Dinda menggeleng, “minggu depan kita ada waktu.”
Minggu depan? Itu lama sekali. Mungkin aku sudah lupa jalan menuju rumahmu. Ah, Dinda, bagaimana kau bisa hidup dengan ayah ibumu yang kaku seperti itu?
Oh, seharusnya aku langsung mengajaknya makan, bukan nonton film yang menghabiskan sekian banyak waktu. Bodohnya aku.
“Tak bisakah kita...?”
“Antarkan saja aku pulang, itu lebih baik dari makan malam di mana pun,” kata Dinda.
“Kita hanya makan, Din. Jika terlambat sedikit saja tak akan menjadi masalah. Kamu dalam keadaan yang sama seperti ketika pergi.”
“Soal kepercayaan jangan coba dipermainkan. Jika tak berhasil dalam tes pertamanya, kita tak akan bisa bersama lagi sejak malam ini,” kata Dinda.
Aku tak bisa memaksa lagi. Mengantar Dinda pulang sebelum jam sembilan mungkin memang lebih baik, meski aku sudah menyiapkan makan malam romantis bersamanya.
------
Jam 20.48.
Dinda dipeluk ibunya dengan sangat erat ketika tiba kembali di teras rumahnya. Ibunya terlihat lega, namun senyumnya masih tetap sama untukku, datar. Sungguh berlebihan tingkah mereka, seakan aku baru saja menculik putrinya selama berbulan-bulan.