Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Psikolog

18 Juni 2016   20:24 Diperbarui: 18 Juni 2016   20:30 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang wanita memasuki pintu sebuah ruang di mana seorang psikolog berpraktek. Ia salah tingkah ketika menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan sangat mendasar, tidak mengetuk pintu.

Fatal, tapi apa lacur, ia sudah berada di dalam ruangan itu dan seseorang yang duduk di belakang meja besar dengan berbagai benda di atasnya sudah melihatnya dengan pandangan tajam.

"Jangan katakan kalau depresi telah membuat anda lupa sopan santun, lupa etika," kata psikolog cantik itu datar dan nadanya tegas.

"Maaf, saya..."

"Apakah saya sudah ada janji dengan anda? Atau, sebaliknya?"

"Eh, belum, Bu,"

"Nah, yang sudah buat janji saja selalu mengetuk pintu lebih dulu, apalagi yang belum sama sekali."

"Maaf, Bu, tadi saya sedang mempertimbangkan dua pilihan, sampai saya tak sadar membuka pintu begitu saja."

"Dua pilihan macam apa yang membuat anda melupakan etika itu?"

"Pilihan pertama adalah menemui psikolog."

"Yang kedua?"

"Bunuh diri!"

"Baiklah, lupakan tentang mengetuk pintu, sekarang duduklah. Meskipun jadinya lupa mengetuk pintu, tapi Tuhan tampaknya masih berkenan menuntun anda untuk mencari pertolongan bagi diri anda. Saya harus membantu Tuhan yang masih sayang pada anda dan ingin meyakinkan anda bahwa Dialah yang berhak atas hidup dan mati anda," kata psikolog itu.

Wanita itu duduk dengan gamang.

"Nah, siapa nama anda, dan kenapa bunuh diri jadi pilihan anda. Suami anda selingkuh? Atau, ingin beristri lagi? Menghabiskan seluruh tabungan di meja judi? Saham yang anda beli harganya jatuh?"

Wanita itu menggeleng.

"Atau, anda yang selingkuh?" sang psikolog melirihkan suaranya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu.

Wanita itu menggeleng lagi.

"Nama saya Lena, saya seorang pegawai negeri sipil."

"Di kantor dinas apa anda bekerja?"

"Sekolah."

"Anda seorang guru?"

"Ya."

"Bu Lena, maaf jika saya heran ada seorang guru PNS ingin bunuh diri. Rasanya tak ada manusia di negeri ini yang beruntung selain kalian para PNS. Gaji kalian setinggi langit, sistem kerja longgar tanpa tekanan, tanpa target, jam kerja yang relatif pendek, tak ada resiko dipecat, dan setelah pensiun akan tetap menerima gaji. Apakah anda tak bisa merasakan keberuntungan itu sehingga mempertimbangkan untuk bunuh diri?" tanya sang psikolog, "di luar sana banyak lho, orang yang tak beruntung seperti anda, tapi bersemangat untuk tetap hidup."

Wanita bernama Lena itu menggeleng lemah.

"Saya memang salah satu dari yang beruntung itu, tapi ketidakberuntungan lain membuat itu semua tak terasa sebagai keberuntungan."

"Ketidakberuntungan lain?"

"Suami saya juga seorang PNS...."

"Wah, keberuntungan anda ditambah keberuntungan suami anda, itu berlipat-lipat jumlahnya. Anda tampaknya masih menuntut lebih banyak keberuntungan, ya?"

"Kehidupan rumah tangga kami tak kurang suatu apa," kata Lena.

"Tentu saja, keterlaluan jika sepasang suami istri yang bekerja sebagai PNS merasa kekurangan."

"Ya, kami bahagia sampai ketika setahun lalu, suami saya tersandung masalah keuangan di kantornya. Sebagai bendahara, ia memiliki akses luas pada keuangan di kantor."

"Suami anda menyalahgunakan keuangan?"

"Benar, Bu."

"Untuk membeli mobil impian?"

Wanita muda itu menggeleng.

"Untuk memenuhi selera belanja, atau, gaya hidup?"

