“30 Euro? Lukisanmu bagus. Kau menjualnya 30 Euro saja?”
“Tadinya aku bisa memasang harga 50 Euro. Tapi kemudian datang orang-orang yang ikut melukis para turis dan memasang harga yang lebih murah. Aku terpaksa menjual dengan harga yang sama.”
“Ah, orang-orang seharusnya menghargai karya seni dan menempatkannya tinggi-tinggi. Bukan mengukurnya dengan uang,” kata Luigi.
Si turis mengangkat kedua bahunya.
“Lalu, berapa kau mau menjual lukisan-lukisanmu yang kau buat di Venice ini?” tanya Luigi.
“Seorang pelukis yang kaya dan sudah memiliki galeri datang padaku dan memesan padaku lukisan tempat-tempat terkenal di Eropa. Ia akan membayar setiap lukisanku 600 Euro, tapi mengakui itu sebagai lukisannya,” kata si turis.
“Kenapa kau mau melakukan itu? Lukisanmu seharusnya membuat orang mengenalmu, bukan orang lain yang membeli dan mengakui itu sebagai karyanya. Itu tak adil,” kata Luigi.
“Aku hanya pelukis jalanan yang miskin, tak mampu menjual lukisan dan sedang sangat butuh uang. Sementara pelukis kaya itu bisa menjual lebih mahal bahkan untuk lukisan yang tidak ia buat sendiri, tapi diakuinya. Uang untuk bertahan hidup bagiku lebih penting daripada hal-hal seperti misalnya, dikenal orang. Aku memang tak seberuntung pelukis yang bisa mendapatkan banyak uang dan sekaligus terkenal. Sepertinya takdir hidupku harus memilih salah satu. Terkenal tapi tak punya uang, atau tak dikenal tapi punya uang. Aku memilih yang kedua,” jelas si turis.
“Naiklah,” kata Luigi pada si turis.
“Maaf?”
“Ya, naiklah. Bayarlah berapa pun kau bisa membayarku. 10 Euro atau 20 Euro, terserah. Tapi lukislah gondolaku, aku, dan Ponte di Rialto. Setidaknya aku akan ada di dalam lukisanmu siapa pun pemiliknya nanti, dan juga sedikit membantumu. Hanya saja, buatlah gambarku sebagaimana sebenarnya aku,” kata Luigi.