Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ich bin ein Berliner

30 Mei 2016   12:16 Diperbarui: 31 Mei 2016   21:01 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. hdwallpaper.com

Helene Meier berdiri mematung memandangi Gerbang Brandenburg yang bisu. Sebisu dirinya sejak ia tiba di tempat ini beberapa saat lalu. Di sampingnya, Berta Meier tak yakin dengan perasaannya sendiri, tapi ia mencoba mencari, perasaan seperti apa yang mungkin akan ia rasakan jika ia menjadi Helene, ketika akhirnya melihat Gerbang Brandenburg lagi setelah bertahun-tahun sejak pelariannya.

Ini adalah kepulangan ibunya yang pertama sejak empat puluh tahun pelariannya dari Berlin timur. Berta menggenggam tangan pucat berkeriputan itu untuk ikut merasakan getaran-getaran yang dirasakan Helene, sang ibu. Ia telah membaca banyak jurnal, buku-buku, dan catatan tentang Tembok Berlin di masa lampau. Masa di mana Berlin timur, kata ibu, seperti neraka.

“Ich bin ein Berliner[1],” kata Helene lirih sambil memandangi wajah putrinya yang sesekali tertutup rambutnya sendiri karena tiupan angin. Berta mengangguk dan ia masih mencoba menyelami perasaan ibunya.

“Kau ingin selalu kembali ke tempat di mana kau dilahirkan, meski tempat itu adalah tempat yang sangat menyedihkan. Aku tak bisa menahan kerinduanku pada kota ini selama bertahun-tahun. Ketika itu tinggal di sini adalah pilihan yang sangat sulit, kau akan memilih untuk pergi dan itulah yang aku lakukan, Berta. Tapi kau akan selalu merindukannya,” kata Helene lagi.

“Kau sudah kembali, bu,” kata Berta sambil memeluk ibunya dan bersama-sama memandangi Gerbang Brandenburg.

Helene mengeluarkan sesuatu dari dalam saku mantelnya. Sesuatu yang Berta sudah terbiasa melihatnya. Sebuah foto lama yang tak pernah terpisah dari ibunya. Seorang laki-laki tampan dengan rahang yang terlihat sangat kuat berdiri dengan seragam lengkap seorang tentara. Dia adalah Olaf Meier, seseorang yang namanya tersemat di belakang nama Berta dan ibunya. Ayah Berta.

“Aku membayangkan ayahmu ada di sini bersama kita, kembali ke kota yang pernah memenjarakan hidup sebagian warga di dalamnya,” kata Helene sambil menatap sosok dalam foto itu, “tapi ia bahkan tak pernah sempat mengenalmu.”

Helene mengguguk. Berta membiarkan sang ibu memuaskan emosi dan keharuannya, dan itu berlangsung hingga beberapa lama.

“Berbulan-bulan ayahmu merencanakan sebuah cara agar kami bisa pergi. Pergi ke seberang tembok Berlin ketika itu adalah sebuah gagasan yang membutuhkan lebih dari sekedar keberanian, tapi juga keikhlasan karena ia seharga nyawamu. Ketika itu sudah kau putuskan untuk kau lakukan, pilihannya hanya hidup atau mati. Kau tetap hidup dan mendapat kebebasan itu ketika berhasil, atau akan langsung terlempar ke neraka jika gagal. Tentara-tentara penjaga tembok itu seperti mesin pembunuh, mereka tak memikirkan apa-apa selain keputusan untuk menembak segala sesuatu yang mereka lihat mencoba melintas ke balik tembok,” Helene menghirup udara sangat kuat dan menghembuskannya pelan-pelan.

Berta tahu, ibunya sedang ingin mengulang ceritanya. Sudah ratusan kali Berta mendengar cerita ibunya tentang usaha ayah mereka untuk diam-diam membawa mereka menyelinap melintasi tembok Berlin pada 1976. Menyeberang ke Berlin barat, menuju kepada kebebasan. Berta tak pernah keberatan membiarkan ibunya terus menghidupkan kenangan itu di dalam hidupnya.

Kisah pelarian ibunya adalah kisah yang menyedihkan. Meski usaha ayah mereka berbuah kebebasan bagi istri dan bayi dalam kandungannya, tapi ayah tak pernah ikut menikmati kebebasan itu sendiri.