"Itu yang saya tak pernah tahu. Ia tak pernah memberi saya uang kecuali gaji bulanannya secara utuh beserta slipnya."

"Berapa jumlah uang yang disalahgunakan suami anda?"

"Lima belas milyar."

Lima belas milyar? Suami orang ini pasti sejenis orang yang senang dengan bibit penyakit, pikir sang psikolog.

"Suami anda dilaporkan polisi?"

"Ya, sebenarnya ada orang lain yang juga terlibat selain suami saya, yaitu kepala dinas. Tapi karena ayah saya memiliki pengaruh kuat sebagai ketua pengadilan negeri, suami saya dan kepala dinasnya itu tidak ditahan, tapi hanya diharuskan mengganti uang itu tanpa proses hukum," jelas wanita itu.

"Wow, betapa keberuntungan begitu lengket dengan anda dan suami anda, ya? Hanya di negara kita lho, orang yang melakukan kejahatan begitu mudah mendapat pemakluman dan pengampunan. Apalagi jika dekat dengan penguasa, punya banyak uang untuk mengendalikan hukum, dan kejahatan itu dilakukan bersama-sama. Lantas, masalah anda di mana?" kata sang psikolog dengan agak sinis.

"Memang mulanya saya bisa menerima kenyataan. Meski kami harus menjual dua rumah sekaligus, beberapa petak sawah, dan dua mobil. Meski gaji saya dan suami saya dipotong delapan puluh persen setiap bulan untuk menutupi kekurangannya, saya terima asal suami saya tidak dipenjara dan dipecat. Tapi sesuatu yang disembunyikan suami saya dari saya itulah yang membuat saya histeris."

"Apa yang disembunyikan suami anda dari anda?"

"Dia menikah siri dengan kekasih lamanya. Bisa ditebak, kan, untuk apa uang negara yang di gelapkannya itu?"

"Kapan tepatnya rahasia suami anda itu terungkap?"

"Sejak semuanya habis dijual, kami kembali menumpang di rumah orang tua saya. Dengan sisa potongan gaji yang tak seberapa, kami harus hidup seadanya agar bertahan sampai seluruh uang yang disalahgunakan suami saya terlunasi. Beberapa waktu saya memang berhasil meyakinkan diri saya bahwa itu semua mungkin cobaan. Tapi terkadang jiwa saya merasa sulit untuk melihat itu sebagai cobaan. Seseorang bersalah dan harus bertanggung jawab itu adalah sebuah konsekuensi. Cobaan itu jika suami saya tak bersalah, tapi harus bertanggung jawab. Faktanya, suami saya bersalah. Lama-lama saya merasa bodoh menganggap itu sebagai cobaan dan yakin jika ada sesuatu yang tersembunyi yang melatarbelakangi tindakan suami saya. Jelas latar belakang itu bukan saya, karena saya bukan penuntut, kami hidup dengan wajar."

"Tadi anda bilang, anda harus menjual dua rumah, dua mobil dan beberapa petak sawah. Sebagai PNS, anda dan suami saya cukup kaya."

"Ya, dua rumah itu yang satu adalah rumah saya yang dibangunkan ayah saya, dan rumah suami saya dari ayahnya. Satu mobil kami hasil kami menabung, dan mobil yang lain adalah mobil ayah mertua saya. Kalau sawah, itu adalah warisan kakek saya dan kakeknya suami saya."

"Begitu ya..."

"Saya akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk memaksa suami saya berterus terang, untuk apa uang negara yang jumlahnya milyaran itu diselewengkan."

"Dia mengakui?"

"Mulanya tidak, tapi ketika saya mengancam akan memaksa ayah saya membiarkan polisi memenjarakannya, akhirnya dia buka mulut. Dia mengakui jika dia menikah siri dengan kekasih lamanya. Ia menggunakan uang kantor untuk membiayai kehidupan rumah tangga rahasianya sedikit demi sedikit hingga terkumpul sedemikian banyaknya. Ia beralasan istri sirinya menuntut rumah, mobil, perhiasan, dan semuanya. Saya merasa seperti ingin mati saja mendengar pengakuannya."

Sang psikolog diam sambil memandangi wajah klien-nya.

