“Sepanjang pagi aku tak menemukan gondola kecuali yang untuk menaikinya aku harus membayarnya sangat mahal, sampai aku menemukan gondola yang bersedia menerima 10 atau 20 Euroku. Keindahan kotamu ini adalah anugerah alam, tapi kalian merasa ini adalah milik kalian sendiri dan menganggap bahwa jika ada orang dari tempat lain ingin menikmati keindahannya, mereka harus membayarnya sangat mahal. Tuhan memberikan keajaiban kota ini pada kalian secara cuma-cuma, bukan? Kotamu ini akan dilupakan orang kalau kalian menjualnya sangat mahal. Pergilah ke tempat lain suatu hari nanti, agar kau bisa merasakannya.”
Luigi memandang si turis dengan terpana.
“Tuhan juga memberiku bakat melukis dan aku tak harus membayar berapa pun, padahal dari melukis aku bisa mendapatkan uang. Maka aku tak menuntut orang-orang membayar mahal untuk lukisanku. Sekarang, kau berhak mendapat separuh dari harga lukisan yang dijanjikan pelukis kaya yang memesan lukisan ini padaku. Biarlah dunia tak mengenal kita, tapi aku mendapat upah kerjaku, dan kau mendapat bagian dari kebaikanmu,” kata si turis lagi.
Luigi sekarang memandangi uang itu dan ia tak berani menghitungnya di depan si turis. Ia masih diam tak percaya sementara si turis membereskan peralatannya.
“Bagaimana dengan perjalananmu kembali ke Paris?”
Si turis tersenyum, “aku sebenarnya masih ingin bertahan satu atau dua hari agar bisa membuat lukisan lebih banyak, dan sebelum naik gondolamu, uangku cukup untuk itu. Tapi untuk kebaikan hatimu membawaku melukis gondolamu dan Ponte di Rialto serta sedikit jalan-jalan, aku pikir tak apa jika aku terpaksa kembali hari ini juga. Mungkin lain waktu aku akan datang kembali.”
“Jika kau datang kembali, aku akan dengan senang hati membawamu dengan gondolaku,” Luigi berjanji.
“Terima kasih,” kata si turis, “dan kurasa, aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk kebaikanmu.”
“Kupikir, akulah yang berhutang kebaikan padamu,” kata Luigi, “boleh kutahu namamu?”
“Gilles, selamat tinggal,” kata si turis.
“Aku Luigi, selamat tinggal.”