“Olaf Meier, ayahmu, dan seorang temannya malam itu bertugas jaga malam. Seperti yang sudah mereka sepakati dan mereka rencanakan selama berbulan-bulan, mereka akan melakukan desersi dengan melarikan diri ke balik tembok. Kau pernah membaca tentang Conrad Schumann[2], bukan?” tanya Helene.

“Ya, aku menemukannya di banyak catatan dan kliping-kliping.”

“Polisi muda itulah yang menginspirasi ayahmu,” kata Helene, “Ia dan temannya menyiapkan apa yang diperlukan untuk itu pada sebuah tempat rahasia, seperti tali dan besi pengait untuk memanjat tembok, atau besi panjang untuk mengungkit untaian kawat berduri agar seseorang bisa merayap dibawahnya. Mereka juga sudah mencoba berkali-kali untuk mengelabui alarm dan mengenali tempat-tempat di mana ranjau di tanam. Aku sudah disembunyikan di sebuah tempat yang lain sejak petang. Ketika tengah malam, mereka melakukan hal sebagaimana biasa jika bertugas, sama sekali tak terlihat jika mereka adalah dua tentara yang sedang akan melarikan diri. Untuk hal itu mereka sudah melatihnya agar tak terlihat mencurigakan tentara lain. Ayahmu mendatangi tempat persembunyianku sementara temannya menyiapkan tali dan besi pengait,” kata Helene.

“Aku selalu merasakan ketegangannya di bagian itu, bu” ujar Berta menimpali.

“Ya, itu sangat menegangkan, dan aku hampir menyerah bahkan pada saat menunggu selama berjam-jam di tempat persembunyian hingga tengah malam. Ketika ayahmu datang, aku merasa lumpuh karena takut,” lanjut Helene.

“Apakah ayah atau temannya itu juga takut?”

“Mereka juga manusia biasa, tapi harapan untuk tetap hidup membuat orang berani bahkan untuk melakukan hal yang paling mengerikan sekali pun. Seperti mempertaruhkan nyawa demi hidup yang merdeka, demi keluar dari kota gelap yang mengungkung dan mengawasi setiap gerak kami.”

“Bagaimana ayah meyakinkanmu?”

“Tak ada yang ia katakan karena kami tak punya banyak waktu, kecuali bahwa bayi dalam perutku, berhak untuk kemerdekaannya, itu yang membuatku bersemangat dan segera memanjat tembok itu dengan tali. Mula-mula itu terlihat sangat mengerikan. Memanjat tembok tinggi dengan resiko jatuh itu sendiri sudah merupakan hal yang mustahil untuk perempuan hamil sepertiku, apalagi ditambah kemungkinan ada tentara yang melihat dan melepas tembakan,” Helene mengatur nafasnya. Berta mengelus punggung ibunya.

“Aku juga teringat berita tentang Ida Siekmann[3] yang mencoba melompat dari lantai 3 apartemennya di Jalan Bernauer No. 48, tapi terjatuh dan mati. Hanya saja kata-kata ayahmu seperti mantra yang membuatku merasa mendapat kekuatan, maka aku memanjatnya,” lanjutnya.

“Entah di mana kita sekarang jika kau tak melakukan itu,” Berta menambahkan untuk meyakinkan bahwa ia sangat menghargai apa yang sudah dilakukan ibunya, “kau membawaku memanjat tembok setinggi tiga setengah meter.”

“Sampai di atas, aku menurutkan apa yang diperintahkan ayahmu untuk mengaitkan pengait lain dan menjatuhkan tali lainnya ke balik tembok dan menuruni tembok itu dengan tali. Lalu teman ayahmu naik dengan cepat dan dengan cepat pula turun di seberang di dekatku.”

“Dan ayah?” Berta bertanya lagi meski ia sudah tahu bahwa ayahnya tak pernah berhasil memanjat tembok Berlin. Tapi sampai di bagian ini, cerita ibu diselimuti misteri. Ibu seperti tak pernah yakin apa sebenarnya yang terjadi pada ayahnya ketika ia sudah berada di balik tembok.