"Sudah berapa lama suami anda menikah siri?"

"Enam tahun."

"Enam tahun?"

Wanita itu mengangguk.

"Anda tampaknya hidup nyaman sekali sampai suami anda bisa dengan tenang bermain di belakang anda untuk waktu yang begitu lama. Keberuntungan yang terus menyertai anda rupanya membuat anda tak peka sama sekali."

"Apa yang harus saya lakukan, Bu?"

"Yang jelas bukan bunuh diri."

"Saya benar-benar sudah kehilangan semangat hidup."

"Kehidupan memberi anda keberuntungan demi keberuntungan, sampai anda lupa bahwa suatu hari akan datang ketidakberuntungan sebagai keseimbangan. Itu sebenarnya kewajaran alam yang mana anda tidak akan terlalu merasa terpukul jika anda siap. Masalahnya adalah anda tak pernah siap untuk sebuah ketidakberuntungan, lantaran keberuntungan anda telah membuat anda nyaman dan tidak pernah belajar untuk peka."

"Adakah jalan keluar untuk saya?"

"Bagi suami anda ini jelas adalah ujung dari semua perbuatannya dan bukan cobaan. Tapi bagi anda ini memang cobaan, meskipun sebagai korban anda juga menodainya."

"Menodai?"

"Sebelum anda tahu rahasia yang disembunyikan suami anda, anda lebih memilih menjual aset demi kebebasan suami anda dari tuntutan hukum bukan? Apakah akan demikian halnya jika sejak awal anda tahu perbuatan suami anda? Jelas di sini anda tidak taat hukum ketika anda tidak berada dalam posisi yang teraniaya seperti sekarang."

“Yah, memang, itu saya akui,” kata wanita itu.

“Nah,” tukas sang psikolog, “anda masih memikirkan pilihan bunuh diri, atau mulai membuka pikiran pada kemungkinan adanya pilihan lain semacam, tekad memperbaiki keadaan walaupun pahit?”

“Jika ada saran untuk hal lain yang bisa saya lakukan, saya akan mencoba mempertimbangkannya.”

“Yang jelas, jalan keluar dari masalah anda hanya ada di kehidupan anda sekarang ini, tidak akan anda temukan di alam yang akan anda masuki jika anda bunuh diri.”

Wanita itu mengangguk-angguk. Ia masih tampak terguncang, tapi tak sehebat seperti ketika baru datang.

“Jika anda masih sayang pada suami anda, mintalah cerai.”

“Saya tak salah dengar?”

“Tidak, kecuali jika anda tak sayang lagi dengan suami anda, maka mintalah dia untuk menceraikan istri sirinya.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ah, suami anda terlanjur memelihara penyakit berbahaya. Wanita itu pasti akan membuat suami anda kehilangan pekerjaannya sebagai PNS dengan membeberkan pernikahan siri dengannya jika diceraikan.”

“Tidak. Saya tidak peduli! Saya sudah habis-habisan untuk mengembalikan uang negara yang dia pakai untuk membiayai pengkhianatannya. Saya tidak mau, saya ingin dia menceraikan istri sirinya!”

“Itu lebih baik, saya hanya memancing anda untuk tidak menyerah. Seseorang telah membuat hidup anda hancur tapi anda memilih untuk bunuh diri tanpa melakukan apa-apa terhadapnya. Wanita itu akan tertawa, bahkan mungkin berjingkrak-jingkrak kalau mendengar anda ditemukan tergantung dengan lidah terjulur, atau mendelik sekarat karena menelan racun sianida. Murid-murid anda akan mengenang anda dengan satu kata kata, kasihan.”

“Kalaupun suami saya harus dipecat dengan tidak hormat atau masuk penjara, itu masih lebih baik daripada membiarkannya jadi milik wanita itu seutuhnya. Setidaknya dia masih mudah saya temukan saat saya ingin menyumpah serapah atau meludah, jika saya teringat harta benda saya yang tak mungkin bisa kembali untuk membayar biaya pengkhianatannya!” kata wanita itu berapi-api.

Sang psikolog tersenyum. Ia tahu, ia baru saja membebaskan seseorang dari keinginannya bunuh diri. Ia pernah gagal mencegah keinginan seorang klien-nya untuk melakukan tindakan itu. Ketika itu ia sudah membusa dengan berbagai kata agar orang itu bisa keluar dari lingkaran keputusasaannya. Tapi yang ia dapati adalah, justru setelah membayar konsultasinya, orang itu terkapar di pintu masuk kantornya dengan mulut membusa karena menenggak racun serangga.

“Anda sekarang melihat pilihan terbaik?” tanya sang psikolog.

“Ya, suami saya memang harus menerima hukumannya. Membelanya sama saja membiarkan penyakitnya terus hidup.”

“Baiklah, Bu Lena. Saya rasa saya bisa mempercayai anda bahwa anda sudah menemukan setidaknya sedikit pegangan dalam menghadapi masalah anda. Saya tidak mengarahkan anda untuk melakukan ini atau itu, tapi menuntun anda menemukan dan menentukan pilihan lain selain bunuh diri.”

“Saya merasa tak salah sudah datang kemari, Bu.”

“Keberuntungan dan ketidakberuntungan datang silih berganti. Jika hari ini anda merasakan ketidakberuntungan, percayalah, yang akan datang berikutnya adalah keberuntungan. Tapi, belajarlah peka ketika keberuntungan sedang datang pada anda, agar anda tak terlalu terkejut dengan kedatangan ketidakberuntungan di lain waktu.”

“Terima kasih, saya sudah memutuskan sebuah pilihan. Berapa yang harus saya bayar untuk konsultasi ini?”

“Ah, ya, cukup murah. Dua juta rupiah!”

“Dua...?” wanita itu terpana.

“Saya baru saja membebaskan anda dari keinginan untuk bunuh diri. Itu cukup murah untuk sebuah usaha membebaskan anda dari kemungkinan anda gentayangan di alam entah apa dan tak di mana-mana. Kata orang, dosa orang bunuh diri sangat besar. Saya juga baru saja membebaskan anda dari kemungkinan wanita yang membuat suami anda mengkhianati anda terkekeh senang karena mendapat suami orang tanpa perlawanan dari istrinya sahnya yang lebih berhak,” potong sang psikolog cepat.

Wanita itu masih tidak percaya bahwa sang psikolog itu akan memasang tarif konsultasi yang demikian mahalnya.

“Anda tampaknya sangat terkejut ya. Baiklah, Bu Lena, anda tak perlu membayarnya sekarang karena uang sejumlah itu pasti terasa sangat banyak dan mahal, mengingat kondisi keuangan anda sekarang. Pulanglah dan perbaiki kembali hidup anda. Tentukan pilihan terbaik bagi anda menyangkut suami anda. Suatu hari, jika kehidupan anda kembali normal dan anda melihat bahwa uang dua juta rupiah itu bukanlah apa-apa dibandingkan dengan apa yang anda dapatkan, datanglah kemari.”

Kali ini wanita itu jauh lebih terkejut daripada ketika mendengar jumlah tarif sang psikolog.

“Jika anda datang kemari suatu hari, berarti saya telah membantu anda menjadi lebih baik, jadi saya berhak mendapat imbalan. Tapi jika tidak, berarti saya tak cukup bisa membantu anda, maka saya tak berhak imbalan sepeser pun. Bagi saya, anda tak jadi bunuh diri itu sudah merupakan imbalan.” kata sang psikolog lagi.

Wanita itu kini menemukan kebaikan hati sang psikolog. Ia datang tanpa mengetuk pintu, tapi psikolog itu penuh perhatian mendengar permasalahannya. Ia merasa menjadi lebih tegar sekarang.

“Terima kasih, Bu, terima kasih,” wanita itu menangis sambil mencium tangan sang psikolog. “Saya akan datang lagi kemari.”

“Tidak perlu berjanji, Bu Lena. Anda baru akan mulai menyelesaikannya. Lakukan sejauh yang bisa anda lakukan untuk memperbaiki hidup anda. Biar Tuhan yang menentukan apakah anda akan datang lagi kemari atau tidak.”

Sang psikolog mengangguk pada wanita itu sambil tersenyum untuk meyakinkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun