Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kencan

27 Mei 2016   12:59 Diperbarui: 27 Mei 2016   13:56 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam 16.30.

Aku mendapati Dinda sudah menunggu di teras rumahnya. Ia memakai pakaian terbaiknya dan, cantik sekali. Bedak di pipi dan lipstik di bibirnya agak berlebihan menurutku. Tanpa bedak dan lipstik, Dinda sudah cantik. Tapi kurasa aku akan berbuat tidak adil jika aku membicarakan bedak dan lipstiknya saat ini. Dia tentu berdandan untukku.

Baiklah, mungkin nanti aku bisa memberitahukannya di saat yang tepat dan dengan cara yang tak menyakiti hatinya. Aku tak boleh mengacaukan kencan pertama kami.

Aku baru saja akan mengatakan bahwa ia cantik, tapi pada waktu yang bersamaan ibunya keluar dari dalam rumah. Maka yang keluar dari mulutku kemudian adalah ucapan selamat sore untuk ibunya.

Aku agak canggung karena senyum ibunya kulihat sekedarnya saja. Tidak terlalu manis, maksudku, ia tak terlihat senang melihatku. Entahlah, kurasa mungkin bukan karena ia membenciku, tapi memikirkan putrinya yang sore ini akan dibawa pergi seorang laki-laki. Aku.

Ya, aku merasakannya. Jika seorang laki-laki datang untuk membawa putrimu pergi, maka kau pantas untuk khawatir, karena memang begitulah seharusnya. Mungkin orang akan menanyakan kewarasanmu jika kau tak khawatir melihat putrimu dijemput laki-laki dan dibawa pergi, meski kau tahu kemana, untuk apa, dan, berapa lama.

“Bawa Dinda pulang sebelum jam sembilan,” kata ibunya datar, “ayahnya mungkin tak akan mengijinkan kalian pergi lagi jika kalian terlambat malam nanti.”

Aku mengangguk. Jawaban, iya, bu, yang sudah siap urung keluar karena terhalang gugup. Aku tengah berhadapan dengan seseorang yang sangat melindungi putrinya, jika tak boleh kukatakan, kaku.

“Saya berjanji, bu,” aku menjawab dengan suara yang kutekan, agar meyakinkan. Agar kekhawatirannya hilang.

“Antarkan saja sebelum jam sembilan, jangan berjanji. Janji malah membuat saya lebih khawatir,” kata ibunya dengan, datar lagi.

Aku mengangguk lagi karena tak punya jawaban pasti. Antarkan pulang sebelum jam sembilan, itu akan lebih baik dari apa pun. Penjelasan yang sangat jelas bahwa aku memahami kekhawatirannya, dan aku adalah laki-laki baik-baik yang bisa dipercaya.

“Dinda pergi dulu, bu,” Dinda tak kalah canggung denganku. Mungkin karena ia lebih tahu ibunya khawatir.

“Ingat, pulang sebelum jam sembilan!” kata ibunya sekali lagi.

Aku dan Dinda hanya punya anggukan.

------

Jam 20.15.

Film di bioskop mengambil lebih dari separuh waktu bersama Dinda malam ini.

“Aku harus pulang sekarang, mas,” kata Dinda.

“Kita belum makan malam.”

“Kita bisa melakukannya lain waktu. Jika aku segera sampai rumah, akan lebih baik untuk kita nanti.”

Aku masih enggan kehilangan kebersamaan dengan Dinda. Aku membutuhkan momen makan malam ini untuk, menyatakan cinta. Aku sudah memesan tempat untuk makan malam romantis yang diterangi lilin. Bagaimana ini? Membatalkannya bisa membuatku terkesan tak punya cukup uang untuk sebuah makan malam romantis di tempat eksklusif.

“Apakah waktu kita tak cukup sekarang? Aku sudah memesan tempat untuk makan malam...”

Dinda menggeleng, “minggu depan kita ada waktu.”

Minggu depan? Itu lama sekali. Mungkin aku sudah lupa jalan menuju rumahmu. Ah, Dinda, bagaimana kau bisa hidup dengan ayah ibumu yang kaku seperti itu?

Oh, seharusnya aku langsung mengajaknya makan, bukan nonton film yang menghabiskan sekian banyak waktu. Bodohnya aku.

“Tak bisakah kita...?”

“Antarkan saja aku pulang, itu lebih baik dari makan malam di mana pun,” kata Dinda.

“Kita hanya makan, Din. Jika terlambat sedikit saja tak akan menjadi masalah. Kamu dalam keadaan yang sama seperti ketika pergi.”

“Soal kepercayaan jangan coba dipermainkan. Jika tak berhasil dalam tes pertamanya, kita tak akan bisa bersama lagi sejak malam ini,” kata Dinda.

Aku tak bisa memaksa lagi. Mengantar Dinda pulang sebelum jam sembilan mungkin memang lebih baik, meski aku sudah menyiapkan makan malam romantis bersamanya.

------

Jam 20.48.

Dinda dipeluk ibunya dengan sangat erat ketika tiba kembali di teras rumahnya. Ibunya terlihat lega, namun senyumnya masih tetap sama untukku, datar. Sungguh berlebihan tingkah mereka, seakan aku baru saja menculik putrinya selama berbulan-bulan.