“Aku pikir ayahmu juga akan segera menyusul, tapi ia tak pernah melakukannya. Seharusnya terdengar tembakan atau keributan jika ada yang melihatnya, karena kami hanya terpisah tembok. Kami tak bisa saling melihat, tapi setidaknya kami bisa saling mendengar. Teman ayahmu bahkan sempat memanjat kembali ke atas untuk memastikan, tapi ia tak menemukan ayahmu sementara suasananya sepi saja,” kata Helene.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah, bu? Pada bagian ini, aku merasakan sebuah misteri.”

“Entahlah. Teman ayahmu akhirnya meyakinkanku bahwa menunggu di sana lebih lama hanya akan membuat pelarian itu bisa gagal, maka ia mengajakku pergi menemui seseorang yang sudah mereka hubungi sebelumnya untuk bersembunyi sementara waktu sambil menunggu ayahmu.”

Helene diam beberapa saat, lalu ia kembali terguncang. Berta mendudukkan ibunya pada sebuah bangku dan mengeluarkan selembar tisu.

“Aku bersikeras menunggu di tempat orang yang menolong aku dan teman ayahmu hingga beberapa hari, karena aku berharap ayahmu akan segera menyusul. Tapi kau tahu, ia tak pernah menyusulku,” Helene menarik nafas dalam lagi.

“Bagaimana ibu sampai di Koln?” tanya Berta.

“Aku tak ingin pergi tanpa ayahmu, tapi aku sadar bahwa menunggunya terasa sia-sia. Teman ayahmu meyakinkanku bahwa ia akan mendapatkan informasi tentang ayahmu jika keadaan sudah memungkinkan, tapi aku harus pergi jauh dari tembok itu dan mencari kehidupan yang lebih baik. Ia meyakinkanku bahwa ayahmu akan menyusul suatu hari.”

“Cerita ibu selama ini selalu berhenti sampai di bagian ini. Ibu lalu pergi ke Koln, menumpang tinggal di rumah kenalan ayah, dan bekerja di toko parfum. Bertemu seorang bernama Karl dan menikah dengannya,” ujar Berta, “dan di bagian ini, teman ayah itu tak pernah aku dengar lagi.”

Helene memandangi Berta dengan mata berkaca-kaca.

“Teman ayahmu...” desah Helene sambil membuang pandang kembali ke Gerbang Brandenburg, “aku memang membuat ia terkesan pergi dalam cerita-ceritaku selama ini. Ia sebenarnya tak pernah pergi ke mana pun, maksudku, ia ada bersama kita selama ini.”

“Karl?” Berta menyebut ayah tirinya.

“Ya.”

“Jadi teman ayah itu sebenarnya adalah Karl?”

Helene mengangguk dan memandang Berta dengan tatapan bersalah.

“Aku sebenarnya ingin merahasiakan ini darimu selamanya, Berta. Aku tak ingin kau menganggap ibumu mengkhianati ayahmu. Karl, teman ayahmu itu membawaku ke Koln untuk menemui kerabatnya dan menumpang tinggal di sana. Karl bekerja serabutan untuk bertahan hidup dan membiayaiku.”

“Kau menggantungkan hidup pada Karl?”

“Tidak, aku melamar menjadi pelayan di sebuah toko yang mau menerimaku tapi aku harus bekerja sampai malam. Aku harus memiliki uang saat melahirkanmu.”

“Aku ingin sekali mendengar bagaimana kemudian kau menikah dengan Karl. Aku menghormatinya sebagai ayah tiriku, bu. Aku hanya terkejut karena ia adalah teman ayah itu, bukan orang lain yang kau jumpai di Koln sebagaimana ceritamu selama ini.”

“Aku terlalu lelah bekerja dan memikirkan ayahmu sehingga keadaanku sungguh sangat lemah ketika kehamilanku semakin besar. Aku tak kuat lagi bekerja dan lalu aku menjadi tergantung pada bantuan Karl dan saudaranya. Ia melakukan segalanya untuk membiayai kelahiranmu di rumah sakit hingga aku dan kamu kembali ke flat di mana kami menumpang tinggal.”

“Lalu?”

“Pada mulanya aku sangat berharap Karl akan mencari kabar tentang ayahmu. Tapi aku mulai melupakannya melihat ia menggunakan semua waktunya untuk bekerja. Apalagi aku tak bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan uang setelah melahirkanmu. Hidup kita jadi sepenuhnya tergantung pada kebaikannya.”

