Sebut saja Bintang dan istrinya Bulan tak menyangka bahwa perbuatannya mengangkat anak (dalam kenyataan sehari-hari sering juga disebut "memungut anak") dari hasil "membeli" dari seorang ibu ketika si anak dilahirkan pada seorang Bidan Praktek ternyata membawa petaka 15 tahun kemudian.
Bintang dan Bulan menikah sudah hampir dua tahun namun tak juga memiliki keturunan. Bulan di vonis oleh dokter sebagai istri yang mandul, yang hampir tidak mungkin memiliki anak. Setelah mengganti semua biaya hasil persalinan dan biaya lainnya kepada orang tua kandung yang melahirkannya, dengan leluasa Bintang dan Bulan membawa sang jabang bayi tersebut kerumahnya, lalu diberikanlah sebuah nama diuruslah segala persyaratan administrasi seolah-olah si jabang bayi keluar sebagai pertalian nasab dari seorang ayah yang bernama Bintang dan seorang ibu bernama Bulan. Tetangga disekitar pun heran, karena dalam sekejap Bintang dan Bulan bisa memiliki jabang bayi tanpa harus mengandung dan melahirkannya.
Tak lebih dari 6 bulan setelah "mengangkat" anak lalu diuruslah Akte Kelahiran ke Dinas Kependudukan setempat dan terbitlah Akte Kelahiran bahwa si anak ini adalah anak pertama dari ayah bernama Bintang dan ibu bernama Bulan. Setelah itu terbit pula Kartu Keluarga dan dokumen-dokumen lainnya. Ketika bersekolah di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas sang anak ini didaftarkan dengan Akte Kelahiran, Kartu Keluarga dan dokumen kependudukan lainnya yang menyatakan bahwa sang anak adalah seolah-olah anak kandungnya.
ADOPSI MENURUT HUKUM INDONESIA.
Kata Adopsi berasal dari bahasa Inggris Adoptionyang merupakan kata benda dan bisa berarti 1. Pengangkatan; 2. Pemungutan; 3. Adopsi. Dalam terminologi hukum menurut  Black's Law Dictionary (Seventh Edition), diistilahkan sebagai :
"Adoption, n. 1. Family Law. The statutory process of terminating a child's legal rights and duties toward the natural parents and substituting similar rights and duties toward adoptive parents."
Adopsi. Kata benda1. Hukum Keluarga. Proses mengakhiri menurut undang-undang terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum seorang anak dari orang tua kandungnya dan dialihkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang serupa kepada orang tua angkat.
Dalam khazanah istilah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kata Adopsi tidak dikenal. Hukum di Indonesia hanya mengenal adalah adalah Pengangkatan Anak. Pada dasarnya perbuatan Pengangkatan Anak merupakan perbuatan hukum perdata sebagaimana ditentukan prosedur dan tata caranya menurut undang-undang.
Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa :
"Pengangkatan anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan"
 Menurut Pasal 39 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
(1) Â Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Â Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya.
(2a) Â Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
(3) Â Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat.
(4) Â Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Dikemudian hari pun menurut Pasal 40 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua angkat mempunyai kewajiban :
Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pada asasnya Pengangkatan Anak menurut UU Perlindungan Anak harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak.
2. Dilakukan berdasarkan adat kebiasan setempat dan ketentuan perundang-undangan.
3. Pengangkatan Anak tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
4. Pengangkatan Anak wajib dicatatkan dalam pencatatan sipil dan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
5. Pengangkatan Anak oleh warga negara asing merupakan ultimum remedium.
6. Orang tua angkat wajib memberitahukan asal-usul anak pada saat yang tepat.
Syarat anak yang akan diangkat menurut Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yakni :
Syarat anak yang akan diangkat, meliputi :
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
e. memerlukan perlindungan khusus.
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Â Â
Dalam hukum Islam maupun hukum Adat yang berlaku di Indonesia, syarat tidak menghapuskan nasab atau hubungan keluarga juga berlaku sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun prosedur hukum yang harus dijalani dalam pengangkatan anak ini adalah sebagai berikut :
1. Â Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada instansi sosial kabupaten/kota dengan melampirkan :
2. Â Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial;
3. Â Surat penyerahan anak dari instansi sosial propinsi/kabupaten/kota kepada organisasi sosial;
4. Â Surat penyerahan anak dari organisasi sosial kepada calon orangtua angkat;
5. Â Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat;
6. Â Foto kopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;
7. Â Foto kopi surat nikah calon orang tua angkat;
8. Â Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah;
9. Â Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan dokter psikiater;
10. Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.
Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Dinas Sosial/Instansi Sosial propinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup;
2. Ditandatangani sendiri oleh para pemohon (suami-istri);
3. Mencantumkan nama anak dan juga asal usul anak yang akan diangkat.
4. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat kabupaten/kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal);
5. Proses penelitian kelayakan;
6. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) daerah;
7. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kabupaten/Kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat.
8. Penetapan Pengadilan;
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan tempat anak yang diangkat tersebut berada. Maksudnya adalah Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Bagi yang beragama Islam berdasarkan asas personalitas keislaman seseorang, maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan berdasarkan UU No. 3 tahun 2006. Â Â Â
Yang menjadi persoalan adalah apabila pengangkatan anak yang dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat formil dan materiil yang ditentukan, maka perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dianggap tidak sah dan dapat dikatakan adalah pengangkatan anak ilegal (illegal adoption).
Menurut penulis apabila perbuatan perdata pengangkatan Anak namun tidak sah secara hukum maka perbuatan perdata tersebut bisa berubah menjadi perbuatan pidana bagi pelaku pengangkatan Anak secara illegalini. Bahkan apabila didahului oleh kesepakatan pembayaran untuk mengambil atau memungut anak tersebut maka dalam hukum kontemporer, pelakunya bisa dijerat dengan ketentuan pidana perdagangan anak sebagaimana penulis akan paparkan lebih lanjut.
PELAPORAN CATATAN PENGANGKATAN ANAK.
Menurut Pasal 3 UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
"Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil."
Sementara itu menurut Pasal 47 UU No. 23 tahun 2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan disebutkan :
(1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal pemohon.
(2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran.
Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak", menurut UU No. 23 tahun 2006, Â adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Sementara yang dimaksud dengan "catatan pinggir" adalah catatan mengenai perubahan status atas terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/bagian muka atau belakang akta) oleh Pejabat Pencatatan Sipil.
Bagi yang melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pencatatan peristiwa kependudukan dan catatan sipil terutama dalam hal menyangkut pencatatan adopsi ilegal dalam pencatatan kependudukan dan catatan sipil tersebut tidak terkecuali dalam hal menyuruh memanipulasi data kependudukan dan kelahiran serta asal-usul anak maka hal itu merupakan sebuah perbuatan pidana yang dapat dijatuhkan sanksi pidana kepada para pelakunya.
SANKSI PIDANA PELAKU ADOPSI ILEGAL.
Dalam kasus adopsi ilegal yang dilakukan oleh pasangan suami istri Bintang dan Bulan sebagaimana diuraikan diawal tulisan ini, maka didentifikasi setidaknya ada 4 (empat) perbuatan pidana yang dapat menjerat pelaku adopsi ilegal.
1. Tindak Pidana Adopsi Ilegal.
   Ketentuan tindak pidana ini terdapat dalam Pasal 79 UU No. 23 tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak yang berisi :
   "Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan         ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100.000.000,- (seratus juta rupiah)."
   Apabila terdapat peristiwa pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4)     UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka pelakunya dapat dipidana dan dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
2. Tindak Pidana Jual Beli Anak (Child Trafficking)
Unsur materiil tindak pidana ini terdapat dalam ketentuan Pasal 76F UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang       Perlindungan Anak :
"Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau            perdagangan Anak."
    Sementara sanksi pidananya terdapat dalam ketentuan Pasal 83 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang            Perlindungan Anak :
     "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan           paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus       juta rupiah).'
3. Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Otentik.
   Memohon kepada Instansi Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membuat Akta Kelahiran yang merupakan Akta Otentik merupakan tindak           pidana. Ketentuan delik ini terdapat didalam Pasal 266 KUHPidana.
   "(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam sesuatu akte authentiek tentang suatu klejadian yang kebenarannya harus                    dinyatakan  oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok       dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
    (2)  Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang                     sebenanrnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian."
4. Tindak Pidana UU Administrasi Kependudukan.
    Ketentuan delik ini terdapat dalam ketentuan Pasal 93 UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan :
    "Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan    Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)."
   dan ketentuan Pasal 94 UU No. 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
    "Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk             sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00         (tujuh puluh lima juta rupiah)."
Terhadap pihak-pihak ketiga lainnya yang turut serta membantu dan membiarkan adanya tindak pidana adopsi ilegal ini maka dianggap pula sebagai pelaku tindak ini. Â Jadi mulai saat ini peduli dengan lingkungan sekitar dari adanya perbuatan-perbuatan adopsi ilegal. Hal ini tidak lain untuk melindungi anak-anak kita dari perbuatan adopsi ilegal dan perdagangan anak demi kepentingan pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.
Demikian dan semoga bermanfaat.
FARID MU'ADZ, S.H., M.H., Cfd.MED
- Pendiri dan Senior Partner pada BASAKRAN & GINTING MANIK Law Office
- Advokat dan Konselor pada INSAN KARIM CENTER Sentra Konseling dan Bantuan Hukum untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
- Mediator.Â
Bahan Bacaan : Dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H