“Danang?”
“Pacarnya,” kata ibu.
“Pacarnya? Ibu ijinkan Tiara pacaran? Tiara masih kelas 2 SMA, bu,” aku protes. Seketika aku pun menjadi ikut panik dan khawatir.
“Sebenarnya ibu keberatan Tiara pergi, tapi....”
“Besok-besok jangan ijinkan lagi. Jelas anak itu tak menepati janjinya, ibu tak bisa mempercayainya lagi,” aku merasa geram.
Pada saat bersamaan sebuah sepeda motor besar memasuki gerbang. Tiara yang duduk di boncengan turun dan melangkah dengan takut-takut.
“Siapa namamu?” aku bertanya pada penunggang motor besar itu, yang buru-buru membuka helmnya.
“Danang, mas,” sahutnya canggung.
“Oke, kamu tak usah turun, langsung putar dan pulang saja!” kataku. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi kemudian ia mundur dan memutar motor besarnya keluar gerbang.
Ibu marah dan tak mau mendengarkan apa pun alasan Tiara.
“Kamu tak menepati janjimu dan titik. Alasan apa pun tak bisa mengubahnya. Kamu tak boleh pergi lagi, dan temanmu itu tak boleh datang lagi. Ia sudah gagal dan ibu tak bisa percaya lagi padanya,” kata ibu.