“Siapa namamu, nak?” tanya seorang laki-laki paruh baya, ayahnya.

“Arman, pak.”

“Nak Arman, terima kasih sudah mengantarkan Dinda pulang sebelum jam sembilan. Minggu depan kamu boleh datang lagi,” kata ayahnya dengan suara tenang, dan datar.

Hmmm, rupanya di tahun 2016 masih tersisa orang tua model tahun lama yang kolot dan kaku rasa. Celakanya, mereka adalah orang tua Dinda.

Kata-kata ayah Dinda yang datar dan tak ada sambungan apa pun semisal, silakan duduk dulu, atau apa pun, membuatku yakin bahwa aku baru saja, dipersilakan pulang. Beginikah kencan pertamaku?

------

Jam 22.25.

Setelah berkeliling untuk membuang kekesalan, aku tiba di rumah dan melihat ibu sedang berdiri gelisah di teras rumah.

“Tiara belum pulang,” kata ibu. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang nyata. Lebih dari kekhawatiran di wajah ibunya Dinda.

“Tiara? Memangnya dia kemana?” tanyaku. Seingatku, dia ada di rumah ketika aku pergi menjemput Dinda.

“Ia dijemput Danang selepas maghrib, katanya mau pergi nonton film baru. Ibu bilang boleh pergi tapi jam sembilan sudah harus sampai rumah. Mereka berjanji, tapi ini sudah hampir setengah sebelas mereka belum pulang,” kata Ibu setengah menangis.

“Danang?”

“Pacarnya,” kata ibu.

“Pacarnya? Ibu ijinkan Tiara pacaran? Tiara masih kelas 2 SMA, bu,” aku protes. Seketika aku pun menjadi ikut panik dan khawatir.

“Sebenarnya ibu keberatan Tiara pergi, tapi....”

“Besok-besok jangan ijinkan lagi. Jelas anak itu tak menepati janjinya, ibu tak bisa mempercayainya lagi,” aku merasa geram.

Pada saat bersamaan sebuah sepeda motor besar memasuki gerbang. Tiara yang duduk di boncengan turun dan melangkah dengan takut-takut.

“Siapa namamu?” aku bertanya pada penunggang motor besar itu, yang buru-buru membuka helmnya.

“Danang, mas,” sahutnya canggung.

“Oke, kamu tak usah turun, langsung putar dan pulang saja!” kataku. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi kemudian ia mundur dan memutar motor besarnya keluar gerbang.

Ibu marah dan tak mau mendengarkan apa pun alasan Tiara.

“Kamu tak menepati janjimu dan titik. Alasan apa pun tak bisa mengubahnya. Kamu tak boleh pergi lagi, dan temanmu itu tak boleh datang lagi. Ia sudah gagal dan ibu tak bisa percaya lagi padanya,” kata ibu.

“Tapi bu...?”

“Kau akan terbiasa membuat alasan jika ibu biarkan kau pergi dengan dia. Orang yang terbiasa beralasan tak bisa dipercaya. Kau akan jadi orang gagal jika ibumu pun sudah tak percaya lagi padamu, masuk!”

Aku terdiam di teras.

Harus kuakui jika aku baru saja ikut merasakan kekhawatiran sekaligus kelegaan ibu melihat putrinya kembali setelah jam-jam yang menggelisahkan. Tiba-tiba aku berpikir, apakah itu yang dirasakan ibunya Dinda ketika putrinya kubawa pergi petang tadi? Apakah kegeraman seperti kegeramanku pada pacar Tiara tadi yang juga dirasakan ayah Dinda?

Lalu, apakah pacar Tiara tadi juga menganggap ibu dan aku adalah ibu dan kakak model tahun lama yang kolot dan kaku rasa? Seperti aku menganggap kedua orang tua Dinda?

‘Tapi kau melanggar apa yang kau sepakati dengan ibuku, mengantar Tiara kembali sebelum jam sembilan, anak sialan!’ pikirku ketika aku menemukan perbedaan nyata antara aku dengan pacar Tiara. ‘Kau lihat aku, aku mengantarkan Dinda tepat pada waktu yang diinginkan orang tuanya. Aku laki-laki yang pantas dipercaya, dan kau, sama sekali tidak!’

Tapi kemudian hati kecilku menyela dengan samar-samar bahwa aku sama saja dengan pacar Tiara itu, sama-sama ingin melewatkan waktu lebih lama meski tahu bahwa harus kembali sebelum jam sembilan. Jika Dinda tak bersikukuh untuk pulang, kau juga akan mengantar Dinda pada waktu yang terlambat dan mengajarinya alasan-alasan.

“Pokoknya ibu tidak akan lagi mengijinkan dia datang, apalagi membawamu pergi,” samar-samar kudengar kata-kata ibu. Dia masih menumpahkan kegelisahannya yang tertahan pada Tiara.

Apakah ibunya Dinda juga masih terus menumpahkan kegelisahan pada putrinya sekarang? Apakah dia juga akan melarangku membawa putrinya pergi lagi jika aku terlambat sedikit saja?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun