota besar. Selain Pasal 296 KUHP, Penyidik juga menerapkan Pasal 33 juncto Pasal 7 UURI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Yang selengkapnya penulis kutip :
Pasal 33 : "Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah)."
Pasal 7 Â : "Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4."
Pasal 4 Â :Â
"(1) Â Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,Â
     menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:Â
    a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;Â
    b. kekerasan seksual;Â
    c. masturbasi atau onani;Â
    d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;Â
   e. alat kelamin; atauÂ
   f. pornografi anak.Â
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:Â
   a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;Â
   b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;Â
  c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atauÂ
  d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual." Â
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Â bahwa merupakan hak seorang perempuan untuk menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah. Dalam Pasal 26 ayat (2) dilanjutkan dengan penjelasan lebih lanjut mengenai kehidupan seksual yang sehat meliputi antara lain : terbebas dari infeksi menular seksual, terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual.Â
Dalam Pasal 27 ayat (1) PPRI No. 61 tahun 2014 tersebut disebutkan bahwa, Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan melalui :
a. keterampilan sosial;
b. komunikasi, informasi, dan edukasi;
c. konseling;
d. pengobatan; dan
e. perawatan.
Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf b PPRI No. 61 tahun 2014 tersebut antara lain menjelaskan :Â
Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, antara lain pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan perilaku penyimpangan seksual.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Perilaku Penyimpangan seksual antara lain sodomi, homoseksual/lesbian, pedofilia, eksibisionisme, hubungan seksual sedarah/inses, berhubungan dengan mayat (nekrofilia), dan berhubungan dengan hewan (zoofilia).
Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan berbalut untuk melindungi kaum perempuan dari kehidupan seksual yang tidak sehat, sebenarnya sudah jelas ada norma hukum di dalam PPRI No. 61 tahun 2014 tersebut bahwa perilaku seksual menyimpang yakni homoseksual diantaranya adalah termasuk kejahatan seksual, namun tidak diiringi adanya sanksi pidana bagi para pelaku perilaku seksual menyimpang ini.Â
 Â
Berdasarkan Pasal 4 UURI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan PPRI NO. 61 tahun 2014 tersebut, Politik Hukum Pidana di Indonesia sudah menyatakan bahwa homoseksual merupakan perilaku seksual yang menyimpang atau persenggamaan yang menyimpang dan merupakan kejahatan seksual. Para tersangka dalam Pesta Gay Apartemen Kuningan hanya dengan Pasal Mucikari dan pelakunya belum  dapat dijerat dengan pasal-pasal pidana yang ada di KUHP sebagai suatu kejahatan seksual. Sebuah dilema bagi Penyidik untuk menjerat para tersangka dengan pasal pidana kejahatan yang menjerat. Oleh karenanya, pesta gay atau pesta LGBT selalu berulang dan tidak mempunyai deterrent effect bagi para pelakunya saat ini.
Bila selama ini adalah pelaku kejahatan dengan orientasi seksual menyimpang yang dihukum, bukan perilaku seksual menyimpangnya yang dihukum atau dipidana. Bisa diambil contohnya, Ryan Jagal dari Jombang yang memiliki orientasi seksual menyimpang ini dihukum dengan pidana mati karena kejahatan membunuh secara sadis kepada setiap teman kencannya dan menguburnya dibelakang rumahnya. Robot Gedeg juga memiliki orientasi seksual menyimpang namun bukan perilaku seksualnya yang dihukum malainkan perbuatan pidana membunuhnya yang dihukum pidana. DIsamping itu banyak lagi kejahatan sadis termasuk memutilasi korbannya, Â Â Â
LGBT Adalah Kejahatan Seksual.
Pesta Gay ini bukan kali ini saja terjadi. Di tahun 2018 dan tahun 2019 juga masing-masing 2 (dua) kali diadakan pesta gay semacam itu dengan tempat yang berpindah-pindah. Komunitas ini sulit terlacak, karena sifat ketertutupan komunitas ini. Dari segi fisik dan sosial tidak sulit sebenarnya mendeteksi orientasi seksual mereka dengan mengobservasi interaksi sosial mereka. Bahkan akhir-akhir ini mereka semakin terbuka mengungkapkan jati diri dan orientasi sosial mereka. Yang sulit terdeteksi adalah pola komunikasi diantara mereka yang sangat tertutup, terutama dalam berkomunikasi diantara mereka dan kalangan awam sulit mendeteksi.
Penulis bahkan sudah mendeteksi adanya gerakan kaum homoseksual sejak awal tahun 1990 an lampau. Kebetulan saat itu ada epidemi virus HIV  di dunia termasuk di Indonesia, dan penulis termasuk relawan Konseling dan Community Outreach terhadap kalangan wanita malam, pemulung dan kalangan LGBT yang saat itu baru hanya baru berkembang istilah Homoseksual, Heteroseksual, Biseksual dan Transeksual.
