Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Gondola

18 Mei 2016   13:35 Diperbarui: 19 Mei 2016   03:13 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kfk.kompas.com

Hari ini langit biru dan air di kanal-kanal Kota Venice beriak-riak riang seperti anak-anak yang gembira. Gondola-gondola melintasi kanal berganti-ganti membawa turis-turis menikmati setiap sudut Kota Venice.

Luigi duduk di atas gondolanya menunggu turis yang ingin berkeliling sepanjang kanal. Sepanjang pagi ini ia telah dua kali membawa turis berkeliling.

Gondolier itu tersenyum manakala ia ingat bahwa pagi ini ia sedang sangat beruntung. Turis berdatangan seperti kawanan lebah, dan berebut naik gondola. Keadaan yang membuat empat orang turis dari Kanada pagi tadi setuju saja membayar 80 Euro setiap orang untuk berkeliling dengan gondolanya, bukan 80 Euro untuk satu gondola sebagaimana seharusnya.

Mereka terkagum-kagum selama perjalanan berkeliling dan tak henti-hentinya memuji keindahan kota ini. Luigi melambungkan kekaguman mereka dengan bumbu-bumbu sedap dalam penjelasannya setiap kali mereka melintasi tempat tertentu yang terkenal agar mereka semakin terkesan dan lupa dengan 320 Euro mereka.

Setelah turis Kanada, Luigi mengantar 6 turis Nigeria. Semuanya berkulit hitam dan aroma tubuh mereka hampir membuat Luigi tak tahan. Tapi karena mereka setuju untuk membayar 90 Euro setiap orang, maka Luigi memutuskan untuk menahan hidungnya selama 40 menit berkeliling demi 360 Euro mereka.

680 Euro sudah di kantongnya sekarang. Ia merasa sangat senang dan mulai berandai-andai jika setiap hari turis terus berdatangan, ia akan bisa menabung dengan lebih cepat.

“Ingin berkeliling, tuan?” Luigi berseru pada seorang turis yang baru saja datang. “Saya akan membawa anda ke tempat-tempat mengagumkan. Keajaiban Kota Venice yang tak akan bisa anda lupakan seumur hidup anda.”

“Berapa yang harus kubayarkan untuk berkeliling bersama gondolamu?” tanya turis itu.

“150 Euro, tuan.”

“Hmm, itu sangat mahal untukku. Aku ini seorang pelukis jalanan yang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit,” kata si turis, “dan rupanya aku harus melupakan keinginan untuk naik gondola di Kota Venice yang terkenal ini.”

“Aku bisa mengurangi sedikit agar kau tak menyesal karena sudah sampai di Venice, tapi tak naik gondola. Aku akan berdosa jika membuat seseorang mengingat Venice tanpa gondola,” kata Luigi.

“Sedikit saja? separuhnya pun aku tak bisa membayarnya,” kata si turis.

“Atau, tuan bisa bergabung dengan orang lain, tuan cukup membayar 80 Euro saja,” kata Luigi.

“Aku sudah mengunjungi semua tempat terbaik di kota airmu ini dan melukisnya. Hanya gondola dan gondoliernya yang belum kulukis. Aku tadi sangat bersemangat, tapi dengan 150 Euro, aku harus melupakan keinginanku,” kata si turis.

“Jadi, kau dari Paris ya?” tanya Luigi, “ya, ya. Logat Perancismu terasa sekali. Sudah kubilang, kau hanya perlu membayar dengan 80 Euro jika kau mau bergabung dengan orang lain.”

“Berapa banyak orang yang bisa kau bawa dengan gondolamu itu?”

“Enam orang, tuan,” kata Luigi.

“Tapi aku tak akan bisa melukis dengan orang sebanyak itu di perahu kecilmu yang sempit,” kata si turis. “Baiklah, aku akan melukis gondola dan pendayungnya dari sini saja, meski aku sebenarnya ingin sekali melukis Ponte di Rialto yang terkenal itu dari atas gondola.”

“Kau seorang pelukis? Dan ingin melukis Ponte di Rialto?” tanya Luigi.

“Hanya pelukis jalanan. Dalam lukisanku nanti orang akan merasa duduk di atas gondola dengan kau berdiri mendayungnya dan melintas di bawah Ponte di Rialto, merasakan keajaiban Venice,” kata si turis.

“Sepertinya itu akan keren sekali,” kata Luigi.

“Kupikir begitu,” kata si turis lagi, “tapi 150 Euro menghalangi mimpiku.”

“Bukankah kau bisa menjual lukisan itu nanti dengan harga yang berlipat-lipat dari yang kau keluarkan untuk naik gondolaku?” tanya Luigi.

“Kau benar. Tapi uangku tinggal tersisa untuk perjalanan pulangku kembali ke Paris. Aku akan melukisnya saja dari sini.”

Luigi diam. Turis itu meletakkan tas bawaannya di lantai dan mulai berjongkok untuk membukanya. Dari dalam tas itu ia mengeluarkan bermacam peralatan melukis. Cat, kuas, kanvas kosong, dan peralatan untuk membentang kanvas.

“Kau bilang sudah melukis semua tempat bagus di Venice?” tanya Luigi pada si turis.

“Ya, benar.”

“Boleh aku melihatnya?”

Si turis melihat Luigi sejenak, lalu ia membuka bagian lain dari tasnya dan mengeluarkan gulungan kanvas yang sepertinya sudah ada lukisannya. Kepada Luigi, si turis itu membuka satu gulungan dan Luigi melihat Piazza San Marco dalam lukisan si turis Perancis itu.

“Wah, ini bagus sekali. Ini terlalu hebat untuk dilakukan oleh seorang pelukis jalanan,” kata Luigi kagum.

“Aku memang hanya pelukis jalanan dan aku mengandalkan hidupku pada para turis yang ingin diri mereka dilukis dengan latar belakang Kota Paris.”

“Berapa kau memasang tarif melukis itu pada mereka?”

“30 Euro.”

“30 Euro? Lukisanmu bagus. Kau menjualnya 30 Euro saja?”

“Tadinya aku bisa memasang harga 50 Euro. Tapi kemudian datang orang-orang yang ikut melukis para turis dan memasang harga yang lebih murah. Aku terpaksa menjual dengan harga yang sama.”

“Ah, orang-orang seharusnya menghargai karya seni dan menempatkannya tinggi-tinggi. Bukan mengukurnya dengan uang,” kata Luigi.

Si turis mengangkat kedua bahunya.

“Lalu, berapa kau mau menjual lukisan-lukisanmu yang kau buat di Venice ini?” tanya Luigi.

“Seorang pelukis yang kaya dan sudah memiliki galeri datang padaku dan memesan padaku lukisan tempat-tempat terkenal di Eropa. Ia akan membayar setiap lukisanku 600 Euro, tapi mengakui itu sebagai lukisannya,” kata si turis.

“Kenapa kau mau melakukan itu? Lukisanmu seharusnya membuat orang mengenalmu, bukan orang lain yang membeli dan mengakui itu sebagai karyanya. Itu tak adil,” kata Luigi.

“Aku hanya pelukis jalanan yang miskin, tak mampu menjual lukisan dan sedang sangat butuh uang. Sementara pelukis kaya itu bisa menjual lebih mahal bahkan untuk lukisan yang tidak ia buat sendiri, tapi diakuinya. Uang untuk bertahan hidup bagiku lebih penting daripada hal-hal seperti misalnya, dikenal orang. Aku memang tak seberuntung pelukis yang bisa mendapatkan banyak uang dan sekaligus terkenal. Sepertinya takdir hidupku harus memilih salah satu. Terkenal tapi tak punya uang, atau tak dikenal tapi punya uang. Aku memilih yang kedua,” jelas si turis.

“Naiklah,” kata Luigi pada si turis.

“Maaf?”

“Ya, naiklah. Bayarlah berapa pun kau bisa membayarku. 10 Euro atau 20 Euro, terserah. Tapi lukislah gondolaku, aku, dan Ponte di Rialto. Setidaknya aku akan ada di dalam lukisanmu siapa pun pemiliknya nanti, dan juga sedikit membantumu. Hanya saja, buatlah gambarku sebagaimana sebenarnya aku,” kata Luigi.

“Kau sungguh-sungguh?” tanya si turis.

“Ya, naiklah,” kata Luigi.

Turis itu tampak senang dan segera memindahkan alat-alat lukisnya ke atas gondola. Luigi membantunya dan mereka berdua terlibat dalam kesibukan sebelum akhirnya gondola mulai melaju berkeliling.

“Mula-mula aku akan melukis gondola dan kau sendiri. Nanti berhentilah di dekat Ponte di Rialto itu untuk beberapa lama,” kata si turis.

“Baiklah, tapi kau harus berjanji memindahkan keajaiban itu ke dalam kanvasmu,” seru Luigi.

“Kalau kau memberi waktu yang cukup.”

------

Luigi hampir tak percaya melihat lukisan gondolanya dan ia yang berdiri mendayung dengan latar belakang Ponte di Rialto, serta gedung-gedung yang riuh di sekelilingnya, ketika mereka tiba kembali di tempat semula setelah berjam-jam.

“Sempurna...” kata Luigi, “sulit kupercaya kau bisa melakukan itu.”

“Dan, ini...” si turis menyerahkan uang kepada Luigi. Luigi tak tahu, tapi jumlahnya sangat banyak. Berlembar-lembar 10 Euro.

“Ini banyak sekali, tuan. Kau bilang...”

“Sepanjang pagi aku tak menemukan gondola kecuali yang untuk menaikinya aku harus membayarnya sangat mahal, sampai aku menemukan gondola yang bersedia menerima 10 atau 20 Euroku. Keindahan kotamu ini adalah anugerah alam, tapi kalian merasa ini adalah milik kalian sendiri dan menganggap bahwa jika ada orang dari tempat lain ingin menikmati keindahannya, mereka harus membayarnya sangat mahal. Tuhan memberikan keajaiban kota ini pada kalian secara cuma-cuma, bukan? Kotamu ini akan dilupakan orang kalau kalian menjualnya sangat mahal. Pergilah ke tempat lain suatu hari nanti, agar kau bisa merasakannya.”

Luigi memandang si turis dengan terpana.

“Tuhan juga memberiku bakat melukis dan aku tak harus membayar berapa pun, padahal dari melukis aku bisa mendapatkan uang. Maka aku tak menuntut orang-orang membayar mahal untuk lukisanku. Sekarang, kau berhak mendapat separuh dari harga lukisan yang dijanjikan pelukis kaya yang memesan lukisan ini padaku. Biarlah dunia tak mengenal kita, tapi aku mendapat upah kerjaku, dan kau mendapat bagian dari kebaikanmu,” kata si turis lagi.

Luigi sekarang memandangi uang itu dan ia tak berani menghitungnya di depan si turis. Ia masih diam tak percaya sementara si turis membereskan peralatannya.

“Bagaimana dengan perjalananmu kembali ke Paris?”

Si turis tersenyum, “aku sebenarnya masih ingin bertahan satu atau dua hari agar bisa membuat lukisan lebih banyak, dan sebelum naik gondolamu, uangku cukup untuk itu. Tapi untuk kebaikan hatimu membawaku melukis gondolamu dan Ponte di Rialto serta sedikit jalan-jalan, aku pikir tak apa jika aku terpaksa kembali hari ini juga. Mungkin lain waktu aku akan datang kembali.”

“Jika kau datang kembali, aku akan dengan senang hati membawamu dengan gondolaku,” Luigi berjanji.

“Terima kasih,” kata si turis, “dan kurasa, aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk kebaikanmu.”

“Kupikir, akulah yang berhutang kebaikan padamu,” kata Luigi, “boleh kutahu namamu?”

“Gilles, selamat tinggal,” kata si turis.

“Aku Luigi, selamat tinggal.”

Turis itu melangkah ke lantai tangga dan berjalan tanpa menoleh lagi. Luigi buru-buru menghitung uang dari turis bernama Gilles itu. 300 Euro. Luigi terpana.

“Bisakah kami berkeliling bersamamu?”

Luigi mendapati empat orang turis.

“Silakan.”

“Berapa biayanya?”

“80 Euro untuk 40 menit perjalanan berkeliling.”

“Untuk semuanya?”

“Ya.”

“Ah, baiklah.”

Luigi mempersiapkan gondolanya. Ia tak ingin lagi memaksa orang-orang asing harus membayar sangat mahal untuk menikmati keajaiban kotanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun