“Siapa namamu, nak?” tanya seorang laki-laki paruh baya, ayahnya.
“Arman, pak.”
“Nak Arman, terima kasih sudah mengantarkan Dinda pulang sebelum jam sembilan. Minggu depan kamu boleh datang lagi,” kata ayahnya dengan suara tenang, dan datar.
Hmmm, rupanya di tahun 2016 masih tersisa orang tua model tahun lama yang kolot dan kaku rasa. Celakanya, mereka adalah orang tua Dinda.
Kata-kata ayah Dinda yang datar dan tak ada sambungan apa pun semisal, silakan duduk dulu, atau apa pun, membuatku yakin bahwa aku baru saja, dipersilakan pulang. Beginikah kencan pertamaku?
------
Jam 22.25.
Setelah berkeliling untuk membuang kekesalan, aku tiba di rumah dan melihat ibu sedang berdiri gelisah di teras rumah.
“Tiara belum pulang,” kata ibu. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang nyata. Lebih dari kekhawatiran di wajah ibunya Dinda.
“Tiara? Memangnya dia kemana?” tanyaku. Seingatku, dia ada di rumah ketika aku pergi menjemput Dinda.
“Ia dijemput Danang selepas maghrib, katanya mau pergi nonton film baru. Ibu bilang boleh pergi tapi jam sembilan sudah harus sampai rumah. Mereka berjanji, tapi ini sudah hampir setengah sebelas mereka belum pulang,” kata Ibu setengah menangis.