 Mereka umumnya terorganisir rapi dalam suatu komunitas dan organisasi. Sebut saja di kalangan Gay ada GAYa Priangan, GAYa Betawi, BAYa Nusantara dan dikalangan yang menghimpun Gay, Lesbian dan Waria dalam organisasi IPPHOS (Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati). Kala itu mereka giat dalam program penanggulangan HIV/AIDS dan aktif di kalangan LSM. Umumnya perilaku ini, berusaha menggaet kalangan heteroseksual untuk memberikan simpati atau paling tidak empati terhadap perilaku seksual mereka yang menyimpang. Bahkan sebagai orientasi seksual menyimpang mereka tidak segan untuk mempengaruhi kalangan heteroseksual untuk menjadi homoseksual atau paling tidak menjadi biseksual. Bahkan di medio tahun 1990-an, penulis mengungkapkan bahwa kalangan kaum homoseksual mempunyai agenda politik jangka panjang mendirikan partai politik khusus kaum gay dan agenda melegalisasi perkawinan diantara kaum homoseksual dalam suatu produk legislasi.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai agama dan budaya ketimuran yang beradab, sangat menolak perilaku seksual menyimpang baik itu homoseksual, biseksual, dan transeksual karena bertentangan dengan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat, baik itu norma agama maupun norma hukum adat.Â
Sebagai perilaku seksual yang menyimpang, dikalangan masyarakat banyak, keberadaan mereka menimbulkan instabilitas sosial dan secara sosial pun interaksi menjadi tidak sehat. Pola gerak mereka selama ini selalu berlindung di balik hak asasi manusia. Padahal hak asasi manusia, bukan untuk melindungi hak asasi seksual mereka, melainkan terbatas hanya melindungi hak hidup mereka selama mereka masih bisa berubah.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, perilaku seksual menyimpang ini, sudah merasuki kalangan internal di lingkungan TNI dan Polri. Apa jadinya masa depan negeri ini dan ketahanan nasional negeri ini lemah hanya karena perilaku seksual menyimpang ini juga menggerogoti tubuh para anggota alat pertahanan dan keamanan negara ini. Â Â Â
Penemuan Hukum Sebagai Solusi Pidana Perilaku Seksual Menyimpang.
Sebuah ironi besar bila ada banyak perbuatan yang menyimpang secara sosial namun tidak dipidana. Hal inilah kenyataan yang selama ini terjadi. Norma-norma hukum  dan norma-norma hukum adat yang hidup di masyarakat jelas-jelas menolak perilaku seksual menyimpang. Selama ini norma hukum dan norma sosial yang berlaku adalah apabila ada sepasang laki-laki dan perempuan maka berlaku bagi mereka norma hukum berkeluarga. Dan itu normal dalam kehidupan sosial.
Lalu bagaimana halnya apabila ada sepasang laki-laki dengan sesama laki-laki atau perempuan dengan sesama perempuan melangsungkan perkawinan. Apakah itu normal ? Tentu jawab mayoritas warga masyarakat akan menyatakan itu tidak normal, bahkan mungkin  ada yang mengatakan gila. Apakah itu melanggar norma sosial dan norma agama, tentu jawabnya melanggar sosial dan agama.
Bila dalam perundang-undangan pidana belum bisa dipidana, kita semua berharap mulai dari Penyidik dan Penuntut Umum menjalankan suatu diskresi untuk menjerat pelaku perilaku seksual menyimpang ke dalam suatu proses hukum yang ujungnya dapat dipidana pelakunya. Berharap pada proses legislasi untuk mengkriminalisasi para pelaku perilaku seksual menyimpang merupakan proses panjang yang melelahkan. Dan hal ini sangat mengganggu rasa keadilan di masyarakat dan menghambat transformasi norma hukum yang hidup di masyarakat ke dalam norma hukum positif hasil dari proses legislasi nasional.
Bila Penyidik dan Penuntut Umum sudah menggunakan diskresi atas kewenangan yang melekat pada fungsinya masing-masing, maka sebagai akhir dari proses mengangkat norma hukum yang hidup di masyarakat itu menjadi hukum positif yang berlaku, maka proses singkatnya kita berharap Hakim membuat Hukum (Judge made the law) dalam Putusan-putusan yang dihasilkannya. DIharapkan hukum yang dibuat Hakim menjadi yurisprudensi tetap dalam hukum pidana untuk menjerat pelaku perilaku seksual menyimpang ini yang saat ini dikenal dengan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT).
Di lingkungan Pengadilan Militer, para Hakim sudah banyak yang berani membuat hukum bagi para pelaku perilaku seksual menyimpang dikalangan anggota TNI ini. Bahkan di internal TNI hukuman bagi para pelaku perilaku seksual menyimpang ini adalah pemecatan atau yang disebut dengan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Penulis berharap, Hakim di lingkungan Peradilan Umum pun berani membuat putusan berkualitas dengan membuat hukum untuk menjerat pelaku perilaku seksual menyimpang ini.Â
Semoga bermanfaat.
Sumber Tulisan :
- Dari berbagai sumber  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H