“Karl melamarmu?”

Helene memandangi Berta dengan sendu, “aku masih bersikeras menunggu ayahmu, tapi semakin lama aku menunggu, aku hanya semakin menumpuk rasa banyak berhutang kebaikan pada Karl. Karl sebenarnya tak pernah secara terang-terangan melamarku, tapi aku berpikir, seorang pria tak akan memberikan semua yang dimilikinya, melakukan segalanya pada seorang wanita tanpa suatu tujuan.”

“Jadi?”

“Suatu hari kukatakan padanya, aku memikirkan Olaf di saat kau begitu sibuk dan bekerja keras agar aku dan anakku bisa terus hidup. Kau begitu baik padaku, tapi aku malah memikirkan seseorang yang mungkin memang tak akan pernah datang. Maka biarlah aku serahkan hidupku dan anakku sepenuhnya padamu. Tak adil rasanya melihat seseorang melakukan segalanya padaku, tapi tak bisa menuntut apa pun dariku.”

“Apa yang Karl katakan, bu?”

“Ia menangis,” kata Helene.

“Menangis?”

“Ya, ia bersujud di depanku dan menangis sambil meminta maaf.”

“Kenapa ia melakukan itu?”

“Ia berkata bahwa ia membunuh ayahmu!”

“Karl? Membunuh ayah?”

“Jadi, ketika aku sudah berhasil memanjat tembok, ayahmu pun bersiap naik, pada saat itulah Karl menembak ayahmu. Pucuk pistolnya dibungkus gulungan kain sehingga suara tembakan itu teredam...”

“Tapi, apa alasannya? Bukankah mereka bersama merencanakan pelarian itu?”

“Aku...”

“Aku tak mengerti, bu.”

“Karl diam-diam mencintaiku dan ia ingin memiliki aku. Dalam rencana pelarian bersama ayahmu, ia juga punya rencana sendiri, dan rencana itu berhasil. Saat ia naik kembali ke tembok untuk memastikan keadaan ayahmu hanyalah caranya untuk mengelabuhi dan meyakinkanku bahwa mungkin ayahmu tertangkap tentara patroli yang lain.”

Berta terdiam dalam keterkejutannya yang nyata. Jadi, Karl, adalah teman ayah yang bersama merencanakan pelarian itu, tapi membunuh ayah demi keinginannya memiliki ibu? Jadi selama ini mereka hidup bersama seseorang yang membunuh ayah mereka?

“Di awal pelarian kami, Karl tak memikirkan apa-apa kecuali keinginan hidup bersama denganku. Maka ia melakukan semuanya untukku agar aku bersimpati padanya dan menuruti keinginannya. Tapi ketika melihatku bekerja sebagai pelayan toko dan keadaanku semakin lemah, ia merasa sangat bersalah dan sejak saat itu bayangan Olaf menghantuinya kemana pun ia pergi. Pada saat aku memutuskan untuk menyerahkan hidup dan mati padanya itulah ia berada pada puncak penyesalannya dan mengakui semua perbuatannya.”

“Kau marah padanya?” tanya Berta.

“Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku merasa kosong.”

Helene kembali memandangi Gerbang Brandenburg yang gagah, tapi bisu. Berta menekan perasaannya sendiri yang mulai terjerang rasa kecewa dan marah. Karl? Ayah tiriku itu...?

“Lalu?”

“Aku mengucapkan selamat untuk keberhasilannya, dan kutanyakan apa yang akan dilakukannya setelah keberhasilannya yang gemilang itu.”

“Apa katanya?”

“Ia terus mengatakan menyesal dan berkata bahwa ia mengurungkan niatnya untuk memilikiku dan akan pergi menjauh dari kehidupanku. Pada saat itulah aku merasa sangat marah. Jadi, kau akan pergi setelah kau bunuh suamiku, seperti itu? Ia diam. Pertanyaan itu kurasa lebih dari sebuah pukulan balasan yang mematikannya. Pada saat itu tiba-tiba saudaranya, Bibi Steffi, masuk karena mendengar pembicaraan kami. Ia marah pada Karl dan menuntut Karl mengambil tanggung jawab penuh atas kehidupan aku dan bayiku atau akan melaporkannya pada polisi.”

“Bibi Steffi sejak awal sepertinya sangat baik padamu, bu.”

“Ya, ia sangat baik. Ia memohon padaku agar memaafkannya. Ia adalah adik dari ibunya Karl yang juga lari dari Berlin pada tahun 1962, ketika tembok Berlin masih baru.”

“Kau memaafkannya?”

“Apa pun, ayahmu sudah tak mungkin kembali. Aku harus memikirkan hidup kita selanjutnya, lagipula sebelum ia membuka rahasianya sendiri aku sudah memutuskan untuk menyerahkan hidup matiku padanya. Tapi aku mengatakan pada mereka bahwa aku akan tetap memakai nama Meier di belakang namaku dan nama anakku, diijinkan memasang foto Olaf, dan boleh mengatakan bahwa Karl adalah ayah tiri bagi bayiku jika sudah besar. Karl menerima dan Bibi Steffi tak keberatan.”

“Tapi kalian tak memiliki anak dari pernikahan kalian,” kata Berta.

“Karl menikahiku, tapi ia tak pernah tidur denganku. Aku sadar bahwa ia benar-benar menyesal ketika ia akan meninggal setahun lalu. Selama kami menikah, ia menepati janjinya untuk tak menyentuhku.”

“Itukah kenapa ia minta maaf saat itu?” tanya Berta yang teringat saat Karl, ayah tirinya sakit dan akhirnya meninggal.

“Ya...”

“Kau memaafkannya, bu?”

“Ia melakukan kesalahan besar, tapi ia juga sungguh-sungguh memperbaikinya. Kau tak bisa menghadiahi ia dengan yang lain kecuali maaf.”

“Kau juga mencintainya?”

Helene memandang Berta.

“Cintaku untuk ayahmu masih terjaga sampai saat ini. Karl membangun sendiri ruang dalam hatiku dengan susah payah. Aku tak pernah ingin memasukinya, sampai kemudian aku sadar bahwa semua ini adalah takdir. Aku memberinya hadiah ciuman ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke 50, dan sejak saat itu aku mengijinkannya tidur bersamaku. Aku harus merawatnya setelah bertahun-tahun ia bekerja keras untukku dan memberi kehidupan yang jauh lebih baik. Aku juga meminta maaf padanya karena memberinya kehidupan yang penuh tekanan.”

“Kau pernah mengucapkan cintamu padanya?”

“Ya, di ulang tahun dia yang ke 50.”

“Baiklah, bu. Selama ini aku hanya tahu bahwa Karl, ayah tiriku itu, sangat baik dan murah hati. Ceritamu tadi sempat membuatku kecewa padanya, tapi ketika semuanya kau ceritakan, aku memutuskan untuk tetap menghormatinya dan mengenangnya dengan bangga. Ia pernah melakukan sebuah kesalahan besar, tapi ia sungguh-sungguh memperbaikinya dan berhasil. Sekarang, tunjukkan tempat di mana kau bersembunyi dulu dan bagian tembok yang kau naiki, aku ingin menemui ayahku,” kata Berta.

“Aku tak yakin apakah tempat itu masih bisa kukenali,” sahut Helene, “dan tempatnya agak jauh dari sini.”

“Setidaknya sekali dalam hidupku, aku melihat tempat di mana ayahku pernah berada,” ujar Berta. Ia tahu, membiarkan seorang wanita tua berumur 64 tahun berjalan agak jauh bukanlah ide bagus, tapi ibunya sangat bersemangat dan terlihat lega setelah semua yang dirahasiakan dalam hidupnya dan menjadi beban telah ia ungkapkan padanya.

”Ich bin ein Berliner,” kata Helene lagi, “terima kasih Tuhan, aku pernah meninggalkan kota ini, tapi aku masih Kau ijinkan untuk datang dan meminta maaf padanya.”

[1] Saya adalah warga Berlin

[2] Seorang polisi Jerman Timur yang melarikan diri ke Berlin barat pada 1962 saat celah terakhir untuk menyeberang ke Berlin barat belum ditutup tembok

[3] Pada tanggal 22 Agustus 1961, Ida Siekmann seorang warga Berlin melompat dari apartemennya di tingkat 3 di Jalan Bernauer No. 48. Ia berhasil melompati tembok pembatas, tapi jatuh terbanting ke trotoar dan tewas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun