Ada satu rombongan anak muda dengan gaya yang cukup nyentrik dengan riuhnya bercakap-cakap di dalam kapal. Saya menduga mereka adalah pelancong asal Malaysia karena bahasa Melayu yang mereka gunakan.
Lucunya beberapa dari mereka mencoba berinteraksi dengan Bahasa gaul anak jaksel, namun alih-alih terdengar gaul justru terdengar "cringe" dan agak aneh dengan logat melayunya. Saya sampai menahan gelak tawa ketika mereka bercakap-cakap.
Saya membayangkan jika kita warga +62 ini sedang melancong ke negara lain dan berusaha bercakap-cakap dengan bahasa lokalnya, namun dengan logat missal sumatera, jawa ataupun daerah timur, mungkin saja warga lokal merasa percakapan warga +62 terdengar aneh.
Menjejakkan Kaki ke Pulauh Weh, Kota Sabang
45 menit perjalanan di laut tak terasa, sampailah kami di Pelabuhan Balohan. Kesan pertama yang tampak adalah gedung pelabuhannya cukup megah untuk sekelas pelabuhan kecil, namun sayangnya masih banyak sampah berserakan di sana sini.
Di pelabuhan kita akan bertemu dengan anak-anak yang berenang menantikan lemparan uang-uang recehan dari para penumpang kapal. Mereka memamerkan keahlian mereka berenang tanpa bantuan alat bantu di bibir dermaga demi memburu uang recehan yang diberikan oleh para pengunjung.
Meski berbahaya, apalagi tempat mereka berenang tidak jauh dari mesin atau baling-baling kapal, namun anak-anak Sabang ini tampaknya tetap bersemangat sekadar untuk menambah uang jajan.
Sesampainya di Pelabuhan Balongan, Sabang kami melihat sebuah dermaga yang cukup megah dan cantik, meski aktivitas di dalam dermaga tentunya tidak seramai di Pelabuhan Merak atau Bakauheni penghubung Pulau Sumtra dan Pulau Jawa.
Di sana kami sudah dijemput oleh pengemudi mobil sewaan yang sudah rekan saya pesan sebelumnya. Tidak ada angkutan umum dari pelabuhan menuju area Kilometer 0 di Pulau Weh ini atau ke tempat wisata utama lainnya. Ongkos mobil sewaan ini sekitar 300ribu, diluar tip untuk perjalanan pulang pergi dari pelabuhan menuju area Kilometer